BANGSA
KHAZARIA MEMELUK AGAMA YAHUDI
Walau terdapat
perselisihan pendapat yang sengit tentang pandangan pemikir Yahudi asal
Hongaria, Arthur Koestler, sekitar penyebaran agama Yahudi melalui keyakinan
bukan keturunan, yang pada gilirannya membawa kepada kenyataan bahwa kebanyakan
orang-orang Yahudi sekarang bukanlah berasal dari bangsa semit dan dengan
demikian gugurlah pendapat “bangsa pilihan”, namun sebagian penulis Barat
memandang bahwa buku Koestler, The thirteenth tribe-The Khazar Empire And Its
Heritage, sebenarnya ditujukan kepada para cendekiawan Barat. Sebenarnya
Koestler melalui bukunya berusaha meredam permusuhan dan kebencian orang-orang
Barat terhadap orang-orang Yahudi dengan mengatakan bahwa: “Sesungguhnya
orang-orang Yahudi Eropa bukanlah anak cucu Bani Israel yang dituduhkan oleh
Dunia Kristen sebagai pelaku pembunuhan terhadap Jesus Kristus. Mereka adalah
orang-orang Eropa yang memeluk agama Yahudi”.
Sebagian penulis
Barat yang lain berpendapat bahwa Koestler sendiri telah mengakui kesalahannya
yang fatal “setelah dia bersaksi dengan menggunakan bukunya untuk meragukan hak
orang-orang Yahudi atas tanah Israel”. Padahal Koestler sebelumnya merupakan
salah seorang penyeru zionisme dan pendukung hak orang-orang Yahudi untuk
kembali ke tanah Israel. Diapun pernah menjabat asisten Zaiv Jaboetensky salah
seorang tokoh gerakan zionisme.
Sesungguhnya
masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi adalah contoh terbesar dalam sejarah
tentang penyebaran agama Yahudi melalui keyakinan bukan keturunan seperti
agama-agama yang lain semisal Islam, Kristen, dan Budha.
Kajian-kajian
sejarah yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa mayoritas
orang-orang Yahudi di masa kini adalah orang-orang Yahudi eshkanazi yang
berasal dari bangsa Khazaria dan tidak ada hubungan sama sekali dengan
orang-orang Yahudi kuno atau Bani Israel.
Kabilah-kabilah
Khazaria sebelum memeluk agama Yahudi mempunyai sebuah negara di pantai utara
laut Kaspia, yang didirikan setelah para pendahulu mereka dari orang-orang
Turki yang berasal dari Asia Tengah menetap di sana, sama halnya dengan
orang-orang Saljik yang memeluk agama Islam setelah mereka merantau dari
kampung halaman mereka.
Masuknya bangsa
Khazaria ke agama Yahudi tidak lepas dari krisis politik dan ekonomi yang
dialami oleh kerajaan Khazaria lantaran letaknya yang dekat dengan
kawasan-kawasan perseteruan antara dua kekuatan besar di kala itu yaitu kaum
muslimin dan Bizantium, di samping berbagai kabilah primitif yang berada dalam
keadaan perang yang tak henti-hentinya.
Sumber-sumber
sejarah menyebutkan bahwa salah seorang raja Khazaria telah memutuskan untuk
memeluk agama Yahudi di abad delapan Masehi, yang pada gilirannya mengakibatkan
masuknya seluruh elit penguasa ke agama Yahudi. Sedangkan rakyat Khazaria
terdiri dari kelompok-kelompok nomaden dan penganut agama-agama yang beragam
seperti Islam, Kristen, Yahudi, penyembah berhala, dan agama-agama primitif
yang lain. Mereka bekerja pada sektor perdagangan, pertanian, dan kerajinan
tangan. Di antara mereka ada yang bergabung dalam tentara Khazaria. Tetapi
pasca masuknya para raja dan elit penguasa Khazaria ke agama Yahudi, bangsa
Khazaria beralih ke agama baru para raja mereka, sehingga jumlah orang-orang
yang masuk agama Yahudi dari bangsa Khazaria menjadi mayoritas oleh sebab
reproduksi mereka dan reproduksi anak cucu mereka sepeninggal mereka. Dengan
berlalunya waktu negeri Khazaria secara berangsur-angsur menjadi satu-satunya
negara di dunia yang mengambil Yahudi sebagai agama resmi di kala itu.
Tentang sejarah
bangsa Khazaria dan peralihan mereka ke agama Yahudi, Koestler mengatakan:
“Negara Khazaria-sebuah bangsa berasal dari bangsa Turki- mendiami wilayah
strategi yang menghubungkan laut Hitam dan laut Kaspia, dimana terdapat dua
negara adidaya yang berkonfrontasi satu dengan yang lain. Negara Khazaria telah
memainkan peranannya sebagai pemisah yang melindungi kekaisaran Bizantium dari
serangan-serangan kabilah-kabilah Istabis Utara (Bulgaria, Hongaria, Vikings,
dan Rusia). Lebih dari itu diplomasi Bizantium dan sejarah Eropa memandang
bahwa tentara Khazaria berhasil menghentikan penyerbuan kekhalifahan Arab Islam
pada tahap-tahap awalnya. Demikianlah mereka berhasil menggagalkan kemenangan
Arab Islam atas Eropa Timur”.
Kemudian
Koestler menukilkan sebagian dari pendapat Dr. Dunlop dari Universitas Colombia
tentang peperangan antara bangsa Arab dan bangsa Khazaria, di antaranya
pendapatnya: “Negara Khazaria merintangi jalan bagi kedatangan bangsa Arab.
Selama beberapa tahun dari kematian Muhammad (632 Masehi) tentara kekhalifahan
Arab Islam, yang menerpa laksana angin ribut, menuju ke arah utara lewat
reruntuhan dua kekaisaran. Mereka menyapu segala sesuatu yang ada di depan
mereka. Mereka sebenarnya telah sampai ke kawasan pegunungan Caucasus yang
merupakan pintu masuk penting ke Eropa Timur. Namun kenyataan menunjukkan bahwa
tentara Arab Islam sepanjang Caucasus telah menghadapi suatu kekuatan militer
terorganisir yang mampu menghentikan secara efektif penaklukan-penaklukan
mereka ke Eropa Timur. Demikianlah peperangan antara bangsa Arab dan bangsa Khazaria
yang berlangsung lebih dari seratus tahun yang layak mendapat perhatian”.
Pada pertempuran
terakhir tahun 737 Masehi bangsa Arab menang atas bangsa Khazaria tetapi mereka
tidak dapat menaklukkan Kostantinopel. Pentingnya peperangan antara bangsa Arab
dan bangsa Khazaria dari sisi sejarah adalah sebagai berikut: Kaum muslimin
dapat menaklukkan Andalusia dalam tiga tahun lalu mereka masuk ke Prancis.
Demikianlah tentara bangsa Arab menuju ke benua Eropa dari dua arah timur dan
barat dalam waktu yang sama. Tetapi benteng-benteng ibukota Bizantium berhasil
mempertahankan sisi timur dari tangan bangsa Arab. Sedang tentara Charles
Martial berhasil merintangi kedatangan bangsa Arab dalam perang Poatielle tahun
732 Masehi.
Tentang
peristiwa tersebut Koestler mengatakan: “Setelah beberapa tahun, barangkali
tahun 740 Masehi, raja Khazaria, istana, dan elit militer masuk ke agama
Yahudi, maka jadilah Yahudi sebagai agama negara Khazaria. Tidak dapat
diragukan bahwa keputusan tersebut telah mengejutkan bangsa-bangsa lain yang
hidup semasa dengan mereka, juga mengejutkan para peneliti moderen yang membaca
secara tidak sengaja kenyataan tersebut dari sumber-sumber Arab, Bizantium,
Rusia, dan Ibrani”. Kemudian Koestler menyampaikan penjelasan sejarawan
Hongaria, Dr. Antal Partha, tentang masalah masuknya bangsa Khazaria ke agama
Yahudi dengan mengatakan: “Perhatian pembaca harus menuju ke masalah agama
resmi kerajaan Khazaria. Agama Yahudi menjadi akidah yang diakui oleh elit
penguasa dalam masyarakat Khazaria. Diterimanya agama Yahudi sebagai akidah
resmi bagi suatu bangsa penyembah berhala non-Yahudi merupakan suatu tema yang
layak dicermati. Peralihan resmi yang memperhitungkan kekuatan Kristen
Bizantium dan dominasi Arab Islam di belahan timur walau adanya tekanan politik
dari dua kekuatan tersebut, maka peralihan ke agama yang tidak memperoleh
dukungan dari kekuatan politik apapun, peralihan ini telah mengejutkan seluruh
sejarawan yang memperhatikan bangsa Khazaria. Peralihan itu bukan merupakan
suatu bentuk penolakan tetapi sebagai cermi independensi politik yang
dijalankan oleh kerajaan Khazaria”.
Disini Koestler
mengatakan: “Sesungguhnya kerajaan Khazaria hanya dapat menjaga independensinya
ketika dia menolak untuk memeluk agama Kristen atau Islam, karena masing-masing
dari dua pilihan tersebut akan mengantarkan secara langsung kepada dominasi
kekaisaran Romawi atau kekhalifahan Baghdad”.
Koestler
melanjutkan: “Masing-masing dari dua kekuatan adidaya tersebut tidak pernah
berjuang untuk mengalihkan bangsa Khazaria ke agama Kristen atau Islam. Yang
ada hanyalah tukar-menukar misi diplomasi, perkawinan antara anggota kerajaan,
penjalinan persekutuan militer yang berdasarkan pada kepentingan timbal balik.
Kerajaan Khazaria memperkuat kekuasaannya dengan berpegang pada kekuatan
militer, pada kawasan-kawasan yang berada dalam kekuasaannya, dan pada
penjagaan dengan pusat kerajaan”.
Koestler
memaparkan situasi dan kondisi yang mengakibatkan terjadinya peralihan tersebut
dengan mengatakan: “Sesungguhnya hubungan bangsa Khazaria yang erat dengan
kekasiaran Bizantium dan kehadiran kekhalifahan Arab Islam telah mengungkap
kepada mereka bahwa akidah mereka yang primitif itu tidak saja terbelakang
dibandingkan dengan akidah ketauhidan dari dua pesaing mereka, bahkan lebih
dari itu bahwa peralihan akidah mereka ke salah satu akidah ketauhidan dari dua
pesaing mereka pada gilirannya berarti pembauran ke dalam akidah tersebut dan
berakhirnya independensi. Maka tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal
kecuali dengan memeluk akidah yang ketiga”.
Koestler
menuturkan bahwa sebelum masuk ke agama Yahudi bangsa Khazaria telah mengenal
orang-orang Yahudi dan agama Yahudi serta mempunyai hubungan baik dengan
mereka, seraya mengatakan: “Pada hakikatnya bangsa Khazaria mengenal baik
orang-orang Yahudi. Mereka memperhatikan ritual-ritual keagamaan Yahudi sejak
tidak kurang dari satu abad sebelum mereka masuk ke agama Yahudi. Hal itu
akibat kedatangan terus-menerus para pengungsi yang lari dari penindasan
keagamaan di Bizantium dan juga dari kawasan Asia Kecil. Oleh karena itu
kerajaan Khazaria menjadi tempat perlindungan alami bagi gerakan-gerakan
eksodus orang-orang Yahudi di bawah kekuasaan Bizantium dan terancam
dikeluarkan secara paksa dari agama mereka”.
Bayangkan berapa
banyak orang-orang Yahudi yang disambut kedatangannya oleh kerajaan Khazaria
pasca peralihannya secara resmi ke negara Yahudi, walau ada keyakinan dari
orang-orang Yahudi tentang perlunya keberadaan mereka di seluruh penjuru dunia
untuk mengambil manfaat dari praktek monopoli, riba, dan eksploitasi
bangsa-bangsa yang lain demi keuntungan materi belaka.
Jika tujuan
masuknya bangsa Khazaria ke agama Yahudi untuk menjaga keberadaan mereka dan
keberadaan negara mereka, maka dalam waktu yang panjang tujuan tersebut tidak
tercapai. Kerajaan mereka tak lama kemudian mulai runtuh secara
berangsur-angsur setelah beberapa abad mereka memeluk agama Yahudi, akibat
kekalahan-kekalahan yang mereka alami dari kabilah-kabilah Rusia dan
Skandinavia yang sebelumnya merasa iri atas kejayaan mereka. Mereka nyaris
mengalahkan bangsa Khazaria pada abad sepuluh, namun keberadaan bangsa Khazaria
berlanjut hingga abad tigabelas. Sementara hal ihwal mereka mulai runtuh secara
berangsur-angsur akibat banyak peperangan dengan tetangga mereka dari seluruh
penjuru, sampai akhirnya tentara Mongolia memporakporandakan negara Khazaria
dan menghapus keberadaan mereka dari muka bumi. Berakhirnya kerajaan Khazaria
bukan saja berakhirnya bangsa Khazar saja, tetapi juga mengantarkan kepada
eksodusnya mereka ke Eropa Timur terutama Uraina, Polandia, Hongaria, Lituania,
dan kawsan-kawasan lain di Rusia.
Kekalahan yang
mereka alami di sisi timur telah mendorong mereka untuk menuju ke sisi barat
yaitu negara-negara di Eropa Timur, yang di dalam kota-kota dan desa-desa dari
negara-negara itu bangsa Khazaria mendapati perlindungan bagi mereka dan anak
cucu mereka, yang jumlahnya mencapai jutaan orang setelah beberapa abad dari
kekalahan mereka di tangan bangsa Mongolia dan runtuhnya kerajaan mereka.
Tak lama
kemudian anak cucu mereka lupa akan asal usul mereka dari bangsa Khazaria,
setelah akal dan jiwa mereka dibalut oleh tren diskriminasi yang berpijak pada
akidah Yahudi. Maka kebanyakan dari mereka hidup di dusun-dusun khusus bagi
mereka di tengah perkotaan yaitu dusun-dusun “ghetto” yang dikenal dengan
terbelakang, penyakit, dan kotor. Mereka juga hidup di desa-desa khusus bagi
mereka yang disebut dengan “shatetel” yang berarti atmosfer yang sempit dan
pemikiran yang jumud. Mereka bekerja di sektor perdagangan, pertanian, dan
industri ringan, tanpa kecuali seperti masyarakat yang lain. Para pemuka mereka
dikenal dengan praktek riba, kontrol perdagangan dan perekonomian, monopoli
bahan makanan dan komoditas dasar, perpajakan, dan simpan emas.
Koestler
menggambarkan salah seorang pelaku praktik riba di kerajaan Hongaria yaitu Kont
Teka yang bekerja sebagai bendara kerajaan, dengan mengatan: “Dia adalah
seorang Yahudi berasal dari bangsa Khazaria. Dia adalah salah seorang pemilik
tanah yang kaya raya. Dia adalah salah seorang pemuka ekonomi dan diplomasi.
Kemudian
Koestler melukiskan keberadaan orang-orang Yahudi di negeri Hongaria dengan
mengatakan: “Sesungguhnya mayoritas penduduk Yahudi Hongaria di abad
pertengahan berasal dari bangsa Khazaria didukung dengan dokumen yang baik.
Kebanyakan orang mengira bahwa Hongaria merupakan kasus khusus dalam konteks
hubungan dini antara Hongaria dan Khazaria, tetapi kenyataannya bahwa derasnya
arus imigran bangsa Khazaria ke Hongaria merupakan bagian dari eksodus
bangsa-bangsa Estabes ke arah barat yaitu Eropa Tengah dan Timur dan bangsa
Khazaria bukanlah satu-satunya bangsa yang masuk ke Hongaria. Kebanyakan
perkelompokan dari orang-orang Khazaria yang memeluk agama Yahudi adalah di
Polandia, Ukraina, dan Rusia. Jumlah mereka mencapai lebih dari enam juta jiwa
sebelum eksodus mereka berikutnya ke Amerika Serikat dan Palestina di era
moderen.
Koestler
memaparkan perhatian beberapa sejarawan kepada asal usul yang sebenarnya dari
orang-orang yang memeluk agama Yahudi dan usaha mereka untuk meluruskan
kesalahan yang beredar di tengah masyarakat, yaitu kepercayaan bahwa
orang-orang Yahudi itu berasal dari Palestina, seraya mengatakan: “Potret umum
yang muncul tentang informasi yang tersebarluas adalah eksodus kabilah-kabilah
dan kelompok-kelompok dari bangsa Khazaria ke kawasan-kawasan di Eropa Timur
terutama Rusia dan Polandia, dimana didapati di dalamnya kebanyakan
perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang Yahudi. Banyak dari sejarawan
berpendapat bahwa banyak bahkan mayoritas dari orang-orang Yahudi Timur dan
orang-orang Yahudi di seluruh dunia sesungguhnya berasal dari bangsa Khazaria
bukan berasal dari bangsa Semit.
Koestler
mengatakan bahwa kenyataannya sekarang: “Bahwa mayoritas dari orang-orang
Yahudi di seluruh dunia adalah berasal dari Eropa Timur yang berasal dari
bangsa Khazaria. Jika demikian halnya berarti bahwa para pendahulu mereka tidak
datang dari lembah Jordania tetapi dari Volga, bukan berasal dari keturunan
Kan’an tetapi dari Caucasus, dan dapat diyakini bahwa mereka berasal dari
bangsa Aria bukan bangsa Semit. Sesungguhnya mereka lebih erat secara garis
keturunan kepada bangsa Hoon, Boger, dan Hongaria, lalu dari mereka kepada anak
cucu Ibrahim, Ishak, dan Yakub. Jika demikian halnya maka slogan anti-semit
menjadi tidak bermakna.
Kemudian
Koestler menyampaikan berbagai penelitian ilmiah dan tes laboratorium yang
diadakan terhadap beberapa orang Yahudi untuk mengetahui tentang sifat-sifat
dan menentukan asal usul mereka. Di antara hasil dari berbagai penelitian
ilmiah dan tes laboratorium tersebut bahwa orang-orang Yahudi itu sesungguhnya
berasal dari berbagai bangsa, dan tidak ada ikatan darah atau warisan atau
kebangsaan antara perkumpulan-perkumpulan Yahudi di seluruh dunia. Berbagai
penelitian ilmiah itu membuktikan bahwa masing-masing perkumpulan Yahudi
berasal dari ragam bangsa sama halnya dengan suatu bangsa yang berasal dari
beragam suku bangsa. Ini semua adalah bukti-bukti yang meneguhkan bahwa Yahudi
adalah agama yang tersebarluas lewat keyakinan bukan lewat asal usul atau
pertalian darah sebagaimana disangka oleh orang-orang Yahudi dan bahwa konsep
bangsa pilihan yang diyakini secara luas oleh mereka tidak lain hanyalah suatu
konsep diskriminasi yang direkayasa oleh para kahin mereka.
Pada akhir
bukunya Koestler menerangkan informasi sekitar sejarah bangsa Khazaria dan
cerita masuknya mereka ke agama Yahudi seraya mengatakan: “Pada bagian pertama
dari buku ini, penulis berusaha untuk mengikuti sejarah kekaisaran Khazaria
dengan berpegang pada sumber-sumber yang ada. Pada bab kelima dan bab ketujuh
dari bagian kedua, penulis menghimpun bukti-bukti sejarah yang meneguhkan bahwa
mayoritas orang-orang Yahudi Timur, yaitu orang-orang Yahudi Eropa Timur dan
orang-orang Yahudi di seluruh dunia, berasal dari bangsa Turki-Khazaria, bukan
bangsa Semit. Pada bab terakhir ini penulis berusaha untuk memperlihatkan
keserasian antara bukti-bukti antropologi dengan sejarah dalam penolakan
keyakinan umum bahwa orang Yahudi berasal dari bangsa Taurat. Para antropolog
melihat bahwa dua kelompok dari fakta-fakta itu bertentangan dengan keyakinan
tentang perbedaan yang besar antara orang-orang Yahudi dalam kaitannya dengan
ciri-ciri tubuh mereka dan perbedaan mereka dengan bangsa-bangsa non-Yahudi
yang hidup bersama mereka. Semua itu tercermin dalam statistik-statistik yang
berkaitan dengan tinggi badan, besar tulang tengkorang, golongan darah, warna
rambut, mata, dan yang lainnya. Apapun barometer yang dipergunakan niscaya
hasilnya sama yaitu tidak ada perbedaan antara orang-orang Yahudi dan
bangsa-bangsa non-Yahudi yang hidup dalam satu masyarakat.
Koestler
menambahkan sebab-sebab lain bagi keanekaragaman asal usul Yahudi selain sebab
masuknya para pendahulu mereka ke agama Yahudi. Di antaranya perkawinan campur
antara Yahudi dan non-Yahudi walau hal itu diharamkan oleh para kahin mereka
dan banyaknya pemerkosaan yang terjadi di masa perang, revolusi, dan
pembantaian.
Orang-orang
Yahudi bekerja keras sekuat tenaga mereka untuk menutupi fakta-fakta sejarah,
yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah, yang mengungkap asal usul masuknya para
pendahulu mereka ke agama Yahudi, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan
Palestina dan penduduk kunonya, namun mereka mengklaim secara terus-menerus
dengan keras kepala dan pikiran yang jumud bahwa asal usul mereka kembali ke
para nabi seperti Ibrahim, Ishak, Yakub, Musa, Daud dan Sulaiman. Sedangkan
semua itu adalah klaim dan prasangka yang bertentangan dengan kenyataan dan
bertolakbelakang dengan fakta-fakta agama dan sejara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar