Minggu, 04 Mei 2014

MINAHASA MENGHADAPI PENETRASI BANGSA BARAT
Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.” Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah kepulauan Maluku.
Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.
Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya. Selain dengan Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.

Diplomasi Minahasa
Kehadiran Belanda dan Inggris sebagai Adi-Kuasa di perairan Maluku memberi angin bagi para walak tanah Minahasa untuk mengusir Spanyol dari Minahasa dengan melakukan pendekatan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Ternate setelah berhasil menyingkirkan kekuatan Portugis diperairan Maluku. Pendekatan terjadi ketika tiga kepala walak masing-masing: Supit, Paat‚ dan Lontoh‚ melakukan misi diplomasi dan berhasil menemui perwakilan VOC di Ternate pada 1630. Sebelum memerangi Spanyol, pihak VOC mendekati Inggris untuk tidak mencampuri. Karena Inggris juga memiliki pengaruh dibeberapa kepulauan Maluku dan hubungan antara Belanda dengan Inggris cukup akrab karena sama-sama memusuhi Spanyol dan Portugis saling berlomba melakukan perluasan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik.
Inggris sepakat membiarkan Belanda mengusir Spanyol dari Sulawesi-Utara terutama dari tanah Minahasa. Pada awal abad ke-17 Inggris dan Belanda saling bahu membahu melakukan pengembangan usaha menuju Asia-Tenggara sebagai hasil solidaritas mengusir penjajahan Spanyol dari Eropa Utara. Pengembangan East India Company yang didirikan oleh Inggris tidak beda dengan VOC. Perluasan persekutuan dagang Belanda dan Inggris sempat dihambat oleh Spanyol dan Portugis yang merupakan saingan. Namun kedua negeri Hispanik ini tidak berdaya membendung kekuatan armada laut asal Eropa-Utara ini, hingga kehilangan pengaruh di Maluku. Tetapi jalinan hubungan akrab Belanda-Inggris tidak abadi dan berakhir dengan konfrontasi akibat penyakit monopoli menguasai rempah-rempah. Persaingan serupa juga dialami antara Spanyol dengan Portugis hingga sejak abad ke-17 kawasan Asia-Tenggara menjadi lomba konflik para Adi-Kuasa asal Eropa.
Usaha para walak membawa hasil memupuskan kekuasaan Spanyol di tanah Minahasa. Spanyol kehilangan dominasi terhadap Laut Sulawesi antara penguasa Spanyol dengan Belanda di Eropa melalui Perjanjian Munste‚ pada tahun 1648
Sengketa Belanda-Spanyol di Minahasa
Pengaruh VOC di Sulawesi Utara tidak disenangi Spanyol. Sebab Spanyol telah menanamkan modal dengan pengembangan berbagai komoditi pertanian ekspor seperti kofi, pisang dan kopra di Sulawesi-Utara. Komoditi ini merupakan potensi niaga dengan Asia-Timur, terutama daratan Cina. Untuk itu dikirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina mempertahankan posisi Sulawesi-Utara terutama tempat penghuni masyarakat Minahasa. Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat dipesisir pantai pada 1651 dengan bantuan prajurit asal Makassar. Karena yang terakhir ini mengklaim Sulawesi-Utara sebagai bagian dari wilayah kesultanan Makassar.
Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant pada awal 1661 dari Ternate. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol dan Makassar hingga di Manado hingga Amurang pada bulan Februari 1661. Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 - 1950). Sejak saat itu Spanyol memusatkan koloninya di Filipina sebagai basis kepentingan ekonomi di Asia-Timur. Kolonialisme Spanyol di Filipina berakhir dan diserahkan Amerika Serikat pada 1896 akibat kalah dalam perang AS-Spanyol pantai Barat Amerika-Utara.
Diplomasi para walak mendekati Belanda berhasil mengusir Spanyol dari Minahasa. Namun konsekwensi yang harus dialami adalah rintisan jalur niaga laut di Pasifik hasil rintisan Spanyol sejak abad ke-17 terhenti dan mempengaruhi perekonomian Sulawesi Utara. Sebab jalur niaga ini sangat bermanfaat bagi penyebaran komoditi eskpor ke Pasifik. Sejak itupun pelabuhan Manado menjadi sepi dan tidak berkembang yang turut mempengaruhi pengembangan kawasan Indonesia bagian Timur hingga Pasifik Barat Daya. Dilain pihak, pelabuhan Manado hanya menjadi persinggahan jalur niaga dari Selatan (berpusat di Surabaya, Tanjung Priok yang dibangun oleh Belanda sejak abad ke-XVIII) ke Asia-Timur melalui lintasan Selat Makassar. Itupun hanya digunakan musiman saat laut Cina Selatan tidak di landa gelombang ganas bagi kapal-kapal. Sedangkan semua jalur niaga Asia-Timur dipusatkan melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Tanjung Harapan Atlantik-Utara yang merupakan pusat perdagangan dunia.
Sebagai akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi secara langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu. Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman Minahasa.
Pergeseran pengaruh kekuasaan dari Spanyol kepada Belanda telah merubah sistem tata-niaga dimana komoditi Sulawesi-Utara tidak dapat berhubungan langsung dengan berbagai pasaran dipaparan Pasifik. Jaringan niaga Laut Sulawesi di Asia-Timur dan rintisan jalur niaga Pasifik yang menghubungkan kawasan ini dengan daratan benua Amerika oleh Spanyol praktis tertutup. Semua komiditi ekspor ekonomi penduduk Sulawesi-Utara dikendalikan melulu dari Batavia diciptakan sejak zaman VOC dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai penguasa tunggal terhadap imperium kolonial terbesarnya di Asia-Tenggara.
Namun tekanan ini menimbulkan motivasi tersendiri bagi masyarakat Minahasa mempertahankan eksistensi keberadaannya dengan pengembangan diplomasi seperti yang dilakukan para Walak Minahasa dalam cara menghadapi kolonialisme Barat.
Terlepas dari penderitaan yang dialami Minahasa dari penjajahan baik Spanyol maupun Portugis, namun hikmah dari kolonialisme Eropa hingga Minahasa mengenal pengetahuan westernisasi. Pengetahuan ini dijadikan sebagai senjata penangkal terhadap penetrasi kolonialisme Barat dengan menggunakan pengetahuan Barat.
Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC
Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.
Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanahnya, baca buku "Para Pahlawan Perang Minahasa Lawan Belanda" oleh David DS Lumoindong. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.

Daftar pustaka:
1.      Kartodirdjo, Sartono, 1999, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imporium, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
2.      Ricklef, M. C, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

3.      www.theminahasa.net/history/stories/minahasapetaid.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar