Minggu, 22 Mei 2016

SEJARAH KNIL, SEJARAH TENTARA BAYARAN


George MC T, kahin dalam karya klasiknya, nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia, mengatakan sebelum kedatangan Belanda masyarakat Indonesia telah memliki kelas menengah yang relative kuat. Bahkan para petani telah memiliki organisasi yang meski relative moderat, tetapi memiliki semangat perlawanan yang besar terhadap kekuasaan kaum aristocrat jawa yang menindasnya.
Tetap setelah belanda mengokohkan dominasi kekuasaannya dan sanggup membangun struktur kekuasaannya yang solid, kelas menengah yang pernah ada itu lenyap sama sekali. Kelas pedagang yang pernah berkembang, terutama di wilayah pesisir, hamper lenyap pula. Kahin mengatakan bahwa kemudian orang jawa menjadi penggarap dan nilai kehdupan sosialnya menjadi kerdil. Para petani semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Bersamaan dengan itu, kekuatan tawar-menawarnya terhadap kaum aristocrat jawa berangsur-angsur ambruk, hingga akhirnya berhasil ditakhlukkan. Dampak lebih lanjutnya, rakyat indonesia Cuma menjadi budak. Negeri yang pernah mengalami zaman kejayaan itu hidup di bawah kuasa kolonial. Kekayaan alam Nusantara dieksploitasi habis-habisan untuk melayani kepentingan ekonomi colonial. Dengan ekploitasi ekonomi inilah tiang-tiang kekuasaan politik Belanda ditegakkan, dengan kaum aristocrat sebagai kaki tangannya. Tentang hal ini, sejarawan Onghokham menulis,
“kompeni umumnya nenihak para penguasa dalam menghadapi para pemberontak. Arena itu sedari awal penguasa setempat dipertahankan, bahkan diperkuat, artinya struktur social pribumi diawetkan,….dengan demikian voc berfungsi sebagai stabilisator politik ia menjaga perimbangan kekuasaan antara penguasa pusat (raja) dan penguasa setempat (bupati). Selain itu, ia berfungsi seagai sumber keungan bagie lit pribumi.”
Akibat penindasan dan penghisapan yang kian bertambah keras, penguasa colonial harus menuai perlawanan. Dimulai dari banten, perlawanan menentang kolonialisme menjalar ke Mataram, Maluku, Ternate, Makassar, Kalimantan, Padang, Aceh dan seterusnya. Pada masa itu perlawanan rakyat terjadi secara sporadic. Tidak mengenal prinsip-prinsip organisasi perlawanan modern, program perjuangan yang jelas kepemimpinan politik yang kuat serta organisasi yang rapi, begitu juga disipln masih kabur. Umumnya gerak dan kesolidan organisasi dipimpin oleh individu dengan charisma dan wibawa tradisional yang kuat. Karena berlangsung Sporadic dan sering bersifat spontan, bentuk-bentuk perlawanan itu mudah dipatahkan.
Tetapi, rakyat terus belajar dari kesalahan-kesalahan itu, taktik strategy perjuangan terus diperbaiki . abarat pepatah “mati satu tumbuh seribu” perlawanan tak pernah surut bahkan semakin terpimpin dan terorganisir. Penguasa colonial akhirnya merasa kewalahan juga, terutama setelah pecah perang Diponegoro tahun 1825-1830. Inilah perang pertama yang sangat menguras tenaga dan menghabiskan biaya. Perang selama lima tahun itu tercatat sebagai perang yang paling meletihkan dan paling merugikan keuangan Belanda. Onghokham menulis:
“ pada tahun 1825-1830 penguas belanda di jawa mengalami salah satu krisis esar, yakni menghadapi pemberontakan pangeran Diponegoro. Belum pernah ada dalam sejarah intervensi Belanda ke Jawa, demikian banyak tentara kolonal belanda dikrim dan belum pernah timbul korban demikian esar dari pihak belanda”
Setelah berhasil mematahkan Diponegoro intervensi Belanda dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa semakin dalam. Namun usai perang Diponegoro prajurit Belanda berkurang Drastis. secara total, belanda kehilangan 15000 prajuritnya dengan sekitar 8000 orang tewas dan sisanya 7000 orang Pribumi yang disuplai oleh raja-raja yang probelanda. Atas dasar itu pemerintah colonial secara resmi mulai membangun kembali tentaranya di Hindia, yang dikenal dengan KNIL ( Koninklijke Nederlands Indische Leger)
Para perwira KNIL pada umumnya adalah lulusan akademi militer breda atau leih dikenal dengan nama KMA Breda yang ternama di Belanda. Sementara itu para prajuritnya dari golongan Intara dan Tamtama, umumnya sukarelawan yang direkrut dari kawasan-kawasan miskin seluruh Eropa. Melalui handerwijk, yakni pusat tentara bayaran yang sering jadi sasaran ejekan, sebagai Comberan Eropa (the sink-hole of Europa). Tak heran j  ika dinas ketentaraan sering kali hanya diperuntukan bagi orang-orang Eropa pengangguran. Yang untuk mempertahankan hidup kesehariannya terpaksa memilih menjadi tentara. Ini suatu pertanda untuk menjadi tentara tidak pertama-tama di motivasi oleh semangat bela Negara, semangat patriotisme demi kejayaan tahta Kerajaan Belanda. Menjadi dinas ketentaraan bukan pilihan utama. Dan juga bukan pekerjaan yang dapat meningkatkan status social seseorang.
Memang ada juga kenyataan bahwa motivas menjadi tentara tidak semata-mata karena daya tarik uang. Ada hal lain yang tak kalah menggiurkan yakni, akses terhadap pelacuran. Tetapi yang terpenting adalah tantangan akan momen-momen petualangan di daerah Asia. Timur, dalam benak orang Eropa, menyimpan misteri keindahan misteri yang Barbar, mempesona, samar-samar, sekaligus eksotis. Dengan menjadi tentara, semangat dan naluri petualangan untuk merambah daerah tak berperadaban itu menjadi lempang. Dari sini terkadang misi suci (mission sacre) bertumpang tindih dengan nafsu penumpukan capital.
Karena menjadi tentara bukan pekerjaan yang terhormat, ditanah jajahan, para tentara Eropa ini hidup terasing lagi terisolir. Kehadiran mereka ditolak dalam masyarakat, baik oleh masyarakat Bumiputera juga masyarakat Eropa. Hanya perwira tinggilah yang mendapatkan status social yang cukup tinggi erta oleh menikah dengan sesama orang Eropa. Para prajurit rendahan kalau toh dihormati semata-mata karena keberaniannya sebagai umpan peluru.
Jumlah prajurit keseluruhan yang bersedia menjadi Tentara Kompeni adalah 109.000 orang.  Menurut Capt. RP Suyono, selama masa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda telah dikirim sekitar 1500 hingga 1600 orang tiap tahun dengan kapal. Jumlah ini masih kurang karena yang dibutuhkan adalah 2000 orang tap tahunnya.  Dari jumlah serdadu Kompeni 61% adalah Belanda, 30% Belgia, Jerman (30%), Swis (20%) , Prancis (12%).belakangan serdadu Kompeni juga direkrut dari Afrika Barat (sekarang Ghana). Karenan berkulit hitam, mereka disebut Belanda Hitam atau mardjikers. Untuk menambah personei serdadu KNIL belanda melakukan rekrutmen terhadap masyarakat Indonesia juga.
Tetapi keanggotaan KNIL ternyata tidak terbuka bagi semua suku. Yang bisa diterima hanya teratas pada orang Ambon, Alfuru (orang Helmahera yang bukan kristen), Manado, Jawa, Sunda, Bugis, Timor, Aceh, Melayu dan sejak 1929 juga Batak. Menurut Peter Britton mayoritas prajurit  Bumiputera adalah orang Jawa 65%. Pada 1916, komposisi pasukan KNIL terdiri atas 17.854 orang jawa, 1792 Sunda, 151 Madura, 36 Bugis, 1066 Melayu, 3519 orang Ambon, 5925 Manado dan 59 orang Alfuru. Pada tahun 1923, menurut Larson 26000 orang terdaftar di KNIL. 8500 Maluku dan Minahasa. Dari Timor 1000, Jawa Barat 1500 Jawa Tengah dan Jawa Timur 15000 orang. Namun jumlah terbesar prajurit KNIL tetap dari golongan Eropa.
 Meskipun mayoritas prajurit KNIL berasal dari etnis Jawa namun perlakuan istimewa justru diberikan kepada pasukan KNIL yang berasal dari suku Minahasa, Timor dan Ambon karena kesamaan agama.  Hal ini juga terlihat dari fasilitas dan gaji yang diperoleh oleh orang-orang tersebut. Ketika soerang prajurit mendapat medali kuningan (voot moed en trouw) untuk keberanian dan kesetiaan seorang prajurit Ambon mendapat gaji sekitar 10,19 gulden sedangkan Jawa dan Sunda hanya sekitar 6,39 gulden. Diskriminasi lainnya adalah dari fasiltas berpakaian, misalnya prajurit Jawa tidak boleh memakai sepatu dan aturan ini kemudian dicabut tahun 1905  ketika protes dari perwira-perwira KNIL. perlakuan    diskriminasi itu bukan tanpa alasan tujuan utama adalah sebagai bagian devide at impera. Ini bisa dibuktikan ketika di masa-masa Revolusi Kemerdekaan, setimen anti Ambon muncul karena dianggap pro Belanda. Salah satu wujud politik tersebut adalah ketika Belanda menyerang Aceh pasukan yang diutus adalah orang Pribumi dari suku Jawa dan Ambon pasukan ini dinamai dengan pasukan Elit Morsase, namun perwiranya tetap dari golongan Belanda. Begitu juga pasukan KNIL melakukan penyerangan di Bali tahu 1846-1849, sebanyak 500 tentara KNIL berasal dari Madura dikerahkan. Kedua rekrutmen terbatas itu bertujuan agar tidak ada semangat persatuan dari orang Nusantara (Indonesia kini). Dalam buku KMA (koninklijke mlitaire academie) di breda tertulis pandangan pemerintah Kerajaan Belanda mengenai prajurit di Bumiputera.
mempertimbangkan nilai keprajuritan para parjurit prbumi di nusantara, kami berpendapat tidak ada pengikatan cinta terhadap tanah air dan nasionalsme pada mereka. Mereka hanyalah merupakan serdadu-serdadu yang disewa saja dan menganggap prajurit adalah sebagai suatu pekerjaan yang harus dibayar.
 Mayoritas prajurit KNIL dari Bumiputra direkrut dari golongan orang miskin dan budak atau golongan rendahan terutama dari masyarakat Jawa yang kehidupannya penuh dengan kemiskinan. Zaman terus berkembang dan KNIL terus dirasakan manfaatnya oleh Kerajaan Belanda di tanah jajahan.  Tetapi menjelang kekalahannya dari tentara Jepang, terdapat perkembangan lain yang menarik dari KNIL dalam rekrutmen Bumiputera. Terjadi pergeseran status social dari golongan Bumiputera yang direkrut ke dalam KNIL. Jika awalnya adalah golongan budak dan laisan social yang rendh, kemudian banyak dari tentara Bumiputera yang direkrut dari golongan terpelajar dan kaya bahkan dar golongan aristocrat. Misalnya: Didi Kartasasmita, seorang keturunan keluarga Menak yang sangat terhormat di Sunda, Surjadi Surjadarma seorang yang bergelar Raden bangsawan Jawa dari Banyuwangi, atau Gusti Kanjeng Pangeran Purbonegoro dan adiknya BKPH Djatikusumo, putra dari Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta, dan Ahmad Junus Mokoginta seorang aristocrat dari kota Moagu Sulawesi Utara,. Ada juga dari golongan terpelajar seperti Alex Kawilarang dan Abdul Haris Nasution , Tahi Bonar Simatupang, Rahmat Kartakusumah dan Asykari. 
KNIL juga mendapat tugas tambahan yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga keamanan dalam negeri jajahan, kemudian knil juga menjadapat tugas sebagai tentara untuk mempertahankan Hindia dar serangan Jepang di Perang Dunia II.  Oleh karena itu mereka juga disebut sebagai KNIL generasi baru.  Ketika menjalani masa latihan di KNIL, mereka harus bersumpah setia kepada Ratu Belanda, bersedia mengorbankan jiwa raganya demi kejayaan tahta ratu. T.B Simatupang, yang merupakan angkatan pertama dari akademi KNIL Bandung, mengatakan bahwa satu tradisi yang mencerminkan watak pendidikan di akademi itu terpatri dalam sebuah ”lagu taruna” atau het cedettenled  yang sangat dihapalnya.
“kom wapenbronders, nederlands zonen
Door hetzelfde levensdoel verwant
Met heilig vuur bezield voor het ene
Kom zweert met ons dan deze woden
Die eenmaal onze vaderen zwoeren
Toen vreemd geweld hen zuchten deed
artinya
(marilah teman-teman seperjuangan, putra-putra negeri belanda
Yang dipersatukan oleh tujuan hidup yang sama
Dijiwai oleh api kudus untuk tanah air yang Satu
 setia kepada tanah air yang sama
marilah bersumpah bersama dengan kami-kami kata-kata ini
yang pernah diikrarkan oleh leluur kita
waktu mereka berkeluh kesah di bawah kekuasaan asing

KNIL sesungguhnya menganut ideology militer professional yang telah tumbuh di eropa barat. Termasuk pandangan  bahwa kekuasaan militer dan sipil harus dipisahkan. Bahkan militer harus tunduk di bawah kepemimpinan sipil atau yang kini kita kenal dengan istilah supremasi sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar