A.
Pembabakan
Kepemimpinan Melayu
1.
Sebelum
Kemaharajaan Melaka
Dalam
mengkaji kepemimpinan Melayu pada zaman ini dapat dirujuk kepada kepemimpinan
mulai turunnya Sang Sapurba (Tri Buana) dari Bukit Siguntang sampai di Bintan
ke Temasik, Melaka, terus ke Indragiri, Kuantan dengan dengan Kerajaan Kandis
dan terus ke Minangkabau. Setelah Melaka ditaklukkan Portugis, pusat
pemerintahan pindah ke Johor-Bintan_Kampar.
Pada
sisi lain dapat pula dirujuk Prasasti Sriwijaya dalam bahasa Melayu Kuno
berhuruf Pallawa dan berita China mengisyaratkan bahwa ditemukan kerajaan
“Mo-lo-you” pusatnya di Jambi (644-671 M), Kerajaan Darmasraya di Padang
Roco-Sungai Langsat (perbatasan Jambi dengan Sumatera Barat), serta terus ke Minangkabau
di Pagaruyung sejak abad 14. Kepemimpinan di wilayah-wilayah tersebut dipegang
oleh Datu dan dibantu pejabat yang digelari Pratiyuaraja (raja muda) seperti
ditemukan di Sriwijaya.
Menurut
sejarah Melayu, pada akhir Kedatuan Sriwijaya. Raja Tri Buana bersama Demang
Lebar Daun mencari daerah baru untuk dijadikan pusat pemerintahan. Daerah yang
dikunjungi pertama ialah Bintan dan di situ sudah ada penguasa bernama Wan Sri
Beni. Tri Buana berusaha untuk mengadakan pendekatan dan berhasil, maka
terjadilah persetujuan di mana Wan Sri Beni meminta supaya Tri Buana menjadi
pemegang pemerintahan di Bintan. Selanjutnya Tri Buana melanjutkan
perjalanannya ke Temasik dan dirikannya pula pusat pemerintahan yang dinamakan
Singapura.
2.
Kemaharajaan
Melaka
Dari
Singapura selanjutnya didirikan pemerintahan di Melaka dengan raja pertamanya
Prameswara. Setelah menganut agama Islam, Prameswara bergelar Iskandar Syah.
Seterusnya pemerintahan dipegang oleh raja-raja yang kemudian dikenal dengan
sultan. Sultan terakhir sebagai kerajaan yang merdeka adalah Sultan Mahmud Syah
I. Sultan inilah yang berhadapan dengan Portugis. Dengan kelebihan yang
dimilikinya, Portugis berhasil menduduki Melaka sejak tahun 1511-1641. Melaka kemudian menjadi pusat
pemerintahan kemaharajaan dan berhasil menjadi imperium atau dalam bahasa
Melayu dikenal Kemaharajaan Melaka yang menguasai sebagian wilayah di Selat
Melaka termasuk wilayah-wilayah di Pesisir Timur Sumatera. Sultan-sultan Melaka
berupaya sekuat tenaga menjadikan wilayahnya sebagai pusat pemerintahan, pusat
perkembangan Islam dan kota dagang di Asia Tenggara serta berhasil pula menjadi
pusat peradaban Melayu.
Keberhasilan
Melaka menjadi pusat peradaban/tamadun Melayu berkat usaha dari kepala
pemerintahannya. Mereka dibantu para laksamana besar seperti Hang Tuah yang
berhasil mengeluarkan ungkapan terkenal.”Tuah
sakti hamba negeri, Esa hilang dua terbilang, Patah tumbuh hilang berganti,
Takkan melayu hilang di bumi” . Kepemimpinan Melaka zaman kemaharajaan ini
ditandai dengan terbitnya UU Melaka yang antara lain menetapkan adat mempunyai
kedudukan penting dalam administrasi keadilan di dalam negeri. Pengaruh Islam
juga sudah mulai menjadi penetrasi masyarakat Melayu.
Dalam
buku Sejarah Riau 1977 disebutkan
struktur pemerintahan dipegang raja (setelah mendapat pengaruh Islam berubah
nama menjadi sultan). Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan dan
agama. Penggantian sultan atas dasar keturunan dari pihak bapak (patrilineal),
tidak boleh dipindahkan. Prosesnya setelah mendapat persetujuan dari
pembesar-pembesar istana lainnya. Selanjutnya disebutkan Datuk Bendahara
sebagai Wakil Sultan atau Perdana Menteri. Laksamana sebagai penguasa di laut
urusan kemiliteran. Penghulu Bendahari berfungsi sebagai pembantu bendahara.
Jabatan lainnya adalah Khalifah, Amir, Syarif dan Qadhi.
Susunan
pemerintahan di atas berlangsung sampai tahun 1723. Sesudah itu terjadi
perubahan di mana sultan dapat dijabat keturunan bapak, dapat pula pengganti
yang lain asal berdarah Melayu dengan gelar Sultan Sri Paduka Yang Dipertuan
Besar. Orang kedua tidak lagi Datuk Bendahara, tapi sudah bergelar Yang
Dipertuan Muda. Datuk Bendahara sendiri turun peringkatnya di bawah Laksamana.
Mahkamah yang melakukan hukum keadilan dengan susunan Qadhi, Naib Qadhi,
Khatib, Muzaki, Derah, mata-mata 10 orang dan Ahlul Musyawarat. Struktur
kepemimpinan ini berlangsung sampai 1784, yaitu sejak gugurnya Raja Haji
Fisabilillah. Setelah itu Belanda memaksakan perjanjian bahwa mereka berhak
ikut menentukan pengangkatan Sultan Sri Paduka Yang Dipertuan Besar dan Yang
Dipertuan Muda.
Wilayah
kekuasaan Kemaharajaan Melaka meliputi Riau-Lingga, Kepulauan Riau, Semenanjung
Malaya dan Pesisir Timur Sumatera. Setelah “Treaty
of London” tahun 1824, Belanda dan Inggris membagi wilayah jajahannya, maka
Kepulauan Riau dan Pesisir Timur Sumatera menjadi jajahan Belanda, sementara
Semenanjung Malaya dan Singapura adalah jajahan Inggris. Kepemimpinan pada masa
ini bersifat struktural dari sultan sampai ke kawalan di bawahnya.
3.
Penjajahan
Belanda
Pemerintah
Belanda di Riau-Lingga dipimpin Residen dan wilayahnya disebut Riouw en Onder
Hoorigheden. Padsa daerah seperti di Daik dipimpin Asisten Residen dan
wilayahnya disebut Afdeeling. Pemerintahan Batin, Penghulu, Datuk Kaya dan Amir
tetap dipegang orang Melayu. Amir juga bisa menjabat Onderdistriclhoofd dan
Districthoofd. Pemerintahan orang Melayu tetap diakui dan diatur ketentuan yang
berasal dari pemerintahan Melayu atau ketentuan adat, termasuk di dalamnya
penyelesaian masalah pengadilan dan keamanan. Kekuasaan batin dan penghulu
tetap otonom.
Adapun
wilayah kesultanan Siak menjadi bagian dari Residenti-e Sumatera-s Ooskust dan
V koto Kampar bagian dari Sumatera-s Westkust Kuantan Singingi menjadi daerah
otonom dan berlaku ketentuan kepemimpinan adat. Kepemimpinan adat tetap diberi
keleluasaan untuk mengatur masyarakat oleh Belanda.
Kesultanan
Riau-Lingga penuh dengan perselisihan akibat dari provokasi Belanda. Bahkan
Kesultanan Riau-Lingga menjadi pecah dua dengan didirikannya Siak Sri Indrapura
olrh Raja Kecil dan setelah menjadi sultan bergelar Sultan Abdul Jalil
Rahmatsyah (1725-1748).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar