PERAN
KTN DALAM MENYELESAIKAN AGRESI MILITER BELANDA DI INDONESIA
OLEH:
SILVIA NORA
Serangan pasukan militer gabungan
darat, laut, dan udara Belanda ke Djokjakarta dan daerah Republik pada saat itu
bertumpu sepenuhnya kepada unsur pendadakan strategis. Bahkan agar tidak
memancing perhatian negara-negara lain, serangan militer dengan nama sandi
Operatie Kraai tersebut sengaja disebut dengan istilah aksi polisionil. Operasi
keamanan dan ketertiban dalam negeri. Selain itu, agresi tersebut sengaja
dilakukan menjelang hari libur Natal, di mana umumnya selalu menjadi liburan
panjang akhir tahun, sampai usai perayaan tahun baru. [1] Peluang inilah yang
dimanfaatkan oleh Letnal Jenderal Simon Spoor. Dia telah memperhitungkan,
kalaupun sampai muncul reaksi, spoor yakin semuanya bakal terlambat. Dengan
demikian, dia akan bisa memaksa masyarakat internasional menerima sebuah
kenyataan kalau dia telah menguasai wilayah yang ditaklukannya. Tujuan utama
belanda melakukan serangan agresi militernya atas Republik Indonesia yang
dimulai sejak 21 juli 1947 adalah untuk menghancurkan pemerintahan Republik
Indonesia dan menduduki kota-kota yang ada di pulau jawa, Sumatra, dan Madura
yang menurut isi perjanjian linggarjati masuk pada wilayah Republik
Indonesia.[2] Untuk mencapai tujuan tersebut, Belanda tidak bisa melakukannya
sekaligus, karena itu pada tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai
berikut:
1.
Politik, yaitu pengepungan ibukota RI dan penghapusan RI dari peta
(menghasilkan de facto RI)
2.
Ekonomi, yaitu merebut daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah
beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat,
Jawa Timur dan Sumatera serta pertambangan di Sumatera)
3.
Militer, yaitu penghancuran TNI.[3] Serangan yang dilakukan Jenderal
Spoor yaitu Operasi Kraai bersifat sapu bersih, pasukan republik harus langsung
dihabisi, agar mereka tidak sempat mengulur-ulur waktu. Kuncinya, bertumpu
sepenuhnya kepada unsur pendadakan, sekali pukul dan berlangsung cepat. Sejak
awal jenderal spoor menyadari bahwa serangannya harus bisa dengan sekali pukul,
oleh karena itu dia juga sadar bahwa mata dunia tim pemantau genjatan senjata
dengan membawa mandate dari Dewan Keamanan, justrus sedang berada dipusat
serangan. Dari hasil pengamatan dari komisi konsuler mengatakan bahwa pada
tanggal 30 juli sampai tanggal 4 agustus 1947 pihak dari belanda masih
melakukan agresi militer terhadap Indonesia. Amerika serikat mengusulkan kepada
PBB agar membentuk komisi untuk mengawasi penghentian permusuhan antara belanda
dengan bangsa Indonesia, akhirnya dewan keamanan PBB menyetujui permintaan dari
amerika serikat. Belanda dan Indonesia diberi kesempatan untuk memilih satu
negara sebagai wakil untuk menjadi anggota komisi, australia yang diwakili oleh
Richard Kirby yang dipilih oleh Indonesia sebagai wakil untuk menjadi anggota
komisi, sedangkan belanda diwakili oleh paul van zeeland dari belgia. Austarlia
dan belgia menunjuk amerika serikat sebagai penengah yang diwakili oleh Dr
frank graham dan komisi ini dikenal dengan komisi tiga negara (KTN). [4] Tim
tersebut terdiri dari tiga perutusan tiga negara, yaitu Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia, dipimpin secara bergiliran dan pada saat itu dipimpin
diplomat senior asal AS, Merle Cochran. Pada akhir tahun tersebut, lewat
program bantuan Marshall yang digagas oleh Amerika Serikat, negara adidaya
tersebut sedang berusaha membangun kembali perekonomian Eropa Barat, termasuk
Negeri Belanda, yang masih porak poranda akibat Perang Dunia II.
"Memalukan…" komentar Merle Cochran, sesudah mengetahui tentara
Belanda, tiba-tiba melanggar perjanjian gencatan senjata Renville dan malahan
langsung mendobrak garis demarkasi. Dalam pandangan pribadinya, sikap yang
diambil Belanda adalah tidak tahu malu,"
… tangan kanan mereka masih sibuk
menerima dana dari Marshall Plan, tangan kirinya memukul Republik." Merle
Cochran berusaha mencegah terjadinya perpecahan antara Belanda dan Republik,
tetapi perang akhirnya terjadi kembali. Sebelum pasukan komando KL bisa
sepenuhnya menguasai Djokja, dari Batavia Merle Cochran mengirim laporan kepada
Dewan Keamanan di Paris dan menguraikan sejumlah pelanggaran yang dilakukan
tentara Belanda, dalam posisinya selaku ketua bergilir KTN. Aksi pendadakan
yang dikerjakan anggota jenderal spoor bukan saja berubah jadi berantakan,
tetapi juga menjadi bumerang dan tidak bisa meraih hasil, sebagaimana yang
telah direncanakan. Masyarakat dunia yang tinggal jauh dari area konflik juga
terkejut karena hampir semua Koran di Paris terbit dengan judul,
"Pertempuran Kembali Berkobar di Jawa." Djokjakarta pada saat malam
hari, dalam waktu singkat memang bisa disergap oleh tentara Belanda. Termasuk
keberhasilan mereka meringkus Presiden Soekarno dan sejumlah pemimpin Republik
lainnya. Tetapi di kota Solo, yang hanya terpisah dalam jarak 60 km dari
Djokja, operasi kraai menerima kenyataan sangat buruk. Mereka terlambat
mendobrak karena kendala hujan lebat, jembatan-jembatan telah dihancurkan dan
sengitnya perlawanan pasukan Republik. Kota terbesar kedua di wilayah Republik
tersebut telah terlanjur dibumihanguskan. Hampir semua bangunan strategis
dihancurkan, hanya disisakan rumah sakit, bangunan-bangunan keagamaan berikut
keraton soesoehoenan serta poero Mangkoenegaran. Kondisi tersebut semakin
bertambah buruk karena harapan jenderal spoor masyarakat dunia bakal bereaksi
lambat tetapi malah sebaliknya. Laporan mengenai serangan tersebut, berkat
adanya beda waktu sekitar lima jam antara Batavia dan Paris, telah sampai lebih
dahulu di Dewan Keamanan, sebelum hari pertama pertempuran selesai. Jenderal
spoor semakin kaget karena di Paris Dewan Keamanan telah mendesak pemerintahan
Belanda untuk menjamin keselamatan anggota KTN beserta staf mereka yang sedang
terjebak di Kalioerang. Posisi terpojok berimbas kepada Wakil tetap belanda di
Dewan Keamanan, Dr. JH Van Roijen. Lewat telepon , Dewan Keamanan mendesak agar
pemerintah Belanda bertanggung jawab atas nasib seluruh kontingen antarbangsa,
yaitu para anggota KTN. Sementara itu, ketiga delegasi Republik: Mr.Soedjono,
Prof. Soepomo bersama Joesoef Ronodipoero telah selesai merumuskan laporan
untuk dikirimkan kepada Duta Besar Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Mr. Alex
Maramis di New Delhi, sekitar pernyataan Belanda tidak lagi mengakui Perjanjian
Renville. Dalam kata lain, perang bisa dipastikan bakal segera meletus. Laporan
tersebut berhasil dikirim ke New Delhi lewat bantuan Konsultan India di
Batavia. Salah satu siaran radio, All India Radio telah memberitakan terjadinya
serangan mendadak ke Djokjakarta berdasarkan release Kedutaan Besar Republik di
New Delhi. Berita tersebut langsung dikutip oleh radio berbagai negara,sehingga
membuka mata masyarakat seluruh dunia, bahwa pertempuran telah berkobar kembali
di Pulau Jawa. Berita tersebut juga mengejutkan Nehru, Perdana Menteri India,
karena pesawat terbang yang ia kirim ke Djokjakarta menjeput Persiden Soekarna,
masih tertahan di Singapura akibat terjadinya kerusakan teknis. Tetapi, Nehru
tidak membiarkan jatuhnya pemerintahan Republik berlalu begitu saja, melainkan
ia langsung melontarkan gagasan menyelengarakan pertemuan antarbangsa, dengan
sebuah agenda tunggal, mengutuk agresi militer ke Djokjakarta. Reaksi dunia
terhadap serangan mendadak yang dilakukan tentara Belanda, diluar dugaan
semakin memancing reaksi keras. Impian masyarakat dunia atas kehidupan yang
aman, damai, dan tenteram, sesudah menghalami kehancuran selama perang dunia
empat tahun sebelumnya, ikut memicu timbulnya sentiment negative terhadap
Operasi Kraai. Suasana tersebut semakin menjadi, meski pihak belanda
berpendapat tahap pertama operasi militer mereka sudah meraih sukses, ternyata
dengan cepat telah berubah, dan justru menebarkan citra yang negatif dan
memalukan. Negara yang sedang dibangun kembali dengan bantuan dana asing akibat
perang, justru telah menyerbu negara lain. Tidak mengherankan kalau
pemerintahan belanda segera menuai kecaman internasional, dan malah harus
menerima tuduhan bahwa telah menyelewengkan bantuan dana dari Amerika Serikat,
guna membiayai agresi militer perang kolonial. Jenderal spoor masih mengulur waktu
karena operasi militer yang sedang ia lakukan di jawa dan juga sumatera masih
belum selesai. Tanggal 24 desember, ketika resolusi Dewan Keamanan keluar,
sasaean-sasaran utama Operasi Kraai di Jawa, masih belum bisa mereka taklukan.
Sementara itu, Operasi Slot untuk merebut daerah Banten malah baru saj akan
dimulai. Sesudah melihat pihak Belanda belum juga menunjukan tanda-tanda
bersedia melaksanakan resolusi tanggal 24 desember, sehari setelah itu, tanggal
25 desember Dewan Keamanan mengulang kembali resolusi tadi. Bahkan kali ini
dengan peringatan yang keras dan ancaman akan menjatuhkan sanksi internasional,
jika Pemerintahan Belanda tetap tidak mau mengindahkan imbauan Dewan Keamanan.
Resolusi ini sekaligus memberi mandat kepada KTN, untuk secepatnya kembali
mengaktifkan Military Executive Board, para perwira militer pemantau gencatan
senjata, yang saat itu masih berada di Batavia. Ternyata, sewaktu menerima
susulan Dewan Keamanan, mungkin karena telah membayangkan beratnya implikasi
kalau mereka masih tetap menolak, sikap pihak Belanda pun seketika juga
berubah. Kepada Dewan Keamanan, Belanda juga berjanji akan segera menghentikan
operasi militernya terhadap pasukan TNI. Semua operasi militernya dijanjikan
akan dihentikan pada tanggal 31 desember di Pulau Jawa dan sejak 2 Januari 1949
untuk wilayah Sumatera.
Notes :
[1] Pour, Julius. 2009. Doorstoot Naar Djokja
Pertikaian pemimpin sipil-militer. Jakarta: Penerbit buku kompas. Hal 171
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi
Militer Belanda I
DAFTAR PUSTAKA :
Pour, Julius. 2009. Doorstoot Naar
Djokja Pertikaian pemimpin sipil-militer. Jakarta: Penerbit buku
kompas
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi Militer Belanda I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar