Sejak tersiarnya berita tentang
pemberontakan RMS pemerintah telah mengambil sikap tegas, tidak akan mengakui
petualangan itu. Kemudian kementrian pertahanan menyusun suatu rencana tiga
tahap untuk menanggulanginya. Rencana tiga tahap tersebut sebagai berikut:
a.
Tahap pertama usaha menyelesaikan secara
damai.
b.
Bila mereka tidak bersedia maka akan
ditindaklanjuti dengan blokade melalui laut.
c.
Yang ketiga operasi militer jika usaha
yang ketiga itu gagal.
Usaha-usaha perundingan
dilaksanakan minggu itu juga, Dr. J. Leimena mentri pertahanan RIS, bersama
suatu rombongan diberangkatkan ke Ambon
dengan convert ri hang tuah. Fasilitas pengangkutan lain tidak dimiliki ri saat
itu. Tetapi rombongan ini ditolak oleh soumokil yang menuntut RIS mengakui sah RMS.
Dengan sendirinya leimena tidak dapat memenuhi tuntutan itu. Masyarakat Ambon pun berusaha mencari
penyelesaian, bekas anggota-anggota
badan perjuangan mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menerangkan situasi yang
sebenarnya pada masyarakat Ambon. Hal
ini dimaksudkan agar provokasi dari pihak-pihak yang mengakui gerakan RMS tidak
merajalela. Selain itu pada tanggal 12-13 juni
diadakan konferensi Maluku di semarang. Dalam konferensi ini para Politikus
asal Ambon menganjurkan agar masyarakat
Maluku mengirim suatu misi perdamaian ke Ambon. Selain itu mereka menyusun
suatu daftar usul pada pemerintah yang pada pokoknya menyangkut masalah otonomi
daerah Maluku Tengah. Hal ini merupakan pandangan dari kaum pergerakan
rms. Para pemuda dari badan-badan
perjuangan kurang setuju dan menganjurkan agar pemerintah melakukan aksi
militer[1].
Misi perdamaian yang terdiri dari Politikus,
Pendeta, Dokter, Wartawan itu berhasil diberangkatkan, tetapi mereka tidak
sempat bertemu dengan kaum pemeberontak, karena tidak lama sesudahnya tahap
tahap kedua dilaksanakan. Dalam sejarah ABRI operasi militer untuk penumpasan
RMS disebut GOM IV atau Gerakan Operasi Militer IV. Pimpinan operasi adalah Kolonel
Kawilarang, panglima Indonesia Timur, Komandan Pasukan / Brigade adalah Kolonel
Selamet Riyadi, perwira-perwira dari bantaliyon Pattimura terdapat pula dalam
stafnya, seperti Letnan Leo Loppulisa, demikian pula bekas perwira KNIL yang
tergabung dlam ABRI seperti Kapten J. Muskita[2].
Yang menaik dalam operasi ini
adalah peranan angkatan laut. Ini merupakan operasi gabungan pertama dalam
sejarah ABRI. Satuan ALRI dipimpin oleh Kolonel Adam dan Komandan eksadernya
adalah Mayor E. Marthadinata. Mulai tanggal 18 mei sampai 14 juli ALRI
mengadakan blokade laut dengan menggunakn kapal-kapal perang yang
ditinggalkan oleh Belanda. Perairan Maluku Tengah dapat diawasi
dan kapal-kapal kecil milik pemberontak
dapat dihancurkan, tetapi Soumokil tetap tidak bersedia berunding sebab itu
tahap ketiga dimulai.
Pendaratan pertama dimulai di Namlea
(Pulau Buru) pada 13-16 Juli, kemudian berturut-turut didaratkan
pasukan-pasukan di Seram, Banda, Tanibar dan Kei Aru sehingga pulau-pulau Ambon
dan Lease terkepung. Seluruh gerakan ini selesai pada bulan Agustus 1950.
Kemudian pada bulan September dilancarkan pendaratan di Ambon. Rencana untuk
merebut pertahanan utama RMS adalah sebagai berikut: pasukan pertama didarat di Hitu, kemudian pasukan
kedua didaratkan di Tulehu, didaratkan
di Ambon dan dengan dengan demikian ketiga pasukan itu bersama-sama menyusun menyerbu RMS[3].
Pendaratan di Hitu berhasil
sekalipun pimpinan pertama ini gugur. Pendaratan di tulehu sangat banyak
dibantu oleh pasukan terpendam, dari Maruapey. Pasukan ini terdiri dari
putra-putra Ambon yang Republiken.
Mereka melanjutkan perjuangan dari Wim
Reawaru. Tetapi ketika pasukan-pasukan ini tiba di waitatiri mereka menghadapi
perlawanan gencar. Tempat itu terletak di Paso yang merupakan sepotong tanah
yang menghubungkan kedua jazirah yang membentuk
pulau Ambon. Bagi penyerang yang tempat itu sangat strategis. Pasukan Jepang
pun harus berkorban banyak pada awal Perang Dunia 2 sebelum dapat merebut pulau itu. Sebab itu pimpinan
operasi memerintahkan agar pasukan berhenti.
Sementara itu dari pusat didatangkan senjata-senjata berat berupa meriam dan lain-lain. Bantuan pesawat udarapun
didatangkan juga. Pengangkutan senjata-senjata berat itu memerlukan waktu satu
bulan. Baru pada bulan November
penyerbuan dapat dilanjutkan. Pada
tanggal 3 November waitatiri dapat ditembus dan pasukan meneruskan penyerbuan
ke kota Ambon. Sementara itu pasukan
ketiga mulai diturunkan dekat kota itu. Bersama-sama mereka menyerbu sehingga
pada tanggal 8 November kota itu dapat
direbut oleh TNI. Sayang sekali
komandan Brigade tewas pada saat itu.
Segera sesudah itu pasukan Pattimura
dimmasukkan sebagai pasukan territorial. Pasukan ini tidak diperkenankan
bertempur secara Bantaliyon, hanya satuan-satuan kecil yang diikutisertakan
dalam penyerbuan ke Ambon. Ini dilakukan dengan pertimbangan agar kelak tidak
timbul kesan seolah-olah terjadi perang saudara. Namun kengerian yang timbul
akibat adanya sanak saudara di kedua belah pihak terasa juga di sana-sini.
Segera sesudah itu pemerintah sipil dan militer
dibangun, sementara operasi-operasi diteruskan samai pimpinan APRMS, tertangkap
atau menyerah pada pada tahun 1952. Soumokil, yang berhasil menyelamatkan diri
jauh sebelumnya, baru dapat ditangkap pada tahun 1962, menjelang eskalasi perjuangan
IRIAN jaya. Ia dihadapkan ke depan
sidang pengadilan militer dan dijatuhi hukuman mati. Dengan demikian
selesailah sudah suatu tragedy di Indonesia Timur. Tetapi akibat-akibatnya
dirasakan jauh sesudahnya karena merajalelanya provokasi dan subversi
kalangan-kalangan tertentu. Hal ini pun berangsur-angsur dapat diatasi pula.
PRESKITIF UNTUK MASA KINI
Dengan kesudahan yang
memuaskan dari usha-usaha penumpasan RMS
di Maluku Tengah, maka cita-cita integrasi wilayah itu mulai menjadi kenyataan.
Rencana-rencana pembangunan yang dilancarkan sekarang sedikit banyak bisa
mengatasi kekacauan ekonomi dalam tahun-tahun 1960-an. Dengan demikian berangsur-angsur wilayah itu
pun mengikuti perkembangan ke arah kemajuan
yang memang dicita-citakan setiap anggota masyarakat. Dalam usaha ini barang kali perlu diperhatikan, bahwa pengetahuan kita mengenai keadaan masyarakat dan
kebudayaan wilayah tersebut jauh dari memadai. Ini sudah tentu bukan menjadi
masalah pemerintah pusat yang harus
menangani beraneka macam masyarakat di
Indonesia. Sebab itu ada baiknya apabila
perkembangan dalam bidang ini diperlancar. Usaha-usaha sperti
pembangunan pusat dokumentasi di Universitas Pattimura mungkin tidak saja akan
bermanfaat bagi penelitian ilmu-ilmu sosial tetapi juga bagi ilmu-ilu lainnya.
Selain itu ada masalah RMS di
Nederland. Ini sebetulnya bukan masalah pokok Indonesia , tetapi disini perlu
diperhatikan bahwa hal-hal berikut: pihak Belanda dan Indonesia harus
menganggaap hal ini sebagai persoalan social, bukan persoalan politik Indonesia
dan maupun elanda kedua-duanya tidak mengakui RMS. Sejumlah orang yang mengakui
diri sebagai RMS pun berangsur-angsur mengambil pandangan yang sama. Untuk
menyelesaikan masalah ini pemerintah Belanda mengajukan suatu rencana integrsi
masyarakat Ambon ke dalam masyarakat Belanda. Rencana ini belum memenuhi
keinginan semua pihak dikalangan masyarakat Ambon di sana. Pihak masyarakat ambon pun belum semua merasa
puas, namun rencana yang dikemukakan pada tahun1978 itu sudah merupakan suatu
langkah yang sangat maju.
KBRI di den hag berusaha pula
sebaik-baiknya, inti permasalahannya adalah memulangkan warga Negara RI yang
mau kembali ke Indonesia, dan memberikan status kewarganegaraan RI kepada
mereka yang menginginkannya. Usaha ini namak berhasil karena dari sejumlah
40000 orang anggota RMS di negeri
belanda sudah 7000 orang yang menjadi waarga Negara RI da nada pula yang telah
memilih menjadi waga Negara belanda.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan ir. Manusama ditentang oleh
semua pihak. Disini juga terjadi fragmentasi dan disini juga terjadi cita-cita
untuk menytu dengan Indonesia selain untuk tetap tinggal di Nederland. Dengan demikian diharapkan ini dapat selesai.
Ada usaha untuk mejadikan turunan ketiga orang Ambon di Nederland secara
otomatis menjadi warga Negara belanda. Tetapi hal ini masih memerlukan
penanganan karena menyangkut masalah-masalah hukum[4].
NOTES:
[1]. Lapian, A. B., dkk. 1996. Terminologi sejarah 1945-1950 dan
1950-1959. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
[2]. Frederick, William H. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revousi. Jakarta. LP3ES hal: 182
[3]. Frederick, William H. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revousi. Jakarta. LP3ES hal:
183
[4]. Frederick, William H. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revousi. Jakarta. LP3ES hal: 184
DAFTAR PUSTAKA:
- Lapian
A. B., dkk. 1996. Terminologi
Sejarah 1945-1950 dan 1950-1959. Jakarta. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
- Frederick,
William H. 2005 Pemahaman Sejarah
Indonesia Sebelum Dan Sesudah Revolusi. Jakarta. LP3ES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar