PRIANGAN
DALAM ABAD 18
Daerah priangan yang diperoleh oleh VOC dari
kerajaan Mataram pada tahun1677 dan 1705 menjadi daerah langsung di bawah
kekuasaannya. Dengan demikian tercapailah tujuan politik-poliyi VOC, ialah
memebentuk daerah pemisah antara dua kerajaan, keduanya merupakan lawan yang
sangat berkuasa yaitu Banten dan
Mataram. Di samping itu tujuan utama VOC adalah bukan melakukan pemerintahan
langsung tetapi lebih banyak memungut hasil daerah untuk perdagangannya. Maka
dari itu pemerintahan diserahkan kepada bupati yang telah turun-temurun
menjalankan pemerintahan di daerah itu. Kalau sebelum tahun 1677 para bupati
memerintah atas nama Sunan, sejak tahun 1677 atas nama VOC. Mereka bertugas
untuk menjalankan perintah VOC maka berstatus pegawai VOC. Namun dari itu VOC
tidak mencampuri kegiatan pemerintahan melainkan tentang urusan perdagangan,
urusan entang ketatanegaraan VOC tidak mau terlibat atau tidak melibatkan diri
secara langsung, namun jika ada kegiatan ketatanegaraan yang dianggap merigikan
pihak VOC maka dengan cepat-cepat VOC mengontrolnya.
Politik colonial
dengan system pemerintahan yang tidak langsung itu memang seuai dengan
kepentingan VOC. Meskipun demikian system penyerahan hasil yang dikenal sebagai
system priangan (preanger stelsel) mempunyai dampak yang besar dalam kehidupan
masyarakat priangan. Peruahan system tanaman kopi dari system beas ke system
tanam paksa pada tahun 1723 membawa akibat bahwa beban orang pribumi menjadi
berat. Orang pribumi ialah orang yang memiliki tanah dan berada di bawah
kekuasaan bupati.
Untum
menghindari beban berat itu maka timbul mobilitas penduduk priangan, anyak
masyarakat pribumi meninggalkan kampong halamannya orang menumpang yang tidak
memiliki wajib tanam dan tidak memiliki tanah juga dikenakan system tanam
paksa. Namun tindakan itu tidak memperbesar produksi oleh karena sejak dahulu
orang pribumi senantiasa memakai tenaga bantuan orang Menumpang
Di luar system
wajib tanam kopi, campur tangan VOC minimal, antara lain hanya dalam bidang
pengadilan dan pengangkatan pejabat. Menurut hukum adat, hokum pidana terbatas
pada hukum mati dan pembuangan, pada umumnya yang pokok ialah system restitusi
atau pembayaran denda. Dalam hal ini VOC membatasi kekuasaan bupati dalam
menjalankan pengadilan dan di samping itu dimasukan hukum pidana.
Sejak tahun 1706
pengangkatan patih dilakukan oleh gubernur jendral dan sejak tahun 1790
pengangkatan kepala distrik perlu mendapat persetujuan komisaris VOC. Sedikit
demi sedikit kekuasaan bupati mulai dibatasi. Oleh karena bupati tidak digaji oleh VOCdan hanya menerima uang
imbalan dari penyerahan kopi, maka banyak yang jatuh dalam hutang kususnya dari
komisaris. Dari imbalan itu bupati harus menghadapi tidak hanya keluarganya
tetapi bawahannya juga. Di samping itu bupati memperoleh pendapatan dari
pungutan pajak. Dari setiap panen bupati memperoleh sepersepuluh atau
seperduapuluh dari panen.
Mengenai
komisaris VOC, meskipuntidak memperoleh gaji sejak tahun 1766 dia dapat hidup
dari bunga uang yang dipinjam oleh bupati kalau komisaris tinggal lebih banyak
di Batavia, sersan kopi adalah agen VOC yang ditempatkan di ibu kota
Kabupaten untuk mengawasi tanaman kopi
dan di samping itu sebagai mata-mata VOC
maka sangat ditakuti. Sejak akhir tahun 1770 timbul banyak keresahan di sekitar
pemerintahan gubernur jendral serta wakil-wakilnya di daerah. Keadaan VOC pada waktu itu sangat parah
sehingga baru pada pemerintahan daendels mulai diadakan reformasi.
Menurut traktat
1677 Amangkurat II menyerakan kepada VOC daerah antar Cisadane (untung jawa)
dan Citarum (krawang), sedangkan menurut
traktat tahun 1705 P. B. I menyerahkan daerah Limbangan, Sukapura dan Galuh.
Pada tahun 1681 para bupati priangan telah menguapkan sumpah setia kepada sunan
dan VOC di Cirebon, yaitu dari Sumedang, Galuh, Sukapura, Parakannmucang dan Bandung. Para bupati
diangkat oleh VOC, mereka berstatus pegawai dan danmereka bertugas menjalanka
perintah VOC seperti menjaga keamanan dan ketertiban wilayah serta penyerahan hasil
tanaman. Meskipun demikian VOC selalu menghindari menyebut mereka pegawai,
antara lain mereka tidak digaji. Lambat laun peraturan VOC semakin jelas
menentukan tugas dan kewajiban para bupati maka pada akhir abad ke 18 VOC sudah
menjalankan kekuasaannya untuk memindahkan, menghentikan, dan menghukum mereka.
Pada tahun 1798 kabupaten Pagedan digabung dengan kabupaten Pamanukan, dan pada
tahun 1802 Batulayang dimasukan kedalam kabupaten Bandung.
Dua bupati
mempunyai kedudukan yang khusus ialah bupati Tangerang dan bupati Kampungbaru
(buitenzorg). Bupati pertama dari Tangerang berasal dari Bantendan karena
loyalitasnya kepada VOC diangkat sebagai
bupati dan di beri gaji bulanan. Dinyatakan bahwa VOC telah memberi
tanah kedudukan sehingga dia dapat hidup dari hasil pungutannya. Jadi berbeda
dengan bupati lainnya yang sejak semula menjadi penguasa di wilayah
masing-masingBupati Kampungbaru adalah letnan kelompok Jawa Martakara. Pada tahun 1730 dia diangkat
sebagai demang dan berkedudukan sebagai bupati. Kemudian dia menjadi penyewa
tanah Buitenzorg dan pemilik seluruh kabupaten Kampungbaru.
Pada waktu VOC
menerima daerah Priangan berdasarkan traktat 1705 tidak langsung memasukkan
sebagai daerah dibawah pengawasan orang eropa, maka sebagai pengawas
diangkatnya pangeran Arya Gede Adi Wijaya alias Abdurrahman Muhammad Kaharudin,
seorang saudara bungsu para raja Cirebon (1706). Daerah kekuasaanya meliputi
Limbangan, Sukapura, Galuh Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, Ciasam,
Pamanukan, dan pangaden. Tugasnya ialah:
1. Menjaga
perdamaian antara bupati dan mencegah adanya perebutan penduduk.
2. Mendorong
penanaman padi
3. Mewajibkan
penyerahan kapas, indigo dan lada dengan suatu pembayaran.
4. Tidak
memperbolehkan pengangkatan patih tanpa persetujuan dari residen di Cirebon.
Pada tahun 1723 pangeran Arya meninggal dan VOC tidak mengangkat penggantinya.
Pengangkatan-pengangkatan
para upati secara resmi telah dilaksanakan oleh jacop couper, yait pangeran
sumedang sebagai bupati Sumedang, Angabei Wangsatanu sebagai bupati Pamanukan,
Angabei Kartayuda di Ciasem, T. Tunabaya untuk Parankanbacang, T. Wiradadaha di
Sukapura, Demang Timbanganten untuk Bandung, Kyai Dipati Imbangara di Galuh,
Kyai Sutananga di Gadu dan Kawesan dan Ngabei Wiranagara di Bojonglopang.
Kepada mereka telah disampaikan dokumen yang memuat tujuh peraturan susunan
jacop couper. Ake pengangkatan pertama telah diberikan pada tanggal 24 desember
1701 yaitu kepada Wangsatanu.
Telah menjadi
kebijaksanaan VOC untuk menunjuk putra
tertua sebagai pengganti, akan tetapi sering trjadi penyimpangan antara lain
apabila putra belum dewasa ketika ayahnya meninggal maka saudara lelakinya yang
diangkat untuk sementara atau tetap. Pada kasus penggantian Demang
Timbannganten VOC mengangkat orang lain dan tidak berasal dari keluarganya
yaitu Wira Angon Angon tidak lain karena dia memihak Banten.
Penunjukan wali
dengan pangkat atau kedudukan bupati dilakukan waktu T Adikusuma atau kedudukan
meninggal dan putranya Raden Bagus belum dwasa. Dari taun 1786-1794 bupati
Bandung seorang paman bertindak sebagai Wali.
Pengangkatan adakalanya dikarenakan kesetiaan atau loyalitas kepada VOC
seperti halnya dengan pengangkatan R. Wiranata dari cianjur sebagai bupati
Kampungbarupada tahun 1749. Dia telah berperang melawan pemberontak Banten .
sebagai pengasa penuh VOC juga menempatkan bupati berasal dari luar daerah.
Telah menjadi kebiasaan pula bahwa dalam pengangkatan disertakan pemberian
gelar seperti Demang, Tumenggung, Arya dan Adipati. VOC juga menindak bupati yang korup seperti
halnya dengan R. Janagara bupati Pamanukan. Dia dipeat dan diasingkan di
Batavia.
Dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh seperti teruraikan da atas, jelaslah
bahwa kedudukan bupati adalah sebagai pegawai, jadi bawahan dari VOC dan bukan
seperti di daerah-daerah lain sebagai sekutu (bondenoot). Kemudian pada masa
daendels diadakan peraturan-peraturan (31 maret 1809) yang secara tegas
membatasi hak dan kewajiban bupati.
Dalam pasal 20 secara khusus dinyatakan bahwa bupati dilarang menerima
hadiah-hadiahterkecuali berupa hasil kebun, seperti buah-buahan dan hewan
ternak.
Hirarki dalam
pemerintahan tersusun sebagai berikut: di bawah bupati ada seorang patih. Sejak
kuno para kepala cutak menjadi penguasa dan pelaksana perintah
atasan.pemerintahan daerahnya dilakukan oleh pembantu-pembantu ialah para
camat. Unit territorial yang mencakup lebih dari sepuluh kepala keluarga
dipimpin oleh paling banyak dua kepala, yaitu seorang Kuwu atau Mantri dan
petinggi atau lurah. Unit berpenduduk di bawah sepuluh keluarga dikepalai oleh seorang
lurah.
Struktur
pemerintahan di daerah Priangan oleh VOC dipakai sebagai landasan bagi system
pemerintahannya secara tak langsung. Fungsinya yang dualistis dipertahankan
oleh karena penguasa pribumi sangat efektif dalam melakukan peranannya sebagai
perantara dalam penyaluran hasil barang dagangan yang dibutuhkan oleh VOC,
terutama kopi. Bupati juga berfungsi sebagai leverancier hasil tersebit.
Pada taun 1696
tanaman kopi pertama masuk di Jawa, 11 tahun kemudian diserahkan tanaman kopi
oleh G.J van Hoorn kepada bupati pada tahun 1711 bupati Cianjur mendapat panen
pertama. Semula hasil kopi diperdagangkan secara bebas, kemudian ada penentuan
harga secara sepihak oleh VOC dan akhirnya pada tahun 1740 diberlakukan
peraturan contingenten (wajib setor sejumlah tertentu). Para bupati Cirebon
wajib menyerahkan 12 ribu pikul setip tahunnya, kabupaten Sumedang, Bandung,
Parakanmuncang 20 ribu pikul. Kepentingan perdagangan diutamakan, bila perlu
dikatakan tindakan untuk mempertahankan harga tinggi, antara lain menebang sebagian dari pohon-pohon kopi (1735-1738). Pada tahun 1759 dan 1763
produksi merosot oleh karena kekurangan tenaga sebagai akibat berjangkitnya
wabah.
Untuk mencegah
orang melarikan diri dalam menghadapi wajib kerja maka pada tahun 1739 dibuat
plakat larangan. Di samping wajib tanam VOC juga mulai memasukkan system pajak
antara lain untuk ternak, pembuatan garam, pasar dan sebagainya. Dalam
pelaksanaanya komisaris mempunyai pengaruh besar atas bupati oleh karena wajib
mareka sangat tergantung dari penilaiannya. Dia terutama mencari keuntungan
sendiri dan memperkaya diri dengan meminjamkan uang kepada para pembesar
pribumi, antara lain dengan pemberian persekot. Perhatian mereka kepada rakyat
pada umumnya kurang bahkan sering kali taka da sama sekali.
Daftar pustaka:
1. Ricklefs,
M.C, 1991, Sejarah Indonesia Modern,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
2. Kartodirdjo,
Sartono, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru 1500-1900 dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar