Setidak-tidaknya
ada tiga naskah silsilah melayu dan bugis yang tersimpan di beberapa
perpustakaan di dunia. Naskah pertama tersimpan pada perpustakaan Universitas
Leiden dengan penyalinan bernama Abdul Aziz Ibni Almarhum Al-Haj Nawawi
Al-Araqiah. Naskah yang kedua terdapat di museum Negara Kuala Lumpur yang
dipindahkan dari museum negeri Perak pada tahun 1962. Dan naskah yang ketiga
berada pada perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur dengan penyalin Haji
Abdul Ghani yang mulai penyalinan pada 5 Rabiul Akhir 1282 Hijriah.
Karya ini
pertama kali dicetak dengan huruf arab di Singapura pada tahun 1900, kemudian
dicetak kembali oleh Mathaba’at Al-Imam pada tahun 1911 di Singapura. Kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh H. Overbeck dan dimuat Journal Of The Malayan Branch Of The Royal
Asiatic Society IV / 3 / 1926 hlm. 339-381. Terbitan ini berdasarkan salinan
dari Haji Abdullah Bin Khairuddin keturunan negeri juanan pada tahun 1956,
kemudian buku itu terbitkan juga oleh kerajaan johor dalam huru arab dan di
cetak di Government Printing Office Di Johor Bahru. Berdasarkan terbitan dari
kerajaan Johor inilah arena wati mengalihaksarakan dari huruf arak e huruf latin
dan diterbitkan oleh pustaka antara Kuala Lumpur pada tahun1973 [1].
Akan tetapi
pengalih aksara yang dilakukan oleh Arena Wati itu sengaja meninggalkan suatu
bagian uku tersebut yang tak kurang pntingnya. Malahan sangat penting bila
ditinjau dari aspek tertentu yaitu bagian uku yang ditata dalam bentuk syair.
Padahal silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya merupakan karya
unik dan sangat istimewa jika dilihat
dari berbagai sisi.. umpamanya gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang
dalam karya ini sangat kental mendukung gambaran sosok kebudayaan Melayu. Dalam
pemakaian kosa kata silsilah melayu bugis lebih cenderung pada kosa-kosa kata
melayu daripada kosa kata Bugis.
Sebagai contoh
di bawah dapat dilihat bagaimn Raja Ali Haji membuat kesimpulan dari suatu
babakan peristiwa yang diantaranya berbentuk prosa dengan syair-syair. Ketika
terjadi kematian yang menimpa dua orang saudara upu-uupu yang lima, simpulan
dalam bentuk syairnya ialah seperti berikut:
Wahai
sayangnya akan saudara
Sebab
bersama-sama mengembara
Tiada
pernah mufakat cedera
Segala
pekerjaan segala perkara
Dengan
kehendak tuhan yang mulia
Dua
orang saudara meninggalkan dunia
Hendak
diusahakan tiada berdaya
Karena
perbuatan tuhan yang sedia
Melainkan
hamba berbanyak sabar
Akan
perintah wahidul kahhar
Ialah
tuhan bersifat jabbar
Akan
hambanya kecil dan besar
Kitapun
kelak demikian itu
Meninggalkan
dunia juga yang tentu
Tidak
memilih raja dan ratu
Semuanya
itu pergi ke situ
Hendaknya
kita tunduk tengadah
Lihat
kepada datuk nenek yang sudah
Adil
dan insyaf juga berfaedah
Menaikkan
kita pangkat sa’adah
Rakyat
dan sakai hendaklah pelihara
Kesenangan
hidupnya dikira-kira
Istimewa
pula sanak saudara
Jangan
sekali diberi cedera
Ilmu
yang benar hendaklah dimulia
Karena
ia mu’arinya anbia
Tuntut
ilmu jangan sia-sia
Yang
lain itu tinggal di dunia
Ayuhai
tuan-tuan coba pikirkan
Serta
pandang amat-amatkan
Kematian
datuk nenek teladankan
Kita
sepertinya akan didatangkan [2].
Virginia
Matheson menamakan buku silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya
sebagai saudara perempuan dari tuhfat l-nfis. Sang saudara perempuan ditulis
oleh raja ali haji sekitar 7 september 1865 dan
15 januari 1866. Apapun
alasan untuk memberi penamaan itu yang
trang memang penulisan buku itu tidak ersandar kepada sumber-sumber yang banyak dan
beragam-ragam seperti halnya Tuhfat Al-Nafis. Lahi pula silsilah melayu dan
bugis tentulah lebih disenangi oleh
kelompok von Ranke & Gibbon karena dalam banyak hal mengarah ke muara
objektivitas dibandingkan dengan saudara laki-lakinya yakni Tuhfat Al-Nafis yang
lebih memperhatikan karangan Hegelian yang senantiasa memakai lensa filosofi
pada suatu karya sejarah.
Sumber penulisan
sejarah silsilah Melayu dan Bugis adalah siarah Pontianak sebagaimana
dinyatakan oleh penulisannya di bagian pembuka buku itu:
Telah
ditaruh pada hatiku bahwa aku perbuatlah silsilah ini pada ketika aku perbuat
akan satu kitab dari tangan saudara kami yang saleh yang kepercayaan yaitu
sayid al-syarif abdul rahman bin sayid al-syarif al-qasim sultan Pontianak bin sayid al-syarif
abdul rahman l-qadri dan di dalam kitab ini disebutkan setengah daripada
keturunan raja-raja dan anak raja-raja
yang mereka itu mengembara menjauhi daripada pihak pulau bugis [3].
Dengan memudiki
ke hulu sungai sejarah, kisah awal pun dirangkai bertempat di negeri Luwu di
pulau Sulawesi. Atau lebih jauh ke hulu lagi tentulah akan memasuki Sempadan negeri penuh misteri yang biasanya
hanya padan untuk jenis cerita khayal. Silsilah atau susur-susur meluas bertmabah
rimbun seperti halnya pohon subur yang dahan, cabang dan rantingnya terus
menumbuhkan tunas serta daun, patah tumbuh hilang berganti. Titik awalnya
diletakkan pada lima orang anak-anak Raja Kerajaan Luwu di Sulawesi atau Upu-upu
lima bersaudara yang menempuh gelombang
dan badai mengarungi laut dengan kapal Pinisi dan perahu lainnya,
mengembara ke barat, ke Kalimantan, Kepulauan Riau, semenanjung tanah Melayu, Kamboja,
Pesisir Pulau Sumatera, dan tempat-tempat lainnya. Mereka adalah Daeng Perani, Daeng Menambun,
Daeng Marewah, Daeng Celak Dan Daeng Kemasi.
Di Siantan, Daeng
Perani menikah dengan anak perempuan Nakhoda Alang. Dari perkawinan ini lhirlah
Daeng Kamboja, orang yang kelak bersama saudara sepupunya Raja Haji Ibni Daeng
Celak berperang denganbelanda di linggi yeng terletak kira-kira 20 kilometer di
sebelah uatara kota malaka. Dengan siantan sebagai pangkalan upu-upu berlima
itu meneruskan pengembaraan lautnya yang mendebarkan sampai-sampai ke Kamboja dan
temat-tempat lin di sekitarnya.
Kemelut perebutan
tahta di kerajaan Johor menyebabkan
kelima orang bersaudara yang berasal dari kerajaan luwu itu diundang untuk
membantu pihak anak laki-laki almarhum sultan jalil yang mati dibunuh di
atas sajadah sholatnya di kuala Pahang. Awalnya pihak Raja Kecil memenangi perebutan tahta
itu lalu memindahkan pusat pemerintahan ke Riau. Sebuah tempat di pulau intan
yang dulu didirian oleh Laksamana Abdul Jamil pada tahun 1673 dan pernah
beberapa kali menajdi pusat pemerintahan kerajaan Johor. Setelah melalui beberapa
peperangan akhirnya hasrat Raja Kecil untuk menaiki tahta Riau yang pernah
dirasakannya dipatahkan pada tahun 1721.
Tahun berikutnya
salah seorang diantara lima saudara upu-upu itu yakni daeng marewah berhasil
menduduki jabatan sebagai orang kedua di kerajaan itu. Raja ali haji
menggambarkan peristiwa tersebut ke dalam silsilah melayu dan bugis, sebagai
berikut:
Kata
orang yang empunya cerita
Takkala
ini keduanya putra
Berjanji-janjian
berdua saudara
Tiadalah
berubah tiadalah cedera
Sampai
kepala anak cucunya
Yam
tuan muda sebelah bugisnya
Yam
tuan besar sebelah melayunya
Demikian
konon kata setianya
Riau
dengan takhluk daerah
Kepada
yam tuan muda terserah
Perintah
kerajaan tiada berarah
Jangan
siapa mungkir sezarah [4].
Sebagaimana dinyatakan
dalam sumpah setia yang berkali-kali dilakukan,
kedua jabatan itu bagaikan mata hitam dengan mata putih tak boleh
bercerai selagi ada peredaran bulan dan matahari. Sebagai penguat ikatan demi
jabatan tersebut berlangsung pula pernikahan di antara kedua belah pihak. Karena itulah pemegang jabatan yang dipertuan muda riau
yang keempat setelah daeng marewah, daeng celak dan daeng kamboja yaitu Raja
Haji tidak lagi dipandang sebagai orang bugis jati karena ibunya berasal dari bangsawan kerajaan Riau, gelar
kebangsawananpun tidak lagi daeng. Memang dari keturunan daeng celak sejak
anaknya menjadi yang Dipertuan Muda Riau ke-4 yaitu raja haji berasal semua Raja
Muda sesudahnya. Seperti dalam karya folklore atau dongeng yang piawai hal itu
sudah diramalkan sebagaimana dinyatakan dalam kedua karya raja ali haji yaitu: “apabila sudah siap maka
mufakatlah ia hendak masuk ke
negeri Johor dan melaka mengembara pada sebelah tanah itu karena ia sudah dapat
satu alamat tatkala masa ia semua hendak keluar dari tanah bugis yaitu upu
daeng menambun ada bermimpikan akan zakar saudaranya upu daeng celak menjulur
menjadi naga, adalah kepalanya menghadap ke johor, maka dita’birkan orang anak
cucunya akan mendapat kerajaan di sebelh johor dan riau.
Setelah mendapat
kedudukan yang kokoh di Kalimantan, Kepulauan Riau dan Johor, uppu-upu berlima
itu mendapat undangan pula dari anak sulung kerajaan kedah yang disingkirkan
oleh adiknya sendiri. Peperangan di
kedah ini merupakan bagian yang paling riuh rendah dalam buku tersebut karena
pada bagian kedua ikut pula bekas musuh lama upu-upu itu. Raja Kecil. Dalam gema gendang perang yang dipalu
sepanjang perjalanan laut upu-upu itu berangkat dari riau dengan 60 penjajab
dan menghancur leburkan perdagangan timah di Kedah. Ajaran yang merupakan air mandi dan nasi
sehari-hari bagi mereka ialah agar sentiasa
tidak membuang belakang dan mati dengan nama laki-laki. Itulah sebebnya penembakan daeng perani oleh raja kecil dari
buritan kapal dianggap sebagai tindakan yang tidak jantan dan gema ejekan
terdengar melintasi zaman karena siapa
yang memiliki pena akan leih jauh melangkah ke masa depan. Daeng Perani tewas, tetapi perang dapat
dimenangkan oleh pihak upu-upu tersebut. Raja Kecil di usir kembali ke
negerinya di siak dan kekuasaan kedah ditegakkan kembali. Dari Kedah upu-upu
itu meneruskan perjalanan ke Perak, Selangor,
dan ke masa depannya.
Notes:
[1]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali
Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 148
[2]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali
Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 149
[3]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali
Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 152
[4]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali
Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 154
DAFTAR PUSTAKA:
- Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press.
- Liasmi, Rida. 2007. Bulang Cahaya Sebuah Novel . Pekanbaru. JP. Books Surabaya dan Yayasan Sagang Pekanbaru
- Id . Wikipedia . org
- http / portalbugis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar