Selasa, 17 Mei 2016

PEMBABAKAN KEPEMIMPINAN MELAYU



A.    Pembabakan Kepemimpinan Melayu
1.      Sebelum Kemaharajaan Melaka
Dalam mengkaji kepemimpinan Melayu pada zaman ini dapat dirujuk kepada kepemimpinan mulai turunnya Sang Sapurba (Tri Buana) dari Bukit Siguntang sampai di Bintan ke Temasik, Melaka, terus ke Indragiri, Kuantan dengan dengan Kerajaan Kandis dan terus ke Minangkabau. Setelah Melaka ditaklukkan Portugis, pusat pemerintahan pindah ke Johor-Bintan_Kampar.
Pada sisi lain dapat pula dirujuk Prasasti Sriwijaya dalam bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa dan berita China mengisyaratkan bahwa ditemukan kerajaan “Mo-lo-you” pusatnya di Jambi (644-671 M), Kerajaan Darmasraya di Padang Roco-Sungai Langsat (perbatasan Jambi dengan Sumatera Barat), serta terus ke Minangkabau di Pagaruyung sejak abad 14. Kepemimpinan di wilayah-wilayah tersebut dipegang oleh Datu dan dibantu pejabat yang digelari Pratiyuaraja (raja muda) seperti ditemukan di Sriwijaya.
Menurut sejarah Melayu, pada akhir Kedatuan Sriwijaya. Raja Tri Buana bersama Demang Lebar Daun mencari daerah baru untuk dijadikan pusat pemerintahan. Daerah yang dikunjungi pertama ialah Bintan dan di situ sudah ada penguasa bernama Wan Sri Beni. Tri Buana berusaha untuk mengadakan pendekatan dan berhasil, maka terjadilah persetujuan di mana Wan Sri Beni meminta supaya Tri Buana menjadi pemegang pemerintahan di Bintan. Selanjutnya Tri Buana melanjutkan perjalanannya ke Temasik dan dirikannya pula pusat pemerintahan yang dinamakan Singapura.
2.      Kemaharajaan Melaka
Dari Singapura selanjutnya didirikan pemerintahan di Melaka dengan raja pertamanya Prameswara. Setelah menganut agama Islam, Prameswara bergelar Iskandar Syah. Seterusnya pemerintahan dipegang oleh raja-raja yang kemudian dikenal dengan sultan. Sultan terakhir sebagai kerajaan yang merdeka adalah Sultan Mahmud Syah I. Sultan inilah yang berhadapan dengan Portugis. Dengan kelebihan yang dimilikinya, Portugis berhasil menduduki Melaka sejak tahun  1511-1641. Melaka kemudian menjadi pusat pemerintahan kemaharajaan dan berhasil menjadi imperium atau dalam bahasa Melayu dikenal Kemaharajaan Melaka yang menguasai sebagian wilayah di Selat Melaka termasuk wilayah-wilayah di Pesisir Timur Sumatera. Sultan-sultan Melaka berupaya sekuat tenaga menjadikan wilayahnya sebagai pusat pemerintahan, pusat perkembangan Islam dan kota dagang di Asia Tenggara serta berhasil pula menjadi pusat peradaban Melayu.
Keberhasilan Melaka menjadi pusat peradaban/tamadun Melayu berkat usaha dari kepala pemerintahannya. Mereka dibantu para laksamana besar seperti Hang Tuah yang berhasil mengeluarkan ungkapan terkenal.”Tuah sakti hamba negeri, Esa hilang dua terbilang, Patah tumbuh hilang berganti, Takkan melayu hilang di bumi” . Kepemimpinan Melaka zaman kemaharajaan ini ditandai dengan terbitnya UU Melaka yang antara lain menetapkan adat mempunyai kedudukan penting dalam administrasi keadilan di dalam negeri. Pengaruh Islam juga sudah mulai menjadi penetrasi masyarakat Melayu.
Dalam buku Sejarah Riau 1977 disebutkan struktur pemerintahan dipegang raja (setelah mendapat pengaruh Islam berubah nama menjadi sultan). Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan dan agama. Penggantian sultan atas dasar keturunan dari pihak bapak (patrilineal), tidak boleh dipindahkan. Prosesnya setelah mendapat persetujuan dari pembesar-pembesar istana lainnya. Selanjutnya disebutkan Datuk Bendahara sebagai Wakil Sultan atau Perdana Menteri. Laksamana sebagai penguasa di laut urusan kemiliteran. Penghulu Bendahari berfungsi sebagai pembantu bendahara. Jabatan lainnya adalah Khalifah, Amir, Syarif dan Qadhi.
Susunan pemerintahan di atas berlangsung sampai tahun 1723. Sesudah itu terjadi perubahan di mana sultan dapat dijabat keturunan bapak, dapat pula pengganti yang lain asal berdarah Melayu dengan gelar Sultan Sri Paduka Yang Dipertuan Besar. Orang kedua tidak lagi Datuk Bendahara, tapi sudah bergelar Yang Dipertuan Muda. Datuk Bendahara sendiri turun peringkatnya di bawah Laksamana. Mahkamah yang melakukan hukum keadilan dengan susunan Qadhi, Naib Qadhi, Khatib, Muzaki, Derah, mata-mata 10 orang dan Ahlul Musyawarat. Struktur kepemimpinan ini berlangsung sampai 1784, yaitu sejak gugurnya Raja Haji Fisabilillah. Setelah itu Belanda memaksakan perjanjian bahwa mereka berhak ikut menentukan pengangkatan Sultan Sri Paduka Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda.
Wilayah kekuasaan Kemaharajaan Melaka meliputi Riau-Lingga, Kepulauan Riau, Semenanjung Malaya dan Pesisir Timur Sumatera. Setelah “Treaty of London” tahun 1824, Belanda dan Inggris membagi wilayah jajahannya, maka Kepulauan Riau dan Pesisir Timur Sumatera menjadi jajahan Belanda, sementara Semenanjung Malaya dan Singapura adalah jajahan Inggris. Kepemimpinan pada masa ini bersifat struktural dari sultan sampai ke kawalan di bawahnya.
3.      Penjajahan Belanda
Pemerintah Belanda di Riau-Lingga dipimpin Residen dan wilayahnya disebut Riouw en Onder Hoorigheden. Padsa daerah seperti di Daik dipimpin Asisten Residen dan wilayahnya disebut Afdeeling. Pemerintahan Batin, Penghulu, Datuk Kaya dan Amir tetap dipegang orang Melayu. Amir juga bisa menjabat Onderdistriclhoofd dan Districthoofd. Pemerintahan orang Melayu tetap diakui dan diatur ketentuan yang berasal dari pemerintahan Melayu atau ketentuan adat, termasuk di dalamnya penyelesaian masalah pengadilan dan keamanan. Kekuasaan batin dan penghulu tetap otonom.
Adapun wilayah kesultanan Siak menjadi bagian dari Residenti-e Sumatera-s Ooskust dan V koto Kampar bagian dari Sumatera-s Westkust Kuantan Singingi menjadi daerah otonom dan berlaku ketentuan kepemimpinan adat. Kepemimpinan adat tetap diberi keleluasaan untuk mengatur masyarakat oleh Belanda.
Kesultanan Riau-Lingga penuh dengan perselisihan akibat dari provokasi Belanda. Bahkan Kesultanan Riau-Lingga menjadi pecah dua dengan didirikannya Siak Sri Indrapura olrh Raja Kecil dan setelah menjadi sultan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah (1725-1748).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar