A.
Kepemimpinan
dalam Pandangan Melayu
Jika dirujuk sumber-sumber tertulis
karya pengarang tempatan dapat diklasifikasikan pemimpin bagi orang Melayu pada
zaman sebelum datangnya pengaruh agama Hindu, Budha, Islam dan Nasrani bahwa
pemimpin mengandung makna mitologis dan kosmologis. Artinya pemimpin orang yang
datang dari tempat yang tinggi atau dari langit yang turun ke bumi untuk
melaksanakan tugasnya memimpin penduduk yang ditemuinya.
Menurt sejarah Melayu pemimpin
dipersonifikasikan sebagai orang besar dan agung yang telah menguasai jagat ini
seperti Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnain dari Romawi yang merupakan
susur-galur dari raja-raja Melayu. Selanjutnya diteruskan raja keturunan Sriwijaya, Tri Buana yang
turun dari Bukit Siguntang Mahameru dan melahirkan keturunan Raja Melaka, Raja
Riau-Johor dan seterusnya.
Sejak Raja menguasai agama Hindu-Budha,
maka kepemimipinan Melayu menganut konsep Hindu
atau Budha. Konsep Hindu bahwa masyarakat itu harus tunduk kepada para
dewa. Dewa merupakan lambang/simbol kekuasaan atau pemimpin. Hindu membedakan
masyarakat atas kasta-kasta. Yang menjadi pemimpin adalah kasta tertinggi.
Kasta ini adalah kasta Brahmana, diikuti Kstaria, Waisya dan Sudra. Berdasarkan
ajaran itulah masyarakat Hindu mengandung konsep kepemimpinan beraja-raja
(aristokrasi) dan dalam masyarakat Melayu dikenal adat Ketemenggungan. Konsep
ini diteruskan dengan kepemimpinan setia raja seperti personifikasinya
kesetiaan Hang Tuah kepada Sultan Melaka. Untuk membuktikan kesetiaannya itu,
Hang Tuah sampai membunuh teman akrabnya, yaitu Hang Jebat dan Hang Kesturi.
Lain lagi dengan ajaran Budha, di mana
masyarakat tidak mengenal kasta. Status orang ditentukan kemampuannya
melaksanakan ajaran dan menghentikan sekurang-kurangnya lima larangan, yaitu
membunuh, mencuri, main perempuan, minum-minuman keras dan berjudi. Keputusan
diambil atas dasar kesepakatan bersama.
Ajaran Islam menentukan bahwa sultan
adalah wakil Tuhan di dunia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia diutus
untuk dijadikan khalifah (pemimpin) di muka bumi. Bagi yang mengerjakan shalat
berjamaah diberikan pahala 27 derajat lebih tinggi daripada shalat sendirian.
Apabila imam salah dalam memimpin shalat harus diingatkan dengan makmumnya.
Rasulullah Saw selain sebagai kepala pemerintahan sekaligus juga berperan
sebagai panglima perang melawan musuh. Keputusan mesti diambil secara
musyawarah untuk mufakat.
Pada masyarakat Melayu sejak dianutnya
Islam sebagai agama, maka ketentuan dan keputusan didasarkan ajaran Islam.
Hukum yang dianut, yaitu hukum syarak. Terkenal dengan ungkapan, “Adat bersendi syarak, syarak bersendikan
kitabullah”. Masyarakat Melayu tidak membabi buta setia pada raja atau
sultannya seperti ada ungkapan, “Raja
adil raja disembah, Raja zalim raja
diisanggah”. Ini berarti rakyat Melayu senantiasa mengawasi kebijakan
pemimpinnya.
Orang Melayu mempunyai pandangan bahwa
manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman-Nya
dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi, “Tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah
kepada Ku”. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis seperti pada Gurindam XII karangan Raja Ali Haji
diantaranya dikatakan:
Barangsiapa
mengenal yang empat
Maka
dia itulah orang yang ma’rifat
Yang empat dimaksud dalam Gurindam XII
di atas adalah Allah, diri, dunia dan akhirat. Menurut ketentuan adat Melayu
yang bersendikan syarak itu dikenal dengan ungkapan :
Adat
berwaris pada Nabi
Berkhalifah
kepada Adam
Adat
berinduk ke Ulama
Adat
tersurat dalam kertas
Adat
tersirat dalam sunnah
Adat
dikungkung kitabullah
Adapun ajaran Nasrani bagi masyarakat
Melayu relatif tidak ada, karena ajaran ini dipandang bertentangan dengan
Al-Quran dan Hadits. Kebetulan yang menyebarkannya adalah orang Barat yang
dianggap kafir. Karena itu, pemimpin Melayu sejak adanya usaha orang Barat
menguasai bumi Melayu mereka mengadakan perlawanan seperti Sultan Mahmudsyah I
melawan Portugis (1513-1528).
Perlawanan terhadap Belanda dilakukan
pejuang-pejuang antara lain Raja Haji, Tuanku Tambusai, Panglima Besar Reteh
Tengku Sulung, Nara Singa, Hang Nadim dan sebagainya. Namun dalam segi
kepemimpinan kontemporer karena banyak anak cucu orang Melayu mendapat
pendidikan modern, maka ajaran demokrasi modern telah mereka anut dan berupaya
untuk menegakkannya.
Sementara itu pandangan orang Melayu
dikenal kepemimpinan kolektif seperti adanya filsafat, “Tali Tiga Sepilin” atau “Tali
Berpilin Tiga”. Maksudnya bahwa setelah negeri ini tidak lagi beraja, maka
masyarakatnya mengandalkan peranan tiga komponen pemimpin, yaitu ulama, umara
dan pemangku adat. Keputusan diambil berdasarkan hasil musyawarah untuk
mufakat. Selanjutnya peranan ketiga komponen ini secara terselubung diakui
adanya tokoh masyarakat itu sebagai pemimpin informal. Hanya saja peranannya
untuk mengambil keputusan tidak ada. Sejak reformasi dan ditetapkannya UU
tentang Pemerintah Daerah (otonomi) barulah disinggung tentang peranan pemuka
adat.
Hubungan antara pemimpin dengan umatnya
diibaratkan bagaikan,”Aur dengan tebing.
Buku dengan isi dan mata putih dengan mata hitam”. Lebih lengkapnya dalam
Melayu pemimpin itu ialah sebagaimana diungkapkan dalam pepatah:
Yang
diberikan kepercayaan
Yang
diberikan kekuasaan
Yang
diberikan beban berat
Yang
diberikan tanggungjawab
Yang
diikat janji dan sumpah
Yang
disimpai petuah amanah
(Tennas
Efendi, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar