MUSRI
INDRA WIJAYA / SEJARAH RIAU
KEUNIKAN
BUDAYA PACU JALUR KUANTAN SINGINGI
Pacu jalur yang
kita kenal selama ini tidak hanya mengandung unsur olahraga semata tapi produk
budaya dan karya seni masyarakat tempatan yang unik. Ia meliputinperpaduan seni
music, seni ukir, seni tari dan gaya arsitektur kebaharian. Disamping itu jalur
juga berisikan muatan magis yang merupakan lamang spiritual masyarakat kuantan.
Jalur mulai ada
di taluk kuantan sekitar abad ke-17 digunakan untuk membawa tamu kehormatan seperti raja, sultan dan para
pembesar lainnya. Jalur menurut arti aslinya adalah perahu yang panjangnya
25-30 meter, dengan lebar1-1,5 meter. Jalur dibuat berdasarkan musyawarah anak
negeri dan pawing piawai dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh anak negeri. Waktu
untuk mewujudkan sebuah jalur membutuhkan waktu 3-6 bulan dengan biaya jutaan
rupiah. Kayu yang digunakan untuk jalur ini adalah kayu besar dan liat, ringan, berserat halus, tapi
tahan lapuk, lurus, tidak berlubang dan tidak berbingkah. Pohon ini pin
tumbhnya haruslah di tanah yang berani, memiliki penunggu, bermambang pada
akar, batang dan pucuknya.
Sebelum jalur di
uat terlebih dahulu memilih kayu yang benar-benar bagus untuk dipacukan,
seperti kayu meranti, banio dan mersawa,
kayu yang diambil tersebut tidak langsung dijadikan jalur namun harus
melewati beberapa proses dan ditanyakan dulu kepada pawing dan petinggi adat di
desa tersebut. Jika kayu itu dibolehkan
maka masyarakat setempat mengupahkannya
kepada orang-orang yang ahli dalam membuat jalur, atau tukang jalur, akan
tetapi ada juga masyarakat membuat secara bersama-sama.
Oleh pawang
piawai, pohon ini disemah, dibacakan mantra, dan baru bleh ditebang. Mantra
yang dibacakan di tiap-tiap desa biasanya berbeda, namun yang lumrah digunakan
oleh para pawing adalah sebagai berikut “ oi panguasa rimbo, niniak yng tinggal
disangkek, antung yang iduik di celah-celah tanah, yang iduik di tanah-tanah
yang tinggi, kami kan mambuek jalur, agialah izin, kalau salah kami minta maaf,
kami nak manobang kayu, jan agia kami sakik poniang dan peliaro lah kami”.
Setelah ditebang
pembuatan jalurpun segera dimulai . jika jalur setengah jadi dan pohon tadi
telah di lubangi oleh tukang jalur maka dikampung pun gong mulai di bunyikan.
Mulai dari orang tua, pemuda pemudi dan anak-anak akan berarak ke hutan untuk
ikut serta dalam kegiatan menarik jalur atau lebih dikenal dengan maelo
jalur. Maelo jalur beramai-ramai dari
hutan ke kampong yang meliatkan kaum muda ini dimanfaatkan pula bagi mereka
untuk menarik hati lawan jenis.
Akibatnya kerja erat ini akan terasa ringan penuh canda dan gelak tawa.
Setelah jalur
tersebut selesai maka salah seorang masyarakat mengumumkan kepada seluruh
masyarakat desa untuk menghadiri
kegiatan maelo jalur ke kampong.
Kegiatan selanjutnya adalah tahap mencoba jalu ke sungai. Pada proses
maelo jalur ini merupakan awal pertemuan bujang dan gadih. Dua pasang mata
saling memandang. Tak kenal maka tak saying, kemudian momen bersejarah sepasang
muda-mudi yang belum saling mengenalpun berlangsung.
Berlanjut ke
tahap makan-makan. Sebagai ungkapan bahagia karena pemukaan kegiatan ini
terlaksana. Dari para bujang dan gadih ini mengalami masa penjajakan lalu
perkenalan. Perkenalan terus berlanjut sehingga akhirnya ada yang menemukan
pasangan yang cocok dan melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Seperti
pribahasa yang mengatakan sekali mendayung dua tiga pulau terlampui berlaku
dalam pacu jalur ini karena tidak hanya bisa menyaksikan pacu jalur tetapi juga
mendapat jodoh[1].
Menurut Zainal
Abidin , tokoh masyarakat Desa Pulau Bindi Kuantan Mudik mengaku ahwa ritual
mencari jodoh ini memang ada “Akan tetapi tidak semua daerah melakukan keiasaan
ini,” ujarnya. Menurutnya ritual ini tidak pernah ada karena yang mengikuti
tarik jalur ini tak hanya bujang dan dara tetapi juga Ninik mamak sehingga
mereka segan bila membaur untuk ikut menarik
jalur. Tetapi untuk remaja perempuan masih ikut membantu seperti membuat
minum dan menyiapkan makanan kecil. Menurut Uswandi, salah seorang remajaa yang
berasal dari daerah Kari. Ritual mencari jodoh di daerah tersebut sudah
terkenal di daerah masyarakat Taluk Kuantan[2].
Setelah jalur
sampai di kampung, para tukang jalur kemali bekerja untuk membentuk badan yang
setengah jadi tadi, menghaliskan serta mempercantik entuk dari jalur
tersebut. Kegiatan yang penting adalah
mendiang jalur, dengan meletakkan jalur di tumpukan kayu bakar, biasanya
dilakukan pada malam hari dengan upacara dihadiri oleh pemuka adat dan masyarakat. Mendiang ini
bertujuan agar air yang ada dalam kayu menjadi semakin berkurang dan jalur akan
terasa ringan, dalam mendiang ini juga terdapat bebrapa ritual sesembahan.
Sementara proses
mendiang jalur masih berlangsung, maka kaum ibu-ibu mempersiapkan konji berayak
dan music tradisional rarak godang terus ditabuh. Beerapa anak muda atau
ujang dan gadih bergembira ria dengan
permainan alat music tradisional kuantan. Diantara permaianan lain adalah ada
yang disebut gilo luka yang diikuti oleh seorang pawing jalur. Sesuai dengan
namanya gilo lukah menggunakan sebuah lukah (penangkap ikan), didandani
menyerupai orang-orang, diberi baju, dengan tangan serta kepala terbuat dari
labu air[3].
Lukah dipegang
oleh pemain secara berpasangan, dua orang, empat orang atau delapan orang
sekaligus. Sang pawing memanterai lukah tadi melalui ebrapa ritual dan kemenyan
(dupa) yang memiliki aroma khas. Pawing mengambil telutuak dan dipukulnya ke
tanah sambil membaca mantra gilo luka. Kegiatan ini berlangsung hingga fajar
menyingsing dan proses mendiang jalur
pun berakhir.
PERAN DUKUN / PAWANG
PACU JALUR
Melihat kerja
seorang dukun pacu jalur berarti mengintip dunia agis, konon katanya di zaman
belanda tersebutlah seorang dukun jalur
bernama datuak ompang, kepiawaian dukun ini sampai sekarang tak tertandingi.
Dengan jalurnya yang bernama binuang sakti dukun ini selalu membuat jalur yang
dia mantari menang dan tek pernah kalah.
Sebelum bertanding, dia meminta hadiah yang harus di berikan hakim /
juri adalah jawi jantan itam logam. Dia bisa meramalkan rival berat dalam final
adalah jalur padang kunyik pangean misalnya.
Saat berlomba
datuak ompang membuat jalur-jalur kecil dua uah di rumahnya. Di hadapannya
diletakkan tempayan berisi air. Salah satu jalur kecil itu dianggap sebagai
jalurnya binuang sati dan satunya lagi jalur lawan. Dari rumahnya ia
mempermainkan jalur-jalur tersebut, bila lawan telah mendahului jalur tersebut
yakni jalur binuang sati dia cukup
memegang jalur lawan tersebut maka lawan
akan tersentak dan berhenti jalur yang aslinya / atau jalur aslinya yang sedang
bertanding akan melmbat. Jika ia hendak
menenggelamkan jalur lawan maka ia menusukkan jarinya ke jalur kecil tersebut
hingga tenggelam dan tentu saja dibarengi mantra-mantra[4].
Namun bila jalur
lawan dikawal dukun lain yang cukup hebat,maka kegiatan tersebut terjadi
peperangan kekuatan dukun, sehingga tidak mempan terhadap satu sama lain. Jika
tidak mempan dengan jalur kecil maka datuak ompang langsung pergi ke tepian
sungai kuantan. Dia membawa pelepah indayang (pelepah daun kelapa yang sudah mati
/ tua). Yang telah dipotong sepanjang 1
meter bagian pangkalnya. Di atas pasir datuak ompang menduduki pelepah indayang
itu, setelh kedua jalur berpacu dan lawan mendahului jlurnya maka ia memaca
mantra sambil melemparkan buah pinang masak. Biasanya beberapa orang anak pacu / atau tukang onjai
akan terjatuh ke dalam air saat pinang masak itu jatuh ke air. Bila tidak
mempan juga, dukun ini berdiri dan menginjak ujung pelepah indayang dan
biasanya jalur lawan akan terbalik / tenggelam. Begitu dhsyatnya kekuatan
seorang dukun pawing pacu jalur dan sampai sekarangpun di setiap festifal pacu
jalur peran dukun ini masih di andalkan.
Pacu jalur ini
merupakan perayaan akbar tiap tahun di kuansing, dan ini sudah sangat mengental
di kalangan masyarakat kuansing umumnya dan masyarakan hiliran sungai kuantan
khususnya. Tidak hanya ditonton oleh
masyarakat kuansing tapi juga dari luar kota, seperti pecanbaru dan
kabupaten-kbuaten lain di kuansing. Secara historis pacu jalur telah
berlangsung 106 tahun yang lalu.
Notes:
Daftar pustaka:
- Bahana
Mahasiswa. 2013. Kumpulan kilas balik melongok 99 kisah mengabdi.
Pekanbaru: Bahana press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar