George MC T, kahin dalam karya klasiknya, nasionalisme
dan Revolusi Di Indonesia, mengatakan sebelum kedatangan Belanda masyarakat
Indonesia telah memliki kelas menengah yang relative kuat. Bahkan para petani
telah memiliki organisasi yang meski relative moderat, tetapi memiliki semangat
perlawanan yang besar terhadap kekuasaan kaum aristocrat jawa yang menindasnya.
Tetap setelah belanda mengokohkan dominasi
kekuasaannya dan sanggup membangun struktur kekuasaannya yang solid, kelas
menengah yang pernah ada itu lenyap sama sekali. Kelas pedagang yang pernah
berkembang, terutama di wilayah pesisir, hamper lenyap pula. Kahin mengatakan bahwa
kemudian orang jawa menjadi penggarap dan nilai kehdupan sosialnya menjadi
kerdil. Para petani semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Bersamaan dengan itu,
kekuatan tawar-menawarnya terhadap kaum aristocrat jawa berangsur-angsur
ambruk, hingga akhirnya berhasil ditakhlukkan. Dampak lebih lanjutnya, rakyat
indonesia Cuma menjadi budak. Negeri yang pernah mengalami zaman kejayaan itu
hidup di bawah kuasa kolonial. Kekayaan alam Nusantara dieksploitasi
habis-habisan untuk melayani kepentingan ekonomi colonial. Dengan ekploitasi
ekonomi inilah tiang-tiang kekuasaan politik Belanda ditegakkan, dengan kaum
aristocrat sebagai kaki tangannya. Tentang hal ini, sejarawan Onghokham menulis,
“kompeni umumnya nenihak para penguasa dalam
menghadapi para pemberontak. Arena itu sedari awal penguasa setempat
dipertahankan, bahkan diperkuat, artinya struktur social pribumi
diawetkan,….dengan demikian voc berfungsi sebagai stabilisator politik ia
menjaga perimbangan kekuasaan antara penguasa pusat (raja) dan penguasa
setempat (bupati). Selain itu, ia berfungsi seagai sumber keungan bagie lit
pribumi.”
Akibat penindasan dan penghisapan yang kian bertambah
keras, penguasa colonial harus menuai perlawanan. Dimulai dari banten,
perlawanan menentang kolonialisme menjalar ke Mataram, Maluku, Ternate,
Makassar, Kalimantan, Padang, Aceh dan seterusnya. Pada masa itu perlawanan rakyat
terjadi secara sporadic. Tidak mengenal prinsip-prinsip organisasi perlawanan modern,
program perjuangan yang jelas kepemimpinan politik yang kuat serta organisasi
yang rapi, begitu juga disipln masih kabur. Umumnya gerak dan kesolidan
organisasi dipimpin oleh individu dengan charisma dan wibawa tradisional yang
kuat. Karena berlangsung Sporadic dan sering bersifat spontan, bentuk-bentuk
perlawanan itu mudah dipatahkan.
Tetapi, rakyat terus belajar dari kesalahan-kesalahan
itu, taktik strategy perjuangan terus diperbaiki . abarat pepatah “mati satu
tumbuh seribu” perlawanan tak pernah surut bahkan semakin terpimpin dan
terorganisir. Penguasa colonial akhirnya merasa kewalahan juga, terutama
setelah pecah perang Diponegoro tahun 1825-1830. Inilah perang pertama yang
sangat menguras tenaga dan menghabiskan biaya. Perang selama lima tahun itu
tercatat sebagai perang yang paling meletihkan dan paling merugikan keuangan Belanda.
Onghokham menulis:
“ pada tahun 1825-1830 penguas belanda di jawa
mengalami salah satu krisis esar, yakni menghadapi pemberontakan pangeran Diponegoro.
Belum pernah ada dalam sejarah intervensi Belanda ke Jawa, demikian banyak
tentara kolonal belanda dikrim dan belum pernah timbul korban demikian esar
dari pihak belanda”
Setelah berhasil mematahkan Diponegoro intervensi Belanda
dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa semakin
dalam. Namun usai perang Diponegoro prajurit Belanda berkurang Drastis. secara
total, belanda kehilangan 15000 prajuritnya dengan sekitar 8000 orang tewas dan
sisanya 7000 orang Pribumi yang disuplai oleh raja-raja yang probelanda. Atas
dasar itu pemerintah colonial secara resmi mulai membangun kembali tentaranya
di Hindia, yang dikenal dengan KNIL ( Koninklijke Nederlands Indische Leger)
Para perwira KNIL pada umumnya adalah lulusan akademi
militer breda atau leih dikenal dengan nama KMA Breda yang ternama di Belanda.
Sementara itu para prajuritnya dari golongan Intara dan Tamtama,
umumnya sukarelawan yang direkrut dari kawasan-kawasan miskin seluruh Eropa.
Melalui handerwijk, yakni pusat tentara bayaran yang sering jadi sasaran
ejekan, sebagai Comberan Eropa (the sink-hole of Europa). Tak heran j ika dinas ketentaraan sering kali hanya
diperuntukan bagi orang-orang Eropa pengangguran. Yang untuk mempertahankan
hidup kesehariannya terpaksa memilih menjadi tentara. Ini suatu pertanda untuk
menjadi tentara tidak pertama-tama di motivasi oleh semangat bela Negara,
semangat patriotisme demi kejayaan tahta Kerajaan Belanda. Menjadi dinas
ketentaraan bukan pilihan utama. Dan juga bukan pekerjaan yang dapat meningkatkan
status social seseorang.
Memang ada juga kenyataan bahwa motivas menjadi
tentara tidak semata-mata karena daya tarik uang. Ada hal lain yang tak kalah
menggiurkan yakni, akses terhadap pelacuran. Tetapi yang terpenting adalah
tantangan akan momen-momen petualangan di daerah Asia. Timur, dalam benak orang
Eropa, menyimpan misteri keindahan misteri yang Barbar, mempesona, samar-samar,
sekaligus eksotis. Dengan menjadi tentara, semangat dan naluri petualangan
untuk merambah daerah tak berperadaban itu menjadi lempang. Dari sini terkadang
misi suci (mission sacre) bertumpang tindih dengan nafsu penumpukan
capital.
Karena menjadi tentara bukan pekerjaan yang terhormat,
ditanah jajahan, para tentara Eropa ini hidup terasing lagi terisolir.
Kehadiran mereka ditolak dalam masyarakat, baik oleh masyarakat Bumiputera juga
masyarakat Eropa. Hanya perwira tinggilah yang mendapatkan status social yang
cukup tinggi erta oleh menikah dengan sesama orang Eropa. Para prajurit
rendahan kalau toh dihormati semata-mata karena keberaniannya sebagai umpan
peluru.
Jumlah prajurit keseluruhan yang bersedia menjadi Tentara
Kompeni adalah 109.000 orang. Menurut Capt.
RP Suyono, selama masa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda telah dikirim
sekitar 1500 hingga 1600 orang tiap tahun dengan kapal. Jumlah ini masih kurang
karena yang dibutuhkan adalah 2000 orang tap tahunnya. Dari jumlah serdadu Kompeni 61% adalah Belanda,
30% Belgia, Jerman (30%), Swis (20%) , Prancis (12%).belakangan serdadu Kompeni
juga direkrut dari Afrika Barat (sekarang Ghana). Karenan berkulit hitam,
mereka disebut Belanda Hitam atau mardjikers. Untuk menambah personei
serdadu KNIL belanda melakukan rekrutmen terhadap masyarakat Indonesia juga.
Tetapi keanggotaan KNIL ternyata tidak terbuka bagi
semua suku. Yang bisa diterima hanya teratas pada orang Ambon, Alfuru (orang Helmahera
yang bukan kristen), Manado, Jawa, Sunda, Bugis, Timor, Aceh, Melayu dan sejak
1929 juga Batak. Menurut Peter Britton mayoritas prajurit Bumiputera adalah orang Jawa 65%. Pada 1916,
komposisi pasukan KNIL terdiri atas 17.854 orang jawa, 1792 Sunda, 151 Madura,
36 Bugis, 1066 Melayu, 3519 orang Ambon, 5925 Manado dan 59 orang Alfuru. Pada
tahun 1923, menurut Larson 26000 orang terdaftar di KNIL. 8500 Maluku dan Minahasa.
Dari Timor 1000, Jawa Barat 1500 Jawa Tengah dan Jawa Timur 15000 orang. Namun
jumlah terbesar prajurit KNIL tetap dari golongan Eropa.
Meskipun
mayoritas prajurit KNIL berasal dari etnis Jawa namun perlakuan istimewa justru
diberikan kepada pasukan KNIL yang berasal dari suku Minahasa, Timor dan Ambon karena
kesamaan agama. Hal ini juga terlihat
dari fasilitas dan gaji yang diperoleh oleh orang-orang tersebut. Ketika
soerang prajurit mendapat medali kuningan (voot moed en trouw) untuk
keberanian dan kesetiaan seorang prajurit Ambon mendapat gaji sekitar 10,19
gulden sedangkan Jawa dan Sunda hanya sekitar 6,39 gulden. Diskriminasi lainnya
adalah dari fasiltas berpakaian, misalnya prajurit Jawa tidak boleh memakai
sepatu dan aturan ini kemudian dicabut tahun 1905 ketika protes dari perwira-perwira KNIL.
perlakuan diskriminasi
itu bukan tanpa alasan tujuan utama adalah sebagai bagian devide at impera.
Ini bisa dibuktikan ketika di masa-masa Revolusi Kemerdekaan, setimen anti Ambon
muncul karena dianggap pro Belanda. Salah satu wujud politik tersebut adalah ketika
Belanda menyerang Aceh pasukan yang diutus adalah orang Pribumi dari suku Jawa dan
Ambon pasukan ini dinamai dengan pasukan Elit Morsase, namun perwiranya tetap
dari golongan Belanda. Begitu juga pasukan KNIL melakukan penyerangan di Bali tahu
1846-1849, sebanyak 500 tentara KNIL berasal dari Madura dikerahkan. Kedua
rekrutmen terbatas itu bertujuan agar tidak ada semangat persatuan dari orang Nusantara
(Indonesia kini). Dalam buku KMA (koninklijke mlitaire academie) di
breda tertulis pandangan pemerintah Kerajaan Belanda mengenai prajurit di Bumiputera.
“mempertimbangkan nilai keprajuritan para parjurit
prbumi di nusantara, kami berpendapat tidak ada pengikatan cinta terhadap tanah
air dan nasionalsme pada mereka. Mereka hanyalah merupakan serdadu-serdadu yang
disewa saja dan menganggap prajurit adalah sebagai suatu pekerjaan yang harus
dibayar.
Mayoritas prajurit KNIL dari Bumiputra direkrut
dari golongan orang miskin dan budak atau golongan rendahan terutama dari
masyarakat Jawa yang kehidupannya penuh dengan kemiskinan. Zaman terus
berkembang dan KNIL terus dirasakan manfaatnya oleh Kerajaan Belanda di tanah
jajahan. Tetapi menjelang kekalahannya
dari tentara Jepang, terdapat perkembangan lain yang menarik dari KNIL dalam
rekrutmen Bumiputera. Terjadi pergeseran status social dari golongan Bumiputera
yang direkrut ke dalam KNIL. Jika awalnya adalah golongan budak dan laisan
social yang rendh, kemudian banyak dari tentara Bumiputera yang direkrut dari
golongan terpelajar dan kaya bahkan dar golongan aristocrat. Misalnya: Didi
Kartasasmita, seorang keturunan keluarga Menak yang sangat terhormat di Sunda, Surjadi
Surjadarma seorang yang bergelar Raden bangsawan Jawa dari Banyuwangi, atau Gusti
Kanjeng Pangeran Purbonegoro dan adiknya BKPH Djatikusumo, putra dari Susuhunan
Pakubuwono X dari Surakarta, dan Ahmad Junus Mokoginta seorang aristocrat dari
kota Moagu Sulawesi Utara,. Ada juga dari golongan terpelajar seperti Alex
Kawilarang dan Abdul Haris Nasution , Tahi Bonar Simatupang, Rahmat
Kartakusumah dan Asykari.
KNIL juga mendapat tugas tambahan yang pada awalnya
dimaksudkan untuk menjaga keamanan dalam negeri jajahan, kemudian knil juga
menjadapat tugas sebagai tentara untuk mempertahankan Hindia dar serangan Jepang
di Perang Dunia II. Oleh karena itu
mereka juga disebut sebagai KNIL generasi baru. Ketika menjalani masa latihan di KNIL, mereka
harus bersumpah setia kepada Ratu Belanda, bersedia mengorbankan jiwa raganya
demi kejayaan tahta ratu. T.B Simatupang, yang merupakan angkatan pertama dari akademi
KNIL Bandung, mengatakan bahwa satu tradisi yang mencerminkan watak pendidikan
di akademi itu terpatri dalam sebuah ”lagu taruna” atau het cedettenled yang sangat dihapalnya.
“kom wapenbronders, nederlands zonen
Door hetzelfde levensdoel verwant
Met heilig vuur bezield voor het ene
Kom zweert met ons dan deze woden
Die eenmaal onze vaderen zwoeren
Toen vreemd geweld hen zuchten deed
artinya
(marilah teman-teman seperjuangan, putra-putra negeri
belanda
Yang dipersatukan oleh tujuan hidup yang sama
Dijiwai oleh api kudus untuk tanah air yang Satu
setia kepada
tanah air yang sama
marilah bersumpah bersama dengan kami-kami kata-kata
ini
yang pernah diikrarkan oleh leluur kita
waktu mereka berkeluh kesah di bawah
kekuasaan asing
KNIL sesungguhnya menganut ideology militer professional yang telah tumbuh
di eropa barat. Termasuk pandangan bahwa
kekuasaan militer dan sipil harus dipisahkan. Bahkan militer harus tunduk di
bawah kepemimpinan sipil atau yang kini kita kenal dengan istilah supremasi
sipil.