Minggu, 28 Desember 2014

silsilah melayu dan bugis




SILSILAH MELAYU DAN BUGIS

Setidak-tidaknya ada tiga naskah silsilah melayu dan bugis yang tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia. Naskah pertama tersimpan pada perpustakaan Universitas Leiden dengan penyalinan bernama Abdul Aziz Ibni Almarhum Al-Haj Nawawi Al-Araqiah. Naskah yang kedua terdapat di museum Negara Kuala Lumpur yang dipindahkan dari museum negeri Perak pada tahun 1962. Dan naskah yang ketiga berada pada perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur dengan penyalin Haji Abdul Ghani yang mulai penyalinan pada 5 Rabiul Akhir 1282 Hijriah.
Karya ini pertama kali dicetak dengan huruf arab di Singapura pada tahun 1900, kemudian dicetak kembali oleh Mathaba’at Al-Imam pada tahun 1911 di Singapura. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh H. Overbeck dan dimuat  Journal Of The Malayan Branch Of The Royal Asiatic Society IV / 3 / 1926 hlm. 339-381. Terbitan ini berdasarkan salinan dari Haji Abdullah Bin Khairuddin keturunan negeri juanan pada tahun 1956, kemudian buku itu terbitkan juga oleh kerajaan johor dalam huru arab dan di cetak di Government Printing Office Di Johor Bahru. Berdasarkan terbitan dari kerajaan Johor inilah arena wati mengalihaksarakan dari huruf arak e huruf latin dan diterbitkan oleh pustaka antara Kuala Lumpur pada tahun1973 [1].
Akan tetapi pengalih aksara yang dilakukan oleh Arena Wati itu sengaja meninggalkan suatu bagian uku tersebut yang tak kurang pntingnya. Malahan sangat penting bila ditinjau dari aspek tertentu yaitu bagian uku yang ditata dalam bentuk syair. Padahal silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya merupakan karya unik dan sangat istimewa jika dilihat  dari berbagai sisi.. umpamanya gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang dalam karya ini sangat kental mendukung gambaran sosok kebudayaan Melayu. Dalam pemakaian kosa kata silsilah melayu bugis lebih cenderung pada kosa-kosa kata melayu daripada kosa kata Bugis.
Sebagai contoh di bawah dapat dilihat bagaimn Raja Ali Haji membuat kesimpulan dari suatu babakan peristiwa yang diantaranya berbentuk prosa dengan syair-syair. Ketika terjadi kematian yang menimpa dua orang saudara upu-uupu yang lima, simpulan dalam bentuk syairnya ialah seperti berikut:
Wahai sayangnya akan saudara
Sebab bersama-sama mengembara
Tiada pernah mufakat cedera
Segala pekerjaan segala perkara

Dengan kehendak tuhan yang mulia
Dua orang saudara meninggalkan dunia
Hendak diusahakan tiada berdaya
Karena perbuatan tuhan yang sedia

Melainkan hamba berbanyak sabar
Akan perintah wahidul kahhar
Ialah tuhan bersifat jabbar
Akan hambanya kecil dan besar

Kitapun kelak demikian itu
Meninggalkan dunia juga yang tentu
Tidak memilih raja dan ratu
Semuanya itu pergi ke situ

Hendaknya kita tunduk tengadah
Lihat kepada datuk nenek yang sudah
Adil dan insyaf juga berfaedah
Menaikkan kita pangkat sa’adah

Rakyat dan sakai hendaklah pelihara
Kesenangan hidupnya dikira-kira
Istimewa pula sanak saudara
Jangan sekali diberi cedera

Ilmu yang benar hendaklah dimulia
Karena ia mu’arinya anbia
Tuntut ilmu jangan sia-sia
Yang lain itu tinggal di dunia

Ayuhai tuan-tuan coba pikirkan
Serta pandang amat-amatkan
Kematian datuk nenek teladankan
Kita sepertinya akan didatangkan [2].

Virginia Matheson menamakan buku silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya sebagai saudara perempuan dari tuhfat l-nfis. Sang saudara perempuan ditulis oleh raja ali haji sekitar 7 september 1865 dan  15 januari 1866.  Apapun alasan  untuk memberi penamaan itu yang trang memang penulisan buku itu tidak ersandar kepada sumber-sumber yang  banyak   dan beragam-ragam seperti halnya Tuhfat Al-Nafis. Lahi pula silsilah melayu dan bugis  tentulah lebih disenangi oleh kelompok von Ranke & Gibbon karena dalam banyak hal mengarah ke muara objektivitas dibandingkan dengan saudara laki-lakinya yakni Tuhfat Al-Nafis yang lebih memperhatikan karangan Hegelian yang senantiasa memakai lensa filosofi pada suatu karya sejarah.
Sumber penulisan sejarah silsilah Melayu dan Bugis adalah siarah Pontianak sebagaimana dinyatakan oleh penulisannya di bagian pembuka buku itu:
Telah ditaruh pada hatiku bahwa aku perbuatlah silsilah ini pada ketika aku perbuat akan satu kitab dari tangan saudara kami yang saleh yang kepercayaan yaitu sayid al-syarif abdul rahman bin sayid al-syarif  al-qasim sultan Pontianak bin sayid al-syarif abdul rahman l-qadri dan di dalam kitab ini disebutkan setengah daripada keturunan raja-raja dan anak raja-raja  yang mereka itu mengembara menjauhi daripada pihak pulau bugis [3].

Dengan memudiki ke hulu sungai sejarah, kisah awal pun dirangkai bertempat di negeri Luwu di pulau Sulawesi. Atau lebih jauh ke hulu lagi tentulah akan memasuki  Sempadan negeri penuh misteri yang biasanya hanya padan untuk jenis cerita khayal. Silsilah atau susur-susur meluas bertmabah rimbun seperti halnya pohon subur yang dahan, cabang dan rantingnya terus menumbuhkan tunas serta daun, patah tumbuh hilang berganti. Titik awalnya diletakkan pada lima orang anak-anak Raja Kerajaan Luwu di Sulawesi atau Upu-upu lima bersaudara yang menempuh gelombang  dan badai mengarungi laut dengan kapal Pinisi dan perahu lainnya, mengembara ke barat, ke Kalimantan, Kepulauan Riau, semenanjung tanah Melayu, Kamboja, Pesisir Pulau Sumatera, dan tempat-tempat lainnya.  Mereka adalah Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Marewah, Daeng Celak Dan Daeng Kemasi.
Di Siantan, Daeng Perani menikah dengan anak perempuan Nakhoda Alang. Dari perkawinan ini lhirlah Daeng Kamboja, orang yang kelak bersama saudara sepupunya Raja Haji Ibni Daeng Celak berperang denganbelanda di linggi yeng terletak kira-kira 20 kilometer di sebelah uatara kota malaka. Dengan siantan sebagai pangkalan upu-upu berlima itu meneruskan pengembaraan lautnya yang mendebarkan sampai-sampai ke Kamboja dan temat-tempat lin di sekitarnya.
Kemelut perebutan tahta  di kerajaan Johor menyebabkan kelima orang bersaudara yang berasal dari kerajaan luwu itu diundang untuk membantu pihak anak laki-laki almarhum sultan jalil yang mati dibunuh di atas  sajadah sholatnya  di kuala Pahang. Awalnya  pihak Raja Kecil memenangi perebutan tahta itu lalu memindahkan pusat pemerintahan ke Riau. Sebuah tempat di pulau intan yang dulu didirian oleh Laksamana Abdul Jamil pada tahun 1673 dan pernah beberapa kali menajdi pusat pemerintahan kerajaan Johor. Setelah melalui beberapa peperangan akhirnya hasrat Raja Kecil untuk menaiki tahta Riau yang pernah dirasakannya dipatahkan pada tahun 1721.
Tahun berikutnya salah seorang diantara lima saudara upu-upu itu yakni daeng marewah berhasil menduduki jabatan sebagai orang kedua di kerajaan itu. Raja ali haji menggambarkan peristiwa tersebut ke dalam silsilah melayu dan bugis, sebagai berikut:

Kata orang yang empunya cerita
Takkala ini keduanya putra
Berjanji-janjian berdua saudara
Tiadalah berubah tiadalah cedera

Sampai kepala  anak cucunya
Yam tuan muda sebelah bugisnya
Yam tuan besar sebelah melayunya
Demikian konon kata setianya

Riau dengan takhluk daerah
Kepada yam tuan muda terserah
Perintah kerajaan tiada berarah
Jangan siapa mungkir sezarah [4].

Sebagaimana dinyatakan dalam sumpah setia yang berkali-kali dilakukan,  kedua jabatan itu bagaikan mata hitam dengan mata putih tak boleh bercerai selagi ada peredaran bulan dan matahari. Sebagai penguat ikatan demi jabatan tersebut berlangsung pula pernikahan di antara  kedua belah pihak. Karena itulah  pemegang jabatan yang dipertuan muda riau yang keempat setelah daeng marewah, daeng celak dan daeng kamboja yaitu Raja Haji tidak lagi dipandang sebagai orang bugis jati karena ibunya  berasal dari bangsawan kerajaan Riau, gelar kebangsawananpun tidak lagi daeng. Memang dari keturunan daeng celak sejak anaknya menjadi yang Dipertuan Muda Riau ke-4 yaitu raja haji berasal semua Raja Muda sesudahnya. Seperti dalam karya folklore atau dongeng yang piawai hal itu sudah diramalkan sebagaimana dinyatakan  dalam kedua  karya   raja ali haji yaitu: “apabila sudah siap maka mufakatlah ia hendak  masuk ke negeri  Johor dan melaka mengembara  pada sebelah tanah itu karena ia sudah dapat satu alamat tatkala masa ia semua hendak keluar dari tanah bugis yaitu upu daeng menambun ada bermimpikan akan zakar saudaranya upu daeng celak menjulur menjadi naga, adalah kepalanya menghadap ke johor, maka dita’birkan orang anak cucunya akan mendapat kerajaan di sebelh johor dan riau.
Setelah mendapat kedudukan yang kokoh di Kalimantan, Kepulauan Riau dan Johor, uppu-upu berlima itu mendapat undangan pula dari anak sulung kerajaan kedah yang disingkirkan oleh adiknya sendiri.  Peperangan di kedah ini merupakan bagian yang paling riuh rendah dalam buku tersebut karena pada bagian kedua ikut pula bekas musuh lama upu-upu itu. Raja Kecil.  Dalam gema gendang perang yang dipalu sepanjang perjalanan laut upu-upu itu berangkat dari riau dengan 60 penjajab dan menghancur leburkan perdagangan timah di Kedah.  Ajaran yang merupakan air mandi dan nasi sehari-hari bagi mereka ialah agar sentiasa  tidak membuang belakang dan mati dengan nama laki-laki.  Itulah sebebnya  penembakan daeng perani oleh raja kecil dari buritan kapal dianggap sebagai tindakan yang tidak jantan dan gema ejekan terdengar  melintasi zaman karena siapa yang memiliki pena akan leih jauh melangkah ke masa depan.  Daeng Perani tewas, tetapi perang dapat dimenangkan oleh pihak upu-upu tersebut. Raja Kecil di usir kembali ke negerinya di siak dan kekuasaan kedah ditegakkan kembali. Dari Kedah upu-upu itu  meneruskan perjalanan ke Perak, Selangor, dan ke masa depannya.

Notes:
[1]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 148
[2]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 149
[3]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 152
[4]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 154
DAFTAR PUSTAKA:
  1. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press.
  2. Liasmi, Rida. 2007. Bulang Cahaya Sebuah Novel . Pekanbaru. JP. Books Surabaya dan Yayasan Sagang Pekanbaru
  3. Id . Wikipedia . org
  4. http / portalbugis.com

Jumat, 26 Desember 2014

TUHFAT AL-NAFIS




Tufat Al-Nafis Sebagai Rujukan Sejarah Bumi Melayu, (Hadiah Berharga Dari Raja Ali Haji)

Pada tahun 1903 bekas residen Riau A.L . van hasselt menghadiahkan sebuah manuskrip Tuhfat Al-Nafis kepada Koninklijk Instituut voor Taal,-Land-en Volkenkunde di Leiden. Manuskrip itu didapatkan sebagai hadiah ketika ia selesai bertugas sebagai residen pada tahun 1886, disalin dari simpanan yang dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al-Ahmadi sebagaimana tercatat pada naskah Cod. Or.69.
KITLV sebagai  catatan dari pemiliknya yang pertama yaitu van hasselt berbunyi dit handsschrift, getrouwe van een dergelijk / dat berust in het archieft van den jang dipertoean Moeda Riouw [1]. Inilah manuskrip paling pendek menurut Virginia Matheson terdiri dari 88.000 kata dan bagian pembukanya ditulis oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua.  Ciri-ciri lainnya dari manuskrip ini ialah ditandai dari kalimat-kalimatnya agak pendek, klisa kesustraannya pun tidak terlalu banyak, dan tidak dijejali petikan-petikan dari bahasa Arab. Menurut milik Sir Richard Winstedt diperolehnya dengan menyalin dari yang dipinjam oleh Tengku Fatimah binti Sultan Abu Bakar Johor. (  yang masa hidup Raja Ali Haji bergelar Tumenggung Bakar ). Naskah ini pernah diterbitkan dalam  “JMBRAS (Juornal of the Malayam of Royal Asiatic Society) X/2/1932, hlm. 300-320.
Menurut kepunyaan Sir William Maxwell yang kini tersimpan pada perpustakaan Royal Asia society di London didapatnya dengan disalin oleh orang Perak pada tahun 1890. Salah satu bagian di dalamnya, ersama dengan sumber lainnya seperti terjemahan padatan oleh R. O. Winstedt tersebut di atas, yaitu bagian peperangan Raja Haji dengan belanda pada tahun 1784, telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan dimuat di dalam JABRAS ( Journal of the Straits Branch of Royal Asiatic Society ) XXII, Desember 1890, hlm 173-224 [2]. Ciri-ciri manuskrip Winstedt dan Mawell ditandai dengan kalimat-kalimat yang sangat panjang, dijejali oleh klise dalam bahsa Arab. Menurut erhitungan, kedua manuskrif tadi terdiri dari lebih kurang 126.000 kata.
Satu lagi manuskrip “Tuhfat Al-Nafis” yang menurut beberapa peneliti memperlihatkan banyak sekali persamaan dengan dengan milik  sir Willaim Maxwell, tersimpan pada perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur Malaysia. Penelitian yang cerman tentang naskah ini sampai pada tinta yang dipakai untuk menulisnya yang menunjukkan pula persamaan dengan pembuatan tinta di Riau yaitu dari lender hitam sotong atau nos, kulit Manggis dan buah Seduduk. Penerbitan buku Tuhfat Al-Nafis, dalam buku latin dilakukan oleh Encik Munir bin Ali, diterbitkan oleh Malaysia Publications Ltd., Singapura, 1965. Akan tetapi pengalihan aksara dalam buku ini penuh dengan kesalahan yang parah karena salah menyalin baik nama-nama tempat, nama-nama orang dan istilah dari huruf Arab ke huruf Latin. Sebagai contoh ialah kesalahan menyalin nama-nama tempat seperti Pidie menjadi Pidiri, Kerukut  menjadi Kerugot, pulau Los menjadi Pulau Lusa, Pekan Lais menjadi Pekan Laas, Penghujam menjadi Pengujan atau Pengujan menjadi Pengujun, Laur atau  Lawur menjadi Lawar, Peringgit  menjadi Perengkat, Pangkil menjadi Pangkal, dan lain sebagainya . Padahal untuk mendapatkan sandingan yang tepat bagi nm-nama itu sebainya dicari peta-peta lama atau buku yang berisi  nama-nama  tempat tersebut seperti  kumpulan surat-surat     perjanjian berjudul  suat-surat perjanjian antara keSultanan  Riau  dengan pemerintahan VOC dan Hindia Belanda 174-1909. Arsip Nasional Republik Indonesia, Djakarta, 1970.
Namun parah dari buku itu  ialah kesenjangan penyalinan  mengubah teks asal. Perbuatan ini dapat memutuskan rantai informasi budaya yang sangat diperlukan apabila ada peneliti yang mendekati karya ini dari sudut Filologi, dan ilmu budaya lainnya. Sebagai contoh pada halaman 44, 45 pada kutipan ucapan Tengku Tengah, berbunyi:
“hai Raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupan keaipan beta anak beranak adik  beradik. Maka apabila bertutup keaipan beta semua maka redhalah beta menjadi hmba raja Bugi, jikalau disuruh menjadi penanak nasi raja sekalipun redhalah beta” [3].
Padahal dlam teks huruf Arab (Jawi) manuskrip dn edisi manapun bagian ini aslinya berbunyi:
hai raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkan kemaluan beta anak, beranak adik beradik. Maka apabila bertutup kemalua beta smua maka redhalah beta menjadi hama raja Bugis, jikalau hendak disuruh menjadi penanak nasi raja sekalipun redhalah beta” [4].
Barangkali sang penyalin mengartikan kata “ kemaluan” pada bahasa melayu di masa Raja Ali Haji sama dengan bahasa Melayu / Indonesia sekarang. Padahal baik diketahui bahwa kata “kemaluan” dalam pemakaian sekarang ini dapat digolongkan dalam neologisme, sedangkan kata “kemaluan” yang lama itu sebenarnya sudah punah  kecuali dalam karya-karya sastra lama saja. Sesangkan seorang belanda dapat memahami dengan baik kutipan ini tanpa mengubahnya. Elisa Netsher menerjemahkan dengan tepat kata “kemaluan” itu dengan “schande” seperti tertera dalam bukunya de Nederlanders in de Djohor en Siak  1602 tot 1865, Bruining & Wijt, Batavia, 1870, hlm 52. “ O Bugische vorst! Zoo gij medeweken om mij te verlossen van de schande, die op mij rust, dan wil ik uwe diensmaagd worden, zo geheel in uwe magt als de rijs, die gijk kaauwt, en in wat gij ook van mij moogt verlangan zal ik u gehoorzamen”[5].
Tuhfat Al-Nafis ialah karya yang mulai ditulis pada 22 Desember  1865 sebgaimana dinyatakan sendiri oleh pengarangnya Raja Ali Haji pada pembukaan Tuhfat Al-Nafis. “maka pada ketika itu adalah Hijrah nabi  S.A.W 1282 tahun dn pada 3 hari bulan sya’ban yang maha besar dan berangkitlah hatiku bahwa memperbuat kitab ini”[6]. Karya ini dapat dimasukkan dalam lingkungan karya modern disebabkan sebagai karya sejarah ada menyebutkan waktu, tempat dan sumber-sumber.
Pentingnya actor waktu, tempat dan sumer-sumber inilah yang menyebabkan Raja Ali Haji memberikan kritik kepada “sejarah dan Siarah Siak” yang meskipun dipakainya juga sebagai perbandingan memperlihatkan beberapa cacad untuk disebut sebagai karya yang sesuai dengan semangat zaman itu.  Kritik tersebut ditulisnya dalam salah satu versi Tuhfat Al-Nafis  sebagai berikut: “Syahdan kan tetapinya aku terjumpa dengan satu Sejarah dan Siarah siak itu daripada awal   hingga akhirnya tiada tahun dan tiada pula tawarikh  apabila bulannya dan harinya tiada sekali-sekali  aku bertemu dan karangannya pun banyak kurang sedap dibaca sebab sudah banyak berpindah-pindah agaknya dari pada tangan seorang kepada tangan seseorang serta menyuratnya kurang selidik pada enghasilkan bagi sah. Demikianlah sangkaku.”[7].
Bandingkanlah dengan pemanfaatan ketiga faktor ini dalam karya-karyanya sendiri. Umpamanya tentang kelahiran seorang tokoh dicatatnya “Syahdan apabila tetaplah yang Dipertuan Muda itu di dalam Riau   maka endapatkan yang Dipertuan Muda itu anak laki-laki maka dinamakan Raja Ahmad yaitu pada bulan Rajab, hari Khamis, waktu ‘Asar, maka masuklah pada petang Yaumul Mubarak yaitu Hijratun Nabi s.a.w. seribu seratus Sembilan tahun  tiga sanah”.  Apabila suatu kejadian tak dapat diketahui waktunya dengan tepat dinyatakanlah oleh sang pengarang dengan “ tiada dapat tarkhnya” atan “ akan tetapi dapat kira-kira barangkali tahun itu “ atau “ elum aku dapat akan tahunnya “. Sedangkan apabila benar-benar tak dapat teroka dinyatakan dengan “wallahu a’lam “ yaitu bahwa allah yang tahu atau seperti ini: “ Syahdan di dalam pada itu wallahu  a‘lam entahkan mana-mana yang benarnya tiada aku tahu serta aku mengharapkan Allah ta’ala mudah-mudahan mengampunkan daku daripada salah dan khilaf bebalku yang  tersebut olehku di dalam sejarah dan siarah ini” [8].
Tentang sumber-sumber yang dijadikan sandaran oleh Raja Ali Haji dalam menghasilkan Tihfat Al-Nafis ini, semuanya dinyatakan dalam buku tersebut.  Yang pertama dan paling uas adalah sejarah dan siarah pihak Riau, atau karangan Engku Busu. Kemudian menyusul sumber-sumber yang oleh Raja Ali Haji disebut  sejarah dan siarah dari sebelah timur  dan dari sebelah barat. Yaitu sejarah Pontianak, dan sejarah Siak. Semua itudiengkapi pula dengan sumber berasal dari Selangor dan Trengganu. Sumber perorangan yang paling cukup banyak dipakai penulis Tuhfat Al-Nafis antara lain, “ Siarah Haji  Kudi” dan “Tawarikh Tok Ngah”. Dari sumber Tok Ngah inilah Raja Ali Haji mendapat catatan tentang jumlah penduduk kerajaan Riau pada masa pemerintahan yang Dipertuan Muda  Riau IV Raja Haji fisabilillah. Sumber-sumber yang lebih semu dinyatakan dengan memakai frasa “kata orang tua” atau seperti itu, sedangkan untuk hal-hal yang meragukan  atau yang mengandung arti menafikkan ataupun untuk mengejek kebenarannya dinyatakan dengan memakai frasa “konon”. Sedangkan sedikit mengandung unsur legenda  atau cerita-cerita rakyat merembes juga masuk terutama pada bagian awal karya itu.
Kisah-kisah seperti si Badang, Peri, tau Perempuan Bunian Istri Sultan Ahmud Mangkat Dijulang, Perangkap Ikan di Linggi, Riwayat Cek Pong, asal Cek Nusamah yang ditukar dengan Tudung Saji Perak, crita-cerita Datuk Malaikat, Kisah Raja Api dll.  Merupakan contoh dari merembesnya cerita-cerita rakyat dalam Tuhfat Al-Nafis. Akan tetapi tradisi ini telah diempangkan dengan kuat dan diimbangi dengan  sejarah-sejarah yang lebih membumi dan terjamin akurasinya.
Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji telah dibuat menjadi tesis untuk pencapaian gelar doktor Ph.D.  tesis oleh Virginia Matheson dari Monash University pada tahun1973 berjudul “ Tuhfat Al-Nafis; a 19 th Century Malay History  Critically Examined” .  selanjutnya bersamadengan Barbara Watson  Andaya, Virginia Matheson menerjemahkan dan menyunting karya Raja Ali Haji itu sebagai The Precious Gift  (tuhfat Al-Nafis), diterbitkan oleh Ooxford University Press Kuala Lumpur tahun 1982. Sebelum itu telah dibuat beberapa risalah ilmiah tentang karya itu yang tidak / belum diterbitkan seperti “Geographical Nothes to the Tuhfat Al-Nafis” oleh Mohammad bin Anas dari University of Malaya pada tahun 1958, dan “The Arabic Influence in the Thaufat Al-Nafis’’ oleh Ismail bin Abdul Rahman dari University of Malaya pada tahun1959. Sedangkan menganai buku  Raja Ali Haji Silsailah Melayu dan Bugis, dan sekalian Raja-Rajanya tercatat nama-nama Mohd. Yusof bin Muhd. Nor dari University kebangsaan Malaysiayang menyusunnya sebagai tesis Master atau MA. Tesis pada tahun 1980 dan E. Beradow dari University of Sidney mempersiapkannya sebagai tesis doktornya.
Tuhfat Al-Nafis sebagai sebuah buku sejarah berisikanrentetan peristiwa yang mencakup lingkaran luas kawasan derah melayu dari sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, Tanah Semenanjung smpai ke pulau Kalimantan di sebelah Barat (dalam byang-bayang  menjejas hingga ke pulau Sulu dan Sulawesi) dipusatkan pada kawasn Kepulauan Riau selama abad ke 18 dn ke 19. Kegarangan Hegelian yang diperlihatkan oleh karya ini secara tersirat dapat ditandai dari lensa filsafat yang dipakai oleh penulisnya dalam meneropong peristiwa dan tokoh-tokohnya. Dari lensa itulah dipaparkan di depan pembaca contoh-contoh raja yang layak  dan tidak layak memerintah di negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dan yang adat hukumnya adalah islam pula.
 Bagian pembukanya  mengait sedikit seorang tokoh yang telah dipaparkan dalam Sejarah Melayu yaitu Sultan Mahmud Melaka yang disatu sisi menentang kekuasaan asing tapi di sisi lain masih memiliki hak-hak  istimewa yang luas sekali sehingga menyebabkan banyak tindakan tak dapat diterima jika dilihat dari kaca zaman pengarangnya. Namun permulaan karya ini sebenarnya adalah tokoh yang Diabolis lagi yaitu Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Pada bulan oktober 1699  telah terjadi sutu peristiwa besar yang menggoncang  dan meruntuhkan sendi-sendi  kebudayaan Melayu  dengan terjadinya pembunuhan terhadap Sultan Mahmud di Johor oleh Megat Seri Rama [9].   Adapun latarbelakang tindakan itu garis keturunan Melaka telah terputus.  Kejadian itu dimulai demitologisasi raja-raja Melayu karena setelah itu tidak ada lagi raja sakti seperti dinyatakan dari gelarnya “ bayang-bayang  Tuhan di Bumi’’ atau Zhilullahi Fil Ardh, yang tak dapat dipersalahkan perbuatan sewenang-wenangnya. Dengan kata lain sejak peristiwa itu seorang raja seyogyanya adalah seorang manusia yang memerintah sebuah kerajaan karena sebab-sebab khusus  dengan syarat-syarat tertentu berpedoman kepada petunjuk agama.
Tuah, sakti dan sempena yang mulai malap dan luntur itu masih hendak dipertahankan dengan munculnya tokoh Raja Kecil. Pada mulaya ia berhasil menghidupkan keyakinan lama itu, akan tetapi itu hanyalah merupakan roataan terakhir  organisme yang sudah mengalami sekarat. Para raja sudah memasuki zaman baru yang sama sekali sudah berubah corak.
Dinsti yang baru  bangkit di Riau harus diuji oleh saringan sejarah yang hanya mempunyai satu cara yaitu menggelinding maju. Alur dan alir sejarahlah yang menyebabkan terjadinya pembauran dengan masuknya tokoh-tokoh yang menggenapkan kisah itu. Orang-orang Bugis yang sepanjang abad selalu mengatungi  lautan itu mendapat tempat paling baik di Riau. Melalui kepiawaian berperang dan perkawinan dengan keluarga istana. Sebagai karya ini yang memihak, akan tetapi sebagai karya sejarah local pula banyak sekali keterangan yang dikirimkan oleh penulisnya ke masa depan dari zamannya.
Kerajaan yang dikelola oleh orang yang tidak lagi memerintah karena keturunannya  yang sakti dan penuh mengandung tuah itu merupakan sebuah minarki kerja. Ini diperlihatkan dari kegiatan mereka yang bertungkus lumus berhempas pulas memajukan perdagangan, meningkatkan komoditi dagang dengan menggalakkan perkebunan yang memiliki prospek cerah sat itu seperti perkebunan Gambir,  mengusahakan hasil laut seperti rumput laut dan teripang, serta semua yang harus dipertahankan bila perlu dengan peperangan. Dari sinilah munculnya tokoh-tokoh Daeng Kamboja dan saudara saudara sepupunya Raja Haji. Yang secara tak terelakkan terpaksa berperang melawan belanda pada tahun 1757 yang ertempat di Linggi dan Malaka serta daerah sekitarnya. Perang dengan Belanda  yang pertama ini engikutsertakan kekuatan gabungan, selain dari kawasan Riau juga sampai ke Selangor, Rembau, dan Batu Bahara di pesisir timur pulau Sumatera. Dalam  perang inlah tokoh legendaris Bugis Raja Haji mendapat luka di pahanya yang menurut sebuah sumer Belanda merupakan lambing perlawanannya dalam pertempuran yang lebih dahsyat selanjutnya.
Tokoh Raja Haji ini pula yang disanjung tinggi dalam Tuhfat Al-Nafis. Terutama karena perang yang meletus antara kerajaan Riau dengan Belanda tahun 1873-1874 di Riau dan di Malaka. Sebagai pengimbang dari pandangan setempat tentang tokoh ini perlu diperhatikan  pandangan  kolonial Belanda  tentangnya.  Dalam buku De Nederlanders in Djohor en Siak oleh E Netscher sangat penting terutama pada BAB V dan BAB IX pada halaman 87-111 dan halaman 166-202 [9].  Lagipula tentang diri Raja Haji ini telah dibuat sebuah doctoraalscriptie oleh Reinout Vos dari Rijksuniversiteit Utrecht pada bulan Februari 1985 berjudul “Koopman en Koning: de Betrekkingen tussen de VOC en het Sultanaat Johor 1778-1785” [10].
Memang setelah masa itu kerajaan Riau bukan lagi sebuah kerajaan de facto merdeka penuh, melainkan termasuk dalam negeri berpemerintahan sendiri Cuma terikat karena surat-surat perjanjian, yang mengakui Belanda hanya sebagai leenbeer saja tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan sebagaimana dinyatakan oleh G.J. Resink dalam salah stu tulisannya.  Pada mulanya de jure kerajaan Riau yang telah terbelah dua dengan terjadinya perjanjian London 1824  dapat dipandang merdeka karena baik Belanda  maupun Inggris pernah menyerahkan kembali bulat-bulat itu kepada pengelolahnya. Sementara itu untuk melawan  arus sekularisme yang muncul menderas dengan bangkitnya Singapura, kubu spiritual di lapangan kebudayaan (termasuk agama  diperkuat dan terus ditingkatkan. Riau di tengah negeri-negri Melayu lainny sekan-akan ingin mencapai kedudukan Mesir di tengah negeri-negeri Arab lainnya.
Bagian Tuhfat Al-Nafis selanjutnya merupakan kronika yang sangat rinci  karena sudah memasuki masa kehidupan penulisnya. Mdel raja-raja islam dicontohkan dari eberapa orang tokoh yang terdiri dari sultan dan para raja muda yang pandai menegedalikan kemudi negeri itu dan kuat beribadat. Akan tetapi contoh tentang penguasa yang kurang baikjuga sebagai batu ujian dibayangkan dalam tsamarat al muhimmah dan kitab pengetahuan bahasa dinyatakan juga dalam kronika yang siratannya berisi panduan akhlak agar orang teresat di jalan yang salah.  

Notes:
[1].[2] Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 156-157
[3].[4].[5].[6]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 158-159
[7].[8]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 160.
[9].[10]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 163-165.



Daftar Pustaka:
  1. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press
  2. http/ sejarahbumimelayu.blogspot.com

resensi silsilah melayu dan bugis



SILSILAH MELAYU DAN BUGIS

Setidak-tidaknya ada tiga naskah silsilah melayu dan bugis yang tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia. Naskah pertama tersimpan pada perpustakaan Universitas Leiden dengan penyalinan bernama Abdul Aziz Ibni Almarhum Al-Haj Nawawi Al-Araqiah. Naskah yang kedua terdapat di museum Negara Kuala Lumpur yang dipindahkan dari museum negeri Perak pada tahun 1962. Dan naskah yang ketiga berada pada perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur dengan penyalin Haji Abdul Ghani yang mulai penyalinan pada 5 Rabiul Akhir 1282 Hijriah.
Karya ini pertama kali dicetak dengan huruf arab di Singapura pada tahun 1900, kemudian dicetak kembali oleh Mathaba’at Al-Imam pada tahun 1911 di Singapura. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh H. Overbeck dan dimuat  Journal Of The Malayan Branch Of The Royal Asiatic Society IV / 3 / 1926 hlm. 339-381. Terbitan ini berdasarkan salinan dari Haji Abdullah Bin Khairuddin keturunan negeri juanan pada tahun 1956, kemudian buku itu terbitkan juga oleh kerajaan johor dalam huru arab dan di cetak di Government Printing Office Di Johor Bahru. Berdasarkan terbitan dari kerajaan Johor inilah arena wati mengalihaksarakan dari huruf arak e huruf latin dan diterbitkan oleh pustaka antara Kuala Lumpur pada tahun1973 [1].
Akan tetapi pengalih aksara yang dilakukan oleh Arena Wati itu sengaja meninggalkan suatu bagian uku tersebut yang tak kurang pntingnya. Malahan sangat penting bila ditinjau dari aspek tertentu yaitu bagian uku yang ditata dalam bentuk syair. Padahal silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya merupakan karya unik dan sangat istimewa jika dilihat  dari berbagai sisi.. umpamanya gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang dalam karya ini sangat kental mendukung gambaran sosok kebudayaan Melayu. Dalam pemakaian kosa kata silsilah melayu bugis lebih cenderung pada kosa-kosa kata melayu daripada kosa kata Bugis.
Sebagai contoh di bawah dapat dilihat bagaimn Raja Ali Haji membuat kesimpulan dari suatu babakan peristiwa yang diantaranya berbentuk prosa dengan syair-syair. Ketika terjadi kematian yang menimpa dua orang saudara upu-uupu yang lima, simpulan dalam bentuk syairnya ialah seperti berikut:
Wahai sayangnya akan saudara
Sebab bersama-sama mengembara
Tiada pernah mufakat cedera
Segala pekerjaan segala perkara

Dengan kehendak tuhan yang mulia
Dua orang saudara meninggalkan dunia
Hendak diusahakan tiada berdaya
Karena perbuatan tuhan yang sedia

Melainkan hamba berbanyak sabar
Akan perintah wahidul kahhar
Ialah tuhan bersifat jabbar
Akan hambanya kecil dan besar

Kitapun kelak demikian itu
Meninggalkan dunia juga yang tentu
Tidak memilih raja dan ratu
Semuanya itu pergi ke situ

Hendaknya kita tunduk tengadah
Lihat kepada datuk nenek yang sudah
Adil dan insyaf juga berfaedah
Menaikkan kita pangkat sa’adah

Rakyat dan sakai hendaklah pelihara
Kesenangan hidupnya dikira-kira
Istimewa pula sanak saudara
Jangan sekali diberi cedera

Ilmu yang benar hendaklah dimulia
Karena ia mu’arinya anbia
Tuntut ilmu jangan sia-sia
Yang lain itu tinggal di dunia

Ayuhai tuan-tuan coba pikirkan
Serta pandang amat-amatkan
Kematian datuk nenek teladankan
Kita sepertinya akan didatangkan [2].

Virginia Matheson menamakan buku silsilah melayu dan bugis dan sekalian raja-rajanya sebagai saudara perempuan dari tuhfat l-nfis. Sang saudara perempuan ditulis oleh raja ali haji sekitar 7 september 1865 dan  15 januari 1866.  Apapun alasan  untuk memberi penamaan itu yang trang memang penulisan buku itu tidak ersandar kepada sumber-sumber yang  banyak   dan beragam-ragam seperti halnya Tuhfat Al-Nafis. Lahi pula silsilah melayu dan bugis  tentulah lebih disenangi oleh kelompok von Ranke & Gibbon karena dalam banyak hal mengarah ke muara objektivitas dibandingkan dengan saudara laki-lakinya yakni Tuhfat Al-Nafis yang lebih memperhatikan karangan Hegelian yang senantiasa memakai lensa filosofi pada suatu karya sejarah.
Sumber penulisan sejarah silsilah Melayu dan Bugis adalah siarah Pontianak sebagaimana dinyatakan oleh penulisannya di bagian pembuka buku itu:
Telah ditaruh pada hatiku bahwa aku perbuatlah silsilah ini pada ketika aku perbuat akan satu kitab dari tangan saudara kami yang saleh yang kepercayaan yaitu sayid al-syarif abdul rahman bin sayid al-syarif  al-qasim sultan Pontianak bin sayid al-syarif abdul rahman l-qadri dan di dalam kitab ini disebutkan setengah daripada keturunan raja-raja dan anak raja-raja  yang mereka itu mengembara menjauhi daripada pihak pulau bugis [3].

Dengan memudiki ke hulu sungai sejarah, kisah awal pun dirangkai bertempat di negeri Luwu di pulau Sulawesi. Atau lebih jauh ke hulu lagi tentulah akan memasuki  Sempadan negeri penuh misteri yang biasanya hanya padan untuk jenis cerita khayal. Silsilah atau susur-susur meluas bertmabah rimbun seperti halnya pohon subur yang dahan, cabang dan rantingnya terus menumbuhkan tunas serta daun, patah tumbuh hilang berganti. Titik awalnya diletakkan pada lima orang anak-anak Raja Kerajaan Luwu di Sulawesi atau Upu-upu lima bersaudara yang menempuh gelombang  dan badai mengarungi laut dengan kapal Pinisi dan perahu lainnya, mengembara ke barat, ke Kalimantan, Kepulauan Riau, semenanjung tanah Melayu, Kamboja, Pesisir Pulau Sumatera, dan tempat-tempat lainnya.  Mereka adalah Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Marewah, Daeng Celak Dan Daeng Kemasi.
Di Siantan, Daeng Perani menikah dengan anak perempuan Nakhoda Alang. Dari perkawinan ini lhirlah Daeng Kamboja, orang yang kelak bersama saudara sepupunya Raja Haji Ibni Daeng Celak berperang denganbelanda di linggi yeng terletak kira-kira 20 kilometer di sebelah uatara kota malaka. Dengan siantan sebagai pangkalan upu-upu berlima itu meneruskan pengembaraan lautnya yang mendebarkan sampai-sampai ke Kamboja dan temat-tempat lin di sekitarnya.
Kemelut perebutan tahta  di kerajaan Johor menyebabkan kelima orang bersaudara yang berasal dari kerajaan luwu itu diundang untuk membantu pihak anak laki-laki almarhum sultan jalil yang mati dibunuh di atas  sajadah sholatnya  di kuala Pahang. Awalnya  pihak Raja Kecil memenangi perebutan tahta itu lalu memindahkan pusat pemerintahan ke Riau. Sebuah tempat di pulau intan yang dulu didirian oleh Laksamana Abdul Jamil pada tahun 1673 dan pernah beberapa kali menajdi pusat pemerintahan kerajaan Johor. Setelah melalui beberapa peperangan akhirnya hasrat Raja Kecil untuk menaiki tahta Riau yang pernah dirasakannya dipatahkan pada tahun 1721.
Tahun berikutnya salah seorang diantara lima saudara upu-upu itu yakni daeng marewah berhasil menduduki jabatan sebagai orang kedua di kerajaan itu. Raja ali haji menggambarkan peristiwa tersebut ke dalam silsilah melayu dan bugis, sebagai berikut:

Kata orang yang empunya cerita
Takkala ini keduanya putra
Berjanji-janjian berdua saudara
Tiadalah berubah tiadalah cedera

Sampai kepala  anak cucunya
Yam tuan muda sebelah bugisnya
Yam tuan besar sebelah melayunya
Demikian konon kata setianya

Riau dengan takhluk daerah
Kepada yam tuan muda terserah
Perintah kerajaan tiada berarah
Jangan siapa mungkir sezarah [4].

Sebagaimana dinyatakan dalam sumpah setia yang berkali-kali dilakukan,  kedua jabatan itu bagaikan mata hitam dengan mata putih tak boleh bercerai selagi ada peredaran bulan dan matahari. Sebagai penguat ikatan demi jabatan tersebut berlangsung pula pernikahan di antara  kedua belah pihak. Karena itulah  pemegang jabatan yang dipertuan muda riau yang keempat setelah daeng marewah, daeng celak dan daeng kamboja yaitu Raja Haji tidak lagi dipandang sebagai orang bugis jati karena ibunya  berasal dari bangsawan kerajaan Riau, gelar kebangsawananpun tidak lagi daeng. Memang dari keturunan daeng celak sejak anaknya menjadi yang Dipertuan Muda Riau ke-4 yaitu raja haji berasal semua Raja Muda sesudahnya. Seperti dalam karya folklore atau dongeng yang piawai hal itu sudah diramalkan sebagaimana dinyatakan  dalam kedua  karya   raja ali haji yaitu: “apabila sudah siap maka mufakatlah ia hendak  masuk ke negeri  Johor dan melaka mengembara  pada sebelah tanah itu karena ia sudah dapat satu alamat tatkala masa ia semua hendak keluar dari tanah bugis yaitu upu daeng menambun ada bermimpikan akan zakar saudaranya upu daeng celak menjulur menjadi naga, adalah kepalanya menghadap ke johor, maka dita’birkan orang anak cucunya akan mendapat kerajaan di sebelh johor dan riau.
Setelah mendapat kedudukan yang kokoh di Kalimantan, Kepulauan Riau dan Johor, uppu-upu berlima itu mendapat undangan pula dari anak sulung kerajaan kedah yang disingkirkan oleh adiknya sendiri.  Peperangan di kedah ini merupakan bagian yang paling riuh rendah dalam buku tersebut karena pada bagian kedua ikut pula bekas musuh lama upu-upu itu. Raja Kecil.  Dalam gema gendang perang yang dipalu sepanjang perjalanan laut upu-upu itu berangkat dari riau dengan 60 penjajab dan menghancur leburkan perdagangan timah di Kedah.  Ajaran yang merupakan air mandi dan nasi sehari-hari bagi mereka ialah agar sentiasa  tidak membuang belakang dan mati dengan nama laki-laki.  Itulah sebebnya  penembakan daeng perani oleh raja kecil dari buritan kapal dianggap sebagai tindakan yang tidak jantan dan gema ejekan terdengar  melintasi zaman karena siapa yang memiliki pena akan leih jauh melangkah ke masa depan.  Daeng Perani tewas, tetapi perang dapat dimenangkan oleh pihak upu-upu tersebut. Raja Kecil di usir kembali ke negerinya di siak dan kekuasaan kedah ditegakkan kembali. Dari Kedah upu-upu itu  meneruskan perjalanan ke Perak, Selangor, dan ke masa depannya.

Notes:
[1]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 148
[2]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 149
[3]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 152
[4]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 154


DAFTAR PUSTAKA:
  1. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan Abad XX. Pekanbaru. Unri Press.
  2. Liasmi, Rida. 2007. Bulang Cahaya Sebuah Novel . Pekanbaru. JP. Books Surabaya dan Yayasan Sagang Pekanbaru
  3. Id . Wikipedia . org
  4. http / portalbugis.com