Jumat, 02 Januari 2015

KEUNIKAN BUDAYA PACU JALUR KUANTAN SINGINGI

MUSRI INDRA WIJAYA / SEJARAH RIAU
KEUNIKAN BUDAYA PACU JALUR KUANTAN SINGINGI
Pacu jalur yang kita kenal selama ini tidak hanya mengandung unsur olahraga semata tapi produk budaya dan karya seni masyarakat tempatan yang unik. Ia meliputinperpaduan seni music, seni ukir, seni tari dan gaya arsitektur kebaharian. Disamping itu jalur juga berisikan muatan magis yang merupakan lamang spiritual masyarakat kuantan.
Jalur mulai ada di taluk kuantan sekitar abad ke-17 digunakan untuk membawa tamu  kehormatan seperti raja, sultan dan para pembesar lainnya. Jalur menurut arti aslinya adalah perahu yang panjangnya 25-30 meter, dengan lebar1-1,5 meter. Jalur dibuat berdasarkan musyawarah anak negeri dan pawing piawai dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh anak negeri. Waktu untuk mewujudkan sebuah jalur membutuhkan waktu 3-6 bulan dengan biaya jutaan rupiah. Kayu yang digunakan untuk jalur ini adalah kayu  besar dan liat, ringan, berserat halus, tapi tahan lapuk, lurus, tidak berlubang dan tidak berbingkah. Pohon ini pin tumbhnya haruslah di tanah yang berani, memiliki penunggu, bermambang pada akar, batang dan pucuknya.
Sebelum jalur di uat terlebih dahulu memilih kayu yang benar-benar bagus untuk dipacukan, seperti kayu meranti, banio dan mersawa,  kayu yang diambil tersebut tidak langsung dijadikan jalur namun harus melewati beberapa proses dan ditanyakan dulu kepada pawing dan petinggi adat di desa tersebut.  Jika kayu itu dibolehkan maka masyarakat setempat  mengupahkannya kepada orang-orang yang ahli dalam membuat jalur, atau tukang jalur, akan tetapi ada juga masyarakat membuat secara bersama-sama.
Oleh pawang piawai, pohon ini disemah, dibacakan mantra, dan baru bleh ditebang. Mantra yang dibacakan di tiap-tiap desa biasanya berbeda, namun yang lumrah digunakan oleh para pawing adalah sebagai berikut “ oi panguasa rimbo, niniak yng tinggal disangkek, antung yang iduik di celah-celah tanah, yang iduik di tanah-tanah yang tinggi, kami kan mambuek jalur, agialah izin, kalau salah kami minta maaf, kami nak manobang kayu, jan agia kami sakik poniang dan peliaro lah kami”.
Setelah ditebang pembuatan jalurpun segera dimulai . jika jalur setengah jadi dan pohon tadi telah di lubangi oleh tukang jalur maka dikampung pun gong mulai di bunyikan. Mulai dari orang tua, pemuda pemudi dan anak-anak akan berarak ke hutan untuk ikut serta dalam kegiatan menarik jalur atau lebih dikenal dengan maelo jalur.  Maelo jalur beramai-ramai dari hutan ke kampong yang meliatkan kaum muda ini dimanfaatkan pula bagi mereka untuk menarik hati lawan jenis.  Akibatnya kerja erat ini akan terasa ringan penuh canda dan gelak tawa.
Setelah jalur tersebut selesai maka salah seorang masyarakat mengumumkan kepada seluruh masyarakat desa  untuk menghadiri kegiatan maelo jalur ke kampong.  Kegiatan selanjutnya adalah tahap mencoba jalu ke sungai. Pada proses maelo jalur ini merupakan awal pertemuan bujang dan gadih. Dua pasang mata saling memandang. Tak kenal maka tak saying, kemudian momen bersejarah sepasang muda-mudi yang belum saling mengenalpun berlangsung.
Berlanjut ke tahap makan-makan. Sebagai ungkapan bahagia karena pemukaan kegiatan ini terlaksana. Dari para bujang dan gadih ini mengalami masa penjajakan lalu perkenalan. Perkenalan terus berlanjut sehingga akhirnya ada yang menemukan pasangan yang cocok dan melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Seperti pribahasa yang mengatakan sekali mendayung dua tiga pulau terlampui berlaku dalam pacu jalur ini karena tidak hanya bisa menyaksikan pacu jalur tetapi juga mendapat jodoh[1].
Menurut Zainal Abidin , tokoh masyarakat Desa Pulau Bindi Kuantan Mudik mengaku ahwa ritual mencari jodoh ini memang ada “Akan tetapi tidak semua daerah melakukan keiasaan ini,” ujarnya. Menurutnya ritual ini tidak pernah ada karena yang mengikuti tarik jalur ini tak hanya bujang dan dara tetapi juga Ninik mamak sehingga mereka segan bila membaur untuk ikut menarik  jalur. Tetapi untuk remaja perempuan masih ikut membantu seperti membuat minum dan menyiapkan makanan kecil. Menurut Uswandi, salah seorang remajaa yang berasal dari daerah Kari. Ritual mencari jodoh di daerah tersebut sudah terkenal di daerah masyarakat Taluk Kuantan[2].  
Setelah jalur sampai di kampung, para tukang jalur kemali bekerja untuk membentuk badan yang setengah jadi tadi, menghaliskan serta mempercantik entuk dari jalur tersebut.  Kegiatan yang penting adalah mendiang jalur, dengan meletakkan jalur di tumpukan kayu bakar, biasanya dilakukan pada malam hari dengan upacara dihadiri  oleh pemuka adat dan masyarakat. Mendiang ini bertujuan agar air yang ada dalam kayu menjadi semakin berkurang dan jalur akan terasa ringan, dalam mendiang ini juga terdapat bebrapa ritual sesembahan.
Sementara proses mendiang jalur masih berlangsung, maka kaum ibu-ibu mempersiapkan konji berayak dan music tradisional rarak godang terus ditabuh. Beerapa anak muda atau ujang  dan gadih bergembira ria dengan permainan alat music tradisional kuantan. Diantara permaianan lain adalah ada yang disebut gilo luka yang diikuti oleh seorang pawing jalur. Sesuai dengan namanya gilo lukah menggunakan sebuah lukah (penangkap ikan), didandani menyerupai orang-orang, diberi baju, dengan tangan serta kepala terbuat dari labu air[3].
Lukah dipegang oleh pemain secara berpasangan, dua orang, empat orang atau delapan orang sekaligus. Sang pawing memanterai lukah tadi melalui ebrapa ritual dan kemenyan (dupa) yang memiliki aroma khas. Pawing mengambil telutuak dan dipukulnya ke tanah sambil membaca mantra gilo luka. Kegiatan ini berlangsung hingga fajar menyingsing dan proses  mendiang jalur pun berakhir.

PERAN DUKUN / PAWANG PACU JALUR
Melihat kerja seorang dukun pacu jalur berarti mengintip dunia agis, konon katanya di zaman belanda tersebutlah seorang dukun  jalur bernama datuak ompang, kepiawaian dukun ini sampai sekarang tak tertandingi. Dengan jalurnya yang bernama binuang sakti dukun ini selalu membuat jalur yang dia mantari menang dan tek pernah kalah.  Sebelum bertanding, dia meminta hadiah yang harus di berikan hakim / juri adalah jawi jantan itam logam. Dia bisa meramalkan rival berat dalam final adalah jalur padang kunyik pangean misalnya.
Saat berlomba datuak ompang membuat jalur-jalur kecil dua uah di rumahnya. Di hadapannya diletakkan tempayan berisi air. Salah satu jalur kecil itu dianggap sebagai jalurnya binuang sati dan satunya lagi jalur lawan. Dari rumahnya ia mempermainkan jalur-jalur tersebut, bila lawan telah mendahului jalur tersebut yakni jalur binuang sati dia  cukup memegang jalur lawan tersebut  maka lawan akan tersentak dan berhenti jalur yang aslinya / atau jalur aslinya yang sedang bertanding akan melmbat.  Jika ia hendak menenggelamkan jalur lawan maka ia menusukkan jarinya ke jalur kecil tersebut hingga tenggelam dan tentu saja dibarengi mantra-mantra[4].
Namun bila jalur lawan dikawal dukun lain yang cukup hebat,maka kegiatan tersebut terjadi peperangan kekuatan dukun, sehingga tidak mempan terhadap satu sama lain. Jika tidak mempan dengan jalur kecil maka datuak ompang langsung pergi ke tepian sungai kuantan. Dia membawa pelepah indayang (pelepah daun kelapa yang sudah mati / tua).  Yang telah dipotong sepanjang 1 meter bagian pangkalnya. Di atas pasir datuak ompang menduduki pelepah indayang itu, setelh kedua jalur berpacu dan lawan mendahului jlurnya maka ia memaca mantra sambil melemparkan buah pinang masak. Biasanya   beberapa orang anak pacu / atau tukang onjai akan terjatuh ke dalam air saat pinang masak itu jatuh ke air. Bila tidak mempan juga, dukun ini berdiri dan menginjak ujung pelepah indayang dan biasanya jalur lawan akan terbalik / tenggelam. Begitu dhsyatnya kekuatan seorang dukun pawing pacu jalur dan sampai sekarangpun di setiap festifal pacu jalur peran dukun ini masih di andalkan.
Pacu jalur ini merupakan perayaan akbar tiap tahun di kuansing, dan ini sudah sangat mengental di kalangan masyarakat kuansing umumnya dan masyarakan hiliran sungai kuantan khususnya.  Tidak hanya ditonton oleh masyarakat kuansing tapi juga dari luar kota, seperti pecanbaru dan kabupaten-kbuaten lain di kuansing. Secara historis pacu jalur telah berlangsung 106 tahun yang lalu.
Notes:
Daftar pustaka:
  1. Bahana Mahasiswa. 2013. Kumpulan kilas balik melongok 99 kisah mengabdi. Pekanbaru: Bahana press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar