Selasa, 17 Mei 2016

KEPEMIMPINAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT MELAYU



A.    Kepemimpinan dalam Pandangan Melayu
Jika dirujuk sumber-sumber tertulis karya pengarang tempatan dapat diklasifikasikan pemimpin bagi orang Melayu pada zaman sebelum datangnya pengaruh agama Hindu, Budha, Islam dan Nasrani bahwa pemimpin mengandung makna mitologis dan kosmologis. Artinya pemimpin orang yang datang dari tempat yang tinggi atau dari langit yang turun ke bumi untuk melaksanakan tugasnya memimpin penduduk yang ditemuinya.
Menurt sejarah Melayu pemimpin dipersonifikasikan sebagai orang besar dan agung yang telah menguasai jagat ini seperti Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnain dari Romawi yang merupakan susur-galur dari raja-raja Melayu. Selanjutnya diteruskan  raja keturunan Sriwijaya, Tri Buana yang turun dari Bukit Siguntang Mahameru dan melahirkan keturunan Raja Melaka, Raja Riau-Johor dan seterusnya.
Sejak Raja menguasai agama Hindu-Budha, maka kepemimipinan Melayu menganut konsep Hindu  atau Budha. Konsep Hindu bahwa masyarakat itu harus tunduk kepada para dewa. Dewa merupakan lambang/simbol kekuasaan atau pemimpin. Hindu membedakan masyarakat atas kasta-kasta. Yang menjadi pemimpin adalah kasta tertinggi. Kasta ini adalah kasta Brahmana, diikuti Kstaria, Waisya dan Sudra. Berdasarkan ajaran itulah masyarakat Hindu mengandung konsep kepemimpinan beraja-raja (aristokrasi) dan dalam masyarakat Melayu dikenal adat Ketemenggungan. Konsep ini diteruskan dengan kepemimpinan setia raja seperti personifikasinya kesetiaan Hang Tuah kepada Sultan Melaka. Untuk membuktikan kesetiaannya itu, Hang Tuah sampai membunuh teman akrabnya, yaitu Hang Jebat dan Hang Kesturi.
Lain lagi dengan ajaran Budha, di mana masyarakat tidak mengenal kasta. Status orang ditentukan kemampuannya melaksanakan ajaran dan menghentikan sekurang-kurangnya lima larangan, yaitu membunuh, mencuri, main perempuan, minum-minuman keras dan berjudi. Keputusan diambil atas dasar kesepakatan bersama.
Ajaran Islam menentukan bahwa sultan adalah wakil Tuhan di dunia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia diutus untuk dijadikan khalifah (pemimpin) di muka bumi. Bagi yang mengerjakan shalat berjamaah diberikan pahala 27 derajat lebih tinggi daripada shalat sendirian. Apabila imam salah dalam memimpin shalat harus diingatkan dengan makmumnya. Rasulullah Saw selain sebagai kepala pemerintahan sekaligus juga berperan sebagai panglima perang melawan musuh. Keputusan mesti diambil secara musyawarah untuk mufakat.
Pada masyarakat Melayu sejak dianutnya Islam sebagai agama, maka ketentuan dan keputusan didasarkan ajaran Islam. Hukum yang dianut, yaitu hukum syarak. Terkenal dengan ungkapan, “Adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Masyarakat Melayu tidak membabi buta setia pada raja atau sultannya seperti ada ungkapan, “Raja adil raja disembah, Raja zalim raja diisanggah”. Ini berarti rakyat Melayu senantiasa mengawasi kebijakan pemimpinnya.
Orang Melayu mempunyai pandangan bahwa manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi, “Tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada Ku”. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis seperti pada Gurindam XII karangan Raja Ali Haji diantaranya dikatakan:
Barangsiapa mengenal yang empat
Maka dia itulah orang yang ma’rifat
Yang empat dimaksud dalam Gurindam XII di atas adalah Allah, diri, dunia dan akhirat. Menurut ketentuan adat Melayu yang bersendikan syarak itu dikenal dengan ungkapan :
Adat berwaris pada Nabi
Berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke Ulama
Adat tersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunnah
Adat dikungkung kitabullah

Adapun ajaran Nasrani bagi masyarakat Melayu relatif tidak ada, karena ajaran ini dipandang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Kebetulan yang menyebarkannya adalah orang Barat yang dianggap kafir. Karena itu, pemimpin Melayu sejak adanya usaha orang Barat menguasai bumi Melayu mereka mengadakan perlawanan seperti Sultan Mahmudsyah I melawan Portugis (1513-1528).
Perlawanan terhadap Belanda dilakukan pejuang-pejuang antara lain Raja Haji, Tuanku Tambusai, Panglima Besar Reteh Tengku Sulung, Nara Singa, Hang Nadim dan sebagainya. Namun dalam segi kepemimpinan kontemporer karena banyak anak cucu orang Melayu mendapat pendidikan modern, maka ajaran demokrasi modern telah mereka anut dan berupaya untuk menegakkannya.
Sementara itu pandangan orang Melayu dikenal kepemimpinan kolektif seperti adanya filsafat, “Tali Tiga Sepilin” atau “Tali Berpilin Tiga”. Maksudnya bahwa setelah negeri ini tidak lagi beraja, maka masyarakatnya mengandalkan peranan tiga komponen pemimpin, yaitu ulama, umara dan pemangku adat. Keputusan diambil berdasarkan hasil musyawarah untuk mufakat. Selanjutnya peranan ketiga komponen ini secara terselubung diakui adanya tokoh masyarakat itu sebagai pemimpin informal. Hanya saja peranannya untuk mengambil keputusan tidak ada. Sejak reformasi dan ditetapkannya UU tentang Pemerintah Daerah (otonomi) barulah disinggung tentang peranan pemuka adat.
Hubungan antara pemimpin dengan umatnya diibaratkan bagaikan,”Aur dengan tebing. Buku dengan isi dan mata putih dengan mata hitam”. Lebih lengkapnya dalam Melayu pemimpin itu ialah sebagaimana diungkapkan dalam pepatah:

  
Yang diberikan kepercayaan
Yang diberikan kekuasaan
Yang diberikan beban berat
Yang diberikan tanggungjawab
Yang diikat janji dan sumpah
Yang disimpai petuah amanah
(Tennas Efendi, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar