PENETRASI
VOC DI DAERAH PANTAI BARAT SUMATERA
Selama awal-awal
abad ke-17 sepanjang pantai barat sumatera sebagai pengahasil lada ada di bawah
hegemoni Aceh. Meskipun ada terdisi lama di sumatera barat bahwa para raja dan
penguasa daerah mengakui suzereinitas kerajaan minangkabau. Selama masa
kekuasaannya kerajaan aceh dapat mendesak pengaruh johor, jambi, Palembang,
banten dan portugis. Jatuhnya malaka ditangan VOC (1641) menghadapan aceh
bertatap muka langsung dengan johor dan VOC, keduanya beraliansi untuk
menjatuhkan aceh. Tidak mengherankan jika beberapa tahun kemudian VOC
berhubungan langsung dengan aceh melalui politik diplomatiknya di bawah
pimpinan Sultan Tadjud Alam. Para orang kaya yang berkuasa di aceh mempertahankan
monopoli aceh di pantai barat dan menentang setiap tuntutan VOC. Sewaktu
kekuasaan aceh merosot, ayak komoditi dari aerah itu mengalir melewati jambi
dan banten. Kemajuan jambi dan banten disebabkan karena posisinya sebagai jalur
komoditi-komoditi yang diperdagangkan baik dari aceh maupun daerah lain.
kecuali lada. Emas diekspor setiap tahun mencapai dua sampai tiga ribu thail,
selnjutnya kayu dan kapur barus, sementara barang yang diimport adalah bahan
pakaian dan dan bahan pangan. Penghasil emas terbesar saat itu ialah kerajaan
indrapura yang berbatasan lansung atang kapas dan silebar. Penghasilan ladanya
juga besar , di sebelah utaranya erletak kerajaan painan dan dan salida yang
menjadi penghasil kapas.
Jambi muncul
sebagai pengekspor lain yang penting karena daerah pedalamannya sampai minang
kabau adalah penghasil lada terbesar. Secara politis perna masuk suasana
pengaruh kerajaan Demak dan kemudian Mataram suatu status yang dapat berfungsi
sebagai perisai terhadap ekspansi banen yang telah berpengaruh di Palembang. Di
sebelah utara jambi menghadapi bahaya ekspansi aceh. Pihak portugis maupun VOC
sama sekali tidak menghendaki jambi jatuh ke tangan Aceh. Pada satu pihak jambi
adalah pengekspor lada terbesar dan dipihak lain jambi merupakan pegimpor beras, garam dan bahan pangan lainnya maka
masih ada ketergantungan ekonomis kepada jawa (demak-mataram). Jadi pengaruh
jawa masih kuat selama bagian pertama abad ke-17
Dalam percaturan
politik dalam periode tersebut di atas aliansi Jambi-Johor- Palembang dan
Banten terbentuk melawan aceh. Setelah
malaka jatuh ke tangan VOC pada 1641 terbentuklah aliansi baru antara jambi,
Palembang dan Banjarmasin. Namun alians ini menjadi berantakan karena satu
persatu angggoanya terpaksa menandatangani kontrak dengan VOC. Setelah Johor pada tahun 1606, Palembang pada
tahun 1641 dan Jambi pada tahun 1643. Ketika banyak pedagang Makassar pergi
melakukan eksodus setelah perang Makassar, kerajaan-kerajaan itu menjadi
subversi melawan VOC.
Kota padang sejak zaman sebelumnya sudah
menjadi pusat perdagangan, maka voc mendirikan loji di sana pada tahun 1665.
Kemudian terdapat juga tiku sebagi penghasil lada, setiap tahun terdapat
600-800 bahar, sementara pariaman selama beberapa puluhtahun menjadi pelabuhan
yang sangat ramai, banyak pengekspor belerang dan tawas, kemudian mundur
setelah pedagang aceh meninggalkannya. Kota tengah adalah pusat gerakan yang
enentang aceh sementara tadi di Baros adalah pusat penghasil kapur barus.
Kerajaan minnangkabau
di dalam abad ke-14 dan 15 meliputi sumatera tengah, di sebelah timur meliputi
daerah antara Palembang dan siak, sementara di sebelah barat menjuto dan
singkel. Tanah intinya ialah dataran tinggi padang. Pada abad ke-16
kekuasaannya mulai turun karena ada tiga kerajaan vasalnya yang mulai berdiri
sendiri yakni indrapura, Indragiri, dan jambi. Daerah pantai barat masuk daerah
pngaruh aceh dalam abad ke-16 itu juga, namun suzereinitas tetap diakui. Masa Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) merupakan puncak kejayaan Aceh. Di bawah pemerintahannya, Aceh
menguasai hampir semua daerah di pantai barat Sumatera, seperti Singkel, Barus,
Tiku, Pariaman, Padang, dan beberapa kota pantai lainnya. Fasilitas dan akses
yang disediakannya membuat kota-kota tersebut menjadi sangat aktif.
Eschel-Kronn
menyebut bahwa saudagar dari berbagai bangsa, seperti Eropa, India, Mongol,
Benggala, Siam, China, Jawa, Melayu, Armenia, Malabaren, dan Mooren dari Pantai
Koromandel beramai-ramai datang ke Aceh. Barang yang mereka jual belikan antara
lain hasil hutan, batu permata, dan emas.
VOC rupanya
tertarik pula dengan pantai barat Sumatera. Lewat berbagai lobi kepada Aceh,
VOC mendapatkan kesempatan untuk berdagang di kawasan ini. Bahkan, VOC bergerak
lebih jauh dengan mengikat kerja sama dengan raja-raja kecil di sepanjang
pantai barat Sumatera yang tidak puas dengan Aceh. Secara perlahan-lahan VOC
mulai memonopoli aktivitas niaga di kawasan ini, khususnya lada dan emas, dua
komoditas utama yang diperdagangkan.
Kehadiran
panglima-panglima di kerajaan-kerajaan pantai barat sumatera yang berkedudukan
sebagai gubernur menunjukkan hegemoni aceh pada pertengahan abad ke-17, karena
konflik datangnya hanya dari dalam dan bersifat masih kecil-kecilan, sehingga
kekuasaan itu masih dapat dipertahankan, namun pada masa itu juga pusat aceh
diperlemah, pada satu pihak oleh konflik intern antara penguasa sendiri dan
ancaman dari luar seoerti johor dan voc, namun kerajaan minangkabau tetap
bersahabat engan aceh karena pengakuan suzereinitasnya oleh kerajaan-kerajaan
di wilayah itu tidak bertentanan dengan kepentingan aceh. Karena kekuasaan dari
suzereinitas kedua kerajaan itu sifatnya menjadi marginal terhadap kerajaan-
kerajan vasalnya maka tidak menimbulkan bentrokan. Masalah-masalah intern,
kesalahpahaman dan intrik istana, kesemuanya terlalu menyibukkan para penguasa
loal sehingga tidak tampak jelas adanya polarisasi antar golongan pro dan anti hegemoni aceh. Hanya kota tengah
terdapat partai kuat yang menentang aceh. Perkawinan antar-etnis dan pengaruh
religious dari aceh melunakkan antagonisme. Ada umumnya kepentingan perdagangan
memegang peranan penting.
AWAL
PENETRASI VOC
Seperti perang
baying (1663) yang dimla dengan percekcokan sekitar masalah tanah kotona dan
morpana akhirnya melibatkan banyak pihak
antara lain par penguasa aceh, orang-oran kaya dan juga VOC, tidak lain karena
ada kesempatan menanam pengaruh di Bayang sebagai penhasil lada yang penting,
sementra padang dan paiaman menaruh banyak perhatin kepada salida, yang menjadi
basis bagi VOC.
Penetrasi voc
dijalankan dengan menggunakan pelbagai strategi. Di daerah Tiku, baik orang
kaya maupun panglima Aceh diberi kredit dalam transaksinya. Di minangkabau VOC
memberikan implisit mengakui suzereinias Minangkabau akan tetapi VOC menuntut
jabatan standhouder ( wali Negara ) bagi wakilnya serta prakek secara de facto
kekuasaan ada di tanan VOC. Dari pergolakan-pergolakn sekitar Bayang dan Salida
membuktikan bahwa kekuasaan aceh tidak kuat dan efektif lagi, sehingga VOC
dengan leluasa mengunakan suasana umum di kalangan masyarakat sumatera barat
hendak membebaskan diri dari kekuasaan aceh dan menghalau mereka untuk
selanjutnya tidak mengizinkan masuk lagi kesumatera barat serta menerima
proteksi VOC untuk selama-lamanya.
Peranan VOC
sebagai protector itu direalisasikan dengan menjalankan ekspedisi-ekspedisi.
Tujuanya ialah untukmemberi bantuaan rakyatdan untuk memaksa rakyat bila perlu dengan kekuatan
senjata memberontak terhadap aceh. Pembebnaran untuk tindakan itu tidak sukar
dicari, ialah bahwa sultan aceh tidak bersedia melaksanakan kontraknya dengan
VOC.
Ekspedisi van
gruys (1666) menghadapi perlawanan di indrapura dari raja Adil yang menentang raja
Mulafarsyah dan raja Sulaiman. Ternyata
dia mengadakn persekutuan dengan datuk srinara. Kekuatan perlawanan aceh dipusatkan
di Pauh dan seluruh daerah sebelah utara Kota Tengah dikuasainya. Dengan
demikian hubungan antara pariaman dengan tiku putus. Di padang sudah timbul
kekhawatiran kalau-kalau kota akan segera diserang dan perdgangan akan sangat
dirugikan. Serangan terhadap pauh dipukul mundur dan prajurut pribumi lari
menyeberang. Karena kekalahan itu dibentuklah alansi antara Kotatengah, Padang
dan VOC. Pihak aceh melalui diplomasi berusaha menarik Kotatengah ke pihaknya,
tetapi gagal. Dalam situasi itu ada langkah-langkah dari Minagkabau untuk
mengadakan perjanjian dengan VOC beserta tuntutannya.
Ekspedisi
Verspreet bertujuan untuk mematahkan perlawana barisan Aceh dan pendukugnya
khsusnya yang bertahan di Pauh dan Ulakan. Di kedua tempat ini pertahanannya
sangat tinggi serta pasukan- pasukannya yan memiliki semangat juang yana
tinggi. Ulakan merupakan pusat perkembangan agama di daerah ini semangat
melawan “kafir” berkobar-kobar. Dalam ekspedisi itu ikut serta pasukan Toangke
di bawah pimpinan Arung Palaka dan pasukan Ambon di bawah pimpinan kapten
Jonker. Ulakan dapat ditakhlukkan dan karena jasa-jasanya Arung Palaka diberi
sebutan raja Ulakan, sedangkan kapten jonker diberi gelar raja Ambon. Sejak
pertempuran Ulakan dan Pauh tersebut penetrasi VOC terus bergerak maju. Dengan
bermacam-macam kontrak terjaminlah hak-hak istimewa VOC untuk memegang monopoli
perdagangan di Sumatera Barat, antara lain kontrak dengan Tiku, Pariaman dan
Indrapura pada 1649, dengan indrapula untuk kedua kalinya dengan Baros pada
1668 dan ada pula dua perjanjian yang diadakan pada tahun 1663 dan 1664.
Kontrak-kontrak
tersebut dimaksudkan oleh VOC sebagai pengikat resmi serta dasar jaminan bagi
system monopolinya. Oleh karena masih ada kekuatan-kekuatan yang menentang
domminasi VOC, kontrak kontrak itu hanya dapa diselenggrakan secara efektif
apabila ada dukungan olitik dan militer
yang kuat. Dirasakan oleh VOC meskipun ada hak berdasarkan penakhlukkan tetapi
tidak ada pengaruh de facto di kalangan rakyat. Sehubungan debgan itu
ditempuhnya politik khusus sebagai berikut:
A.
VOC mengakui dan menyerahkan
suzereinitas atas daerah pantai barat sumatera kepada Raja Minangkabau yang
diminta untuk mengangkat VOC sebagai stadhouder (wali Negara) atas wilayah itu.
B.
Segala tidakan dalam pemerintahan,
termasuk pengambilan pajak, pengadilan, pengangkaam pejabat, kesemuanya
dilakukan atas nama raja tidak lain karena raja Minangkabau-lah menurut tradisi
kuno menjadi satu-satunya sumber otoritas.
C.
Berdasarkan kontrak Pinan rakyat Sumatera
Barat dianggap sebagai sekutu VOC, namun setelah ekspedisi Verspreet rakyat
Sumatera Barat berubah menjadi bawahan VOC.
Politik VOC
seperti ini ternyata cukup efektif untuk memantapkan keamanan dan ketertiban di
daerah, hal ini terbukti dari fakta bahwa gerakan-gerakan perlawanan terhadap
VOC mulai berkurang dan aliansi antara Aceh dengan Minangkabau tidak terwujud.
Dengan
diadakannya kontrak dengan Baros pada tahun 1668 perdagangan terbuka bagi VOC.
Negeri Laranga dan boda beserta 33 desa yng di bawahinya di pulau Nias masuk
dalam perdagangan VOC pada tahun1669. Daerah Singkel tidak segera masuk dalam
pengaruh voc hal ini dikarenakan pengaruh aceh masih kut bahkan Baros pada tahu
1670 memihak kembali kepada Aceh. Angkatan laut Aceh yang diharapkan namun tidak
muncul di daerah itu, akhirnya VOC mengambil kesempaan untuk membuat kontrak
dengan Singkel pada tahun 1671.
Kemerosotan
politik dan ekonomi aceh tidak hanya mengakibatkan arena politik dalam hubungan
antar-kerajaan tetapi juga krisis di jantung kerajaan, ialah timbulnya suatu
tradisi revolusi istana. Sudah barang tentu hal ini memiliki umpan balik
terhadap kekuasaan kerajaan.
Daftar
pustaka
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Id.wikipedia.org/wiki/Arung_Palaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar