1.1 Amerika
Serikat terhadap perjalanan politik Soekarno
Dalam
perseteruan Doktrin Geopolitik
Soekarno merupakan primus inter pares (yang terunggul dari
yang unggul). Ia memilih geopolitik sebagai tahapan awal pembentukan sebuah
bangsa, geopolitik sebagai alat modal kekayaan wilayah serta menjadikan
geopolitik sekaligus sebagai modal sosial dalam membentuk perubahan total
terhadap sejarah perkembangan masyarakat. Soekarno mendasarkan pemahaman
geopolitiknya pada pemikir politik Perancis, Ernest Renan (1823-1892) yang
selalu disebut-sebut Bung Karno dalam pidato politiknya jika menyinggung sebuah
bangsa. “Ce qui constitue une nation, ce n’est pas de parler la même langue,
ou d’appartenir à un groupe ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble
de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir” (”Apa
yang membuat satu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadi
bagian dari kelompok etnografis yang sama, tapi sempat membuat hal-hal besar
pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada masa depan”)
Gagasan nasionalisme yang sakral dan penuh dengan gairah
sejarah membuat Sukarno perlu melindungi Indonesia dari ancaman potensial,
ancaman terbesar Indonesia di awal berdirinya Republik Indonesia memang ancaman
ekspansi militer negara asing, kedatangan NICA pada dalam dua kali operasi
militer 1947 dan 1948 membuat Soekarno amat sensitif atas geopolitik wilayah. Namun
Soekarno menyerahkan kebijakan politik yang umumnya bernada diplomasi kepada
Sutan Sjahrir, Soekarno mengabaikan gagasan ‘Merdeka 100% ala Tan Malaka dengan
alasan ‘memperpendek perang’ sekaligus sebagai strategi Soekarno untuk mengeliminir
kekuatan kiri yang akan menjegal dia. Soekarno menginginkan kekuatan kiri
dikendalikan oleh dia sendiri dalam kerangka yang ia susun kemudian dan tanpa
perlu korban dalam menghadapi perang dengan negara asing. Sukarno memerlukan
politik diplomasi sebagai tahap awal dalam pembentukan kesatuan wilayah
nasional.
Konflik geopolitik di Asia Tenggara menjadi rentan ketika
AS di tahun 1952 meletakkan landasan doktrin kebijakan luar negeri baru yang
anti komunis dan mengoreksi landasan Truman untuk ‘tidak saling mengganggu’
menjadi landasan Eisenhower “Netralitas adalah sebuah kesalahan”. Eisenhower
menginginkan bahwa ‘seluruh wilayah di dunia harus masuk ke dalam barisan ‘free
world’ (dunia bebas)’, barisan ini juga akan menentukan kemenangan
Eisenhower dalam melawan komunisme, taktik pembiaran Truman terhadap Cina dan
lebih menginginkan Cina yang satu daripada terpecah-pecah menjadi bumerang
sendiri untuk Eisenhower Presiden AS yang menggantikan Truman, karena setelah
Cina bersatu dibawah kendali Komunisme Mao, RRC jadi amat sulit dikendalikan
dan menjadi wilayah terkuat di Asia, kemenangan RRC atas Nasionalis di tahun
1949 juga menjadikan Asia terancam bukan lagi secara ideologi dengan komunisme
tapi juga sudah menjadi realitas militer. Dibalik aksi Eisenhower yang amat anti komunis dan
mendapatkan keuntungan politikatas kesalahan Truman di RRC ada sebuah “keinginan
terselubung” untuk menggantikan dominasi Inggris, Perancis dan Belanda di
wilayah Asia Tenggara, inilah yang menyebabkan kenapa AS separuh hati membantu
Perancis di perang Vietnam - Perancis 1954 tapi mengerahkan ratusan ribu
tentaranya secara serius dalam menghadapi Vietnam dengan alasan mencegah
Vietnam Utara masuk ke Selatan.
Hasrat keinginan dominasi AS di wilayah Asia Tenggara
inilah yang kemudian dibaca Sukarno pada tahun 1953. Perkembangan menjadi
semakin menguntungkan bagi AS ketika sejumlah Kolonel membangkang di Sumatera
dan meminta Soekarno mengoreksi kebijakannya terhadap Komunis serta memberikan
keleluasaan yang besar bagi para perwira di luar Jawa. CIA menanggapinya ini
dengan senang hati dan menjadi alat sekutu bagi mereka, bahkan CIA mengedrop
bantuan senjata lewat ‘Operasi Hance’. Bantuan ini tidak begitu digubris oleh
PRRI sebagai pemberontak terhadap kekuasaan Soekarno, karena mereka lebih
menginginkan bantuan ekonomi, dan lebih mengherankannya lagi ketika agen CIA
berhadapan dengan Simbolon, pemimpin pemberontak, foto Soekarno masih
tergantung di markas Simbolon, ketika ditanya, Simbolon menjawab “dia masih
Presiden kami”.
Keberhasilan
Soekarno mempecundangi AS tidak hanya dalam kasus pembebasan tanah Irian,
pemerintahan di masa Soekarno juga berhasil menangkap basah penyusupan CIA di
Maluku pada tahun 1958, yang menyamar sebagai pilot, dan kemudian diadili secara
tertutup. Padahal AS saat itu mendanai pemberontakan pemerintahan revolusioner
Republik Indonesia dan perjuangan Semesta di Maluku. Pencapaian negara
Indonesia di era Soekarno ini seakan menunujukkan bahwa negara Indonesia pernah
menjadi negara yang memiliki kekuatan diplomasi yang cantik, dengan jiwa
nasionalisme yang tinggi dan tidak pernah mau tunduk dan didikte oleh negara super
power AS. Salah satu bukti nyata lain adalah dinamika politik Indonesia pada
tahun 1948 ditandai dengan deklarasi politik bebas aktif, melawan Malaysia pada
tahun 1963, dan keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965. Kegagalannya
dalam operasi militer bersama PRRI yang separuh memalukan membuat AS harus
mundur teratur sebelum matangnya operasi intelijen, keputusan lebih
mementingkan operasi intelijen ketimbang operasi militer menjadi keputusan AS
sampai Eisenhower digantikan J.F Kennedy. Soekarno menanggapi kemunduran aksi
militer AS ini dengan menyerang sisa-sisa imperialisme di Belanda, serta
memanfaatkan keraguan JF Kennedy terhadap politik intervensi militer di Asia
Tenggara, yang juga membuat JFK menekan Belanda.
Sampai saat ini belum ada
bukti ilmiah, bahwa apa yang dilakukan JFK merupakan bagian terencana dalam pengusiran
diam - diam Belanda, lalu membiarkan Irian Barat dikuasai Indonesia, sehingga
AS tidak akan rikuh lagi menguasai Sumber Daya Alam Irian Barat tanpa
harus berhadapan dengan Belanda sebagai ‘sekutu terkuat di Eropa’. –Bila Irian
Barat tetapdikuasai Belanda, tentu Belanda tidak akan memberikan konsesi Sumber
Daya Alam dengan mudah kepada AS, semudah ketika kelak AS mendapatkan konsesi
sumber daya alam pada jaman Orde Baru. Dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan
harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang
komunisme di Asia. Punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non
blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit
mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang
tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”.
Kekecewaan
semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme
pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik.
Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah
politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS
juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran
Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak;
sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi.
Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei.
Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan
lainnya bagi AS harus aman. Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan
kepentingan AS di Indonesia.
Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar
mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat
kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak
kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri
ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya. Dinamika perpolitikan Indonesia di era perang dingin kurun waktu
1953-1963 pernah ditandai dengan aroma diplomasi cantik dan elegan, disertai
dengan kebijakan para pemimpin yang tidak mau didikte dan tunduk pada AS. Meski
saat itu negeri Indonesia baru merdeka dalam hitungan belasan tahun, semangat
nasionalisme dan kecerdikan para pemimpinnya menjadikan negara Indonesia
disegani oleh AS, Uni Soviet dan negara-negara Sekutu. Bagaimana tidak di
tengah perseteruan perang dingin antara AS dan Uni Soviet, Indonesia, yang baru
merdeka dalam hitungan belasan tahun, lewat kunjungan Soekarno ke Washington
berhasil mendinginkan keadaan. Di sisi lain, melalui semangat nasionalisme yang
tinggi dan kecerdikan diplomasinya, pemerintah Indonesia lewat diplomasi cantik
dan ciamik Soekarno juga berhasil mempermainkan AS dan Uni Soviet dalam kasus
pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
Dengan
menggunakan kartu Uni soviet, Soekarno menerapkan kebijakan luar negeri dengan
metode gertak sambal, yaitu menakut-nakuti Amerika bahwa militer Uni Soviet
akan membantu Indonesia dan akan memporak-porandakan Belanda, negara sekutu
Abadi AS di tanah penjajahan Papua. Berkat diplomasi Bung karno, AS tak
berkutik, John F Kennedy dengan sangat terpaksa memerintahkan Belanda untuk
hengkang dari dan tanah Irian Barat. Papua kemudian bebas dari penjajahan dengan
tanpa jatuh korban dan peperangan. Sebuah permainan diplomasi cantik
diperagakan oleh pemimpin Indonesia, dengan spirit nasionalisme yang tinggi dan
sikap pemerintahan yang independen. AS ingin menuturkan dinamika politik
Indonesia di masa perang dingin 1953-1963, serta model kepemimpinan
pemerintahan Indonesia yang anti terhadap hegemoni AS dan bagaimana kecerdikan
Bung Karno mengambil kebijakan-kebijakan luar negerinya. landasan kepemimpinan
Soekarno dibangun atas dasar nasionalisme, Islam dan Marxisme.
Nasionalisme
yang tumbuh dalam dirinya telah menanamkan rasa persatuan dan cinta Tanah Air
sekaligus menjadikan dirinya menjadi proklamator dan presiden pertama
Indonesia, sementara ideologi Marxisme yang dikembangkannya membuat dirinya
memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet dan menanamkan jiwa anti hegemoni dan
imperialisme Barat. Bersama pemerintahan Soekarno, kebijakan luar negeri
Indonesia sangat disegani asing. Salah satu kebijakan luar negeri yang indah
dan luar biasa dalam dinamika politik Indonesia di era pemerintahan Soekarno
adalah peristiwa pembebasan tanah Papua dari penjajahan Belanda. Pada masa itu,
Soekarno memanfaatkan Uni Soviet yang saat itu sedang berseteru dengan AS, pada
saat bersamaan posisi negara Belanda menjadi bagian dari Sekutu bersama AS dan
Eropa. Soekarno melalui kekuatan diplomasinya membujuk Uni Soviet untuk
membantu secara militer mengusir Belanda dari tanah Papua, dan keberhasilan
diplomasi Soekarno ini disampaikan ke Pihak AS. AS yang saat itu tidak tega
melihat sekutu abadinya luluh lantak oleh militer Uni Soviet, lalu
memerintahkan Belanda untuk mundur dari pendudukannya di tanah Irian. Proses
diplomasi yang membuat AS gigit jari tersebut berlangsung demikian. Subandrio
wakil perdana menteri yang pernah menjabat duta besar Moskow, diperintah olah
Soekarno untuk meminta bantuan militer kepada pemimpin Uni Soviet, Nikita
Khrushehev, agar mengusir Belanda dari tanah Papua.
Keberhasilan
Subandrio melobi Nikita Khrushehev kemudian disampaikan oleh Soekarno kepada Howard
P Jones, duta besar AS di Indonesia. Informasi tersebut membuat John F Kennedy
yang saat itu sedang menjabat sebagai presiden AS kalang kabut, karena Kennedy
tidak mau melihat Belanda porak-poranda dan babak belur akibat serangan militer
Uni Soviet, ia memaksa Belanda untuk kabur dan hengkang dari tanah Papua. Tanah
Papua pun bebas dari penjajahan Belanda dengan tanpa korban dan biaya
pengeluaran untuk militer, dan militer Uni Soviet pulang tanpa menembakkan
sebutir peluru pun karena Belanda sudah hengkang saat kapal perang Uni Soviet
sampai di perairan Indonesia. Kepemimpinan Indonesia beberapa puluh tahun yang
lalu pernah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan dengan gagah berani
menentang hegemoni pihak asing. Sayangnya ruh kepemimpinan ala Soekarno ini tidak
lagi kelihatan di masa sekarang, dan hanya tinggal kenangan. Hal ini
dibuktikan, bahwa praktis pasca presiden Soekarno, Indonesia berada dalam
cengkeraman asing (AS, pemerintahan Orde Baru berada di bawah kendali AS,
melalui lembaga-lembaga internasional-nya seperti IMF, Bank Dunia, USAID. Orde
Baru mewarisi kebijakan buruk dan berlanjut hingga sekarang, tak heran jika
Indonesia di masa Orde Baru pernah dijuluki sebagai negara gagal atau failed
state akibat strategi kebijakannya yang selalu tunduk pada Mafia Berkeley, dan
Indonesia hanya menjadi negara kepanjangan tangan dari kepentingan global Mafia
Berkeley lewat “Washington konsensus”.
1.2 Amerika
Serikat terhadap perjalanan politik Soeharto
Karir Suharto
berawal di militer. Suharto bergabung dengan barisan laskar PETA (Pembela Tanah
Air), terlibat dalam serangkaian operasi militer penting melawan agresi Belanda
dan perebutan Irian Barat (sekarang Papua). Suharto menceburkan diri ke dunia
politik dengan bermodalkan pengetahuan militernya. Dengan bekal itu, ia mampu
menempatkan diri sebagai pemimpin yang pragmatis, tapi dengan kebijakan
populis.
Setelah
kejatuhan Sukarno, muncul kekuatan baru yaitu Kekuatan Para Jenderal Angkatan
Darat, dibawah pengaruh kuat Letjen Suharto, orang yang ditunjuk Sukarno sebagai
penertib keamanan tapi dengan licin mampu mentransformasi surat perintah
pengamanan, menjadi surat perintah transfer kekuasaan. Suharto agak
longgar dalam soal politik konsesi sumber daya alam tapi ia memiliki kesamaan
persis dengan Sukarno yaitu harga mati
bahwa tidak boleh ada pangkalan militer asing di wilayah Asia Tenggara apalagi
di Indonesia dalam soal Nasionalisme, Suharto lebih kolot dan konservatif
ketimbang Sukarno. Awalnya ada
desakan dari AS dan ditanggapi beberapa perwira intelijen yang senang bahwa
Indonesia akan masuk dalam fakta Militer Asia Tenggara, namun yang terjadi
kemudian Suharto mendiamkan pengajuan proposal fakta Militer itu, Suharto
kuatir ikut campurnya pangkalan militer asing akan menjadikan wilayah Asia
Tenggara tidak stabil,
Suharto yang merasa bisa menghantam Komunis balik menekan
pihak AS untuk menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah zona aman,
bebas pangkalan militer asing dan tidak boleh terjadi intervensi antar negara Stabilitas adalah ‘kepentingan diatas
kepentingan’. Keinginan Suharto yang kuat dan tidak boleh ditawar
itu kemudian didukung oleh Malaysia. Suharto saat itu juga masih marah pada Lee
Kuan Yew, karena permintaannya lewat utusan Jenderal Soemitro untuk membatalkan
penggantungan dua prajurit KKO di Singapura sama sekali tak digubris. Bila
kemudian Singapura menjadi kuat secara militer dan menjadi basis pangkalan
militer maka Singapura adalah ancaman terbesar Indonesia. Sebaliknya,
pada saat kekuasaan Sukarno melemah, giliran Suharto membersihkan parlemen dari
para pendukung Sukarno. Suharto juga melenyapkan unsur-unsur perbedaan yang
berpotensi menimbulkan konflik dengan garis politiknya. Dengan begitu, Suharto
berjaya mengekalkan dirinya sebagai penafsir tunggal “demokrasi Pancasila”
secara legal. Tidak jarang perannya bak dewa, sedangkan perkataanya adalah
sabda politik yang tegas dan keras. Perbedaan berarti pembangkangan.
Slogan-slogan pada era Suharto adalah “pembangunan”
“lepas landas,” “SDM” sedangkan musuh baru yang diciptakan Suharto untuk
mengidentifikasi elemen-elemen pembangkangan adalah “organisasi tanpa bentuk,”
“Gerakan Pengacau Keamanan,” “subversi,” “mbalelo,” “kiri baru.” Modal
asing pun mengalir deras dengan nyaman pada era Suharto. Meskipun eksploitatif
dan memberikan keuntungan luar biasa kepada segelintir kroni (kapitalisme
kroni), perbaikan ekonomi berlangsung. Kelas menengah baru tumbuh dan
berkembang pada awal era ini seiring dengan tampilnya konglomerasi yang dekat
dengan Istana. Suharto mengoreksi konsep pemerintahan Sukarno dengan model
demokrasi semu dengan sedikit keleluasaan. Belajar dari pengalaman masa silam
bahwa sumber kekacauan adalah pluralisme politik takterkendali, Suharto
memperkenalkan asas tunggal, dan melebur puluhan partai politik menjadi dua.
Partai-partai politik sengaja dilemahkan, dikerdilkan, sedangkan Golkar
dibesarkan, tapi terkendali sebagai perpanjangan resmi pemerintah. Dengan
begini, Suharto mampu mempraktikkan kebijakan-kebijakan ekonomi pragmatisnya
secara efektif.
Suharto pergi sendiri untuk mendapatkan bantuan dan pinjaman bagi Indonesia. Tetapi
harus dicatat
bahwa Indonesia tidak selalu bersesuaian dengan AS
dalam politik luar negerinya. Suharto menentang tekanan AS ketika ia berpikir
bahwa tekanan seperti itu berlawanan dengan “kepentingan nasional
Indonesia“. Selama era Suhato pembangunan ekonomi dalam negeri
merupakandasar bagi
legitimasi pemerintah. Politik luar negeri digunakan untuk memperbaiki kondisi
ekonomi Indonesia. Karena berbeda dalam tipe ideologi, yakni anti - komunis, politik
luar negeri Indonesia condong ke Barat dan kerjasama regional. Kebijakan
politik RI lebih pro - barat, mengingat kondisi pada waktu ituIndonesia
membutuhkan suntikan dana segar yang sangat banyak untuk menyelamatkan
Indonesia dari kebangkrutan, dan juga salah satu faktor yangmenentukan
kebijakan pro-barat ini adalah orientasi ekonomi.
Jadi
kesimpulan dari seluruh pembahasan, bahwasanya penyimpangan politik luar
negeri bebas aktif yang terjadi pada masa Suharto. Terlihat dari ketergantungan
Indonesia pada IMF. Dan ini berdampak pada gejolak ekonomi berupa
debt trap
dan rendahnya posisi tawar Indonesia
di mata negara barat akibat konstelas i di dalamtubuh IMF tersebut. Semua ini
merupakan gambaran kecondongan Indonesia pada barat di masa itu. Pada tahun
1969 lobi-lobi LB Moerdani di Malaysia, perwira intelijen andalan Suharto dan
Ali Moertopo melanjutkan jalur lobi yang sudah dibentuk sejak tahun 1967, lobi
LB Moerdani ini meluas ke berbagai negara yang menanggapi secara positif permintaan
Suharto untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai zona aman. Hanya saja
kemudian Malaysialah yang buka suara, Malaysia paling getol mendukung Suharto karena
pengalaman buruknya ketika negara ini terancam diserang Sukarno. Lalu pada
tanggal 27 November 1971 terbentuklah apa yang disebut ZOPFAN (Zone of Peace
Freedom And Neutrality) Pada tahun 1984 kesepakatan lebih maju yaitu
menyatakan wilayah ASEAN harus bebas nuklir. Konsepsi damai
yang ditawarkan Suharto berhasil menciptakan wilayah ASEAN paling stabil di
dunia, sepanjang 40 tahun dari kesepakatan itu tidak ada perang sama sekali di
wilayah ASEAN kecuali sisa -sisa perang AS dan konflik ideologi di negara
Indocina.
1.3
Kejatuhan
Soekarno dan kenaikan Soeharto terhadap campur tangan Amerika Serikat
Presiden John F Kennedy (JFK) merupakan satu-satunya
Presiden AS yang bersahabat dengan Presiden Sukarno. Berbeda dengan pendahulunya,
Dwight Eisenhower yang selalu berambisi menghilangkan Sukarno dari muka bumi
dengan berbagai cara. Di antaranya melalui intervensi AS secara terselubung
pada PRRI dan PERMESTA yang gagal total. JFK justru melakukan kebijakan luar
negeri yang cenderung mendukung langkah -langkah Sukarno.
Kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI tak lepas dari
pengaruh dukungan Kennedy. Namun tak disangka, pada akhirnya momentum masuknya
Irian Barat ke pangkuan RI menjadi jalan bagi JFK untuk menemui ajalnya secara
tragis. Pada hari yang naas tanggal 22 November 1963, Kennedy melakukan
kunjungan kerja ke Dallas Texas. Saat iring - iringan kendaraannya
melintas tepat di depan Texas Scholl Book Depository, dua peluru
menghantam leher dan kepalanya. Belakangan diketahui bahwa Lee Harvey
Oswald adalah orang yang melakukan penembakan terhadap Kennedy. Namun
dalam penyidikan, Lee menyangkal telah membunuh JFK. Belum sempat diajukan ke
pengadilan, Lee malah dibunuh oleh temannya sendiri, Jack Ruby.
Selanjutnya, Jack Ruby sendiri tewas di dalam tahanan karena penyakit yang
dideritanya. Dengan tewasnya Lee & Ruby, kematian Kennedy menjadi misteri
yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di AS. Merujuk pada artikel
yang ditulis oleh seorang wartawan AS, Lisa Pease, berjudul “JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe, dimana
tulisan ini disimpan di dalam Arsip Nasional di Washington DC, kita dapat
menemukan korelasi antara terbunuhnya JFK dengan runtuhnya kekuasaan presiden
pertama kita Ir.Sukarno. Keterlibatan (AS) dalam upaya penggulingan Sukarno
(Bung Karno) secara kotor dan berdarah. Peristiwa “Gerakan 30 September”
(Gestapu) banyak yang disembunyikan, dihilangkan dan diputarbalikkan oleh rezim
Orde Baru. Pembantaian terhadap sekutu-sekutu Bung Karno (BK) yang beraliran
kiri merupakan hasil konspirasi CIA - Suharto dibantu intelijen Inggris, Jepang
dan Jerman.
Namun, Suharto dan klannya berdalih. Gestapu adalah
penyerangan golongan kiri (menuduh PKI) ke kanan (Jenderal Ahmad Yani cs) yang
membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan golongan kiri sebagai hukuman
oleh golongan tengah (Suharto mengklaim posisinya di sini). Gestapu hanyalah
merupakan tahap pertama dari tiga tahap yang dibantu secara rahasia oleh juru
bicara dan pejabat AS yakni tahap pertama Gestapu “coup” sayap kiri gadungan
(Letkol Untung cs). Kedua, KAF Gestapuyakni tindakan balasan dengan membunuh
PKI secara missal dan ketiga pengikisan pendukung BK secara massif dan
progresif.
Alasan CIA menjatuhkan BK, bagaimana cara CIA dalam
mewujudkan keinginan tersebut dan bukti-buktinya. Satu alasan terkuat BK harus
disingkirkan oleh CIA karena BK bersahabat dekat dengan blok Cina dan Sovyet.
Sejak 1953, AS berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis di Indonesia,
yang diakui sebagai “penyebab langsung” yang merangsang BK mengakhiri sistem
parlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta
memasukkan “korp perwira” secara resmi dalam kehidupan politik (14 Maret 1957) sebuah blunder politik
BK. Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan CIA untuk mewujudkan ambisinya
tersebut yakni dengan menggandeng faksi militer kanan seperti Suharto,
Walandouw, Suwarto, Sarwo Edhie, Kemal Idris, Ibnu Sutowo, Basuki Rahmat,
Djuhartono, dll. Dan partai berhaluan kanan (Masyumi dan PSI) untuk semakin
mengecilkan pengaruh BK. Skenario CIA tersebut saya bagi dalam enam point. Pertama, CIA mendukung terjadinya pemberontakan
terhadap BK. Seperti bantuan senjata dan personil oleh CIA dengan mendukung
pemberontakan PRRI atau Permesta (Kol. Walandouw) di Sumatera Barat untuk
melawan BK tetapi dapat ditumpas (1957-1958). Kemudian peristiwa Lubis (1956)
dengan tokohnya Suwarto dan Kemal Idris serta PSI.
Kedua, Program Civic Mission. Setelah dirasa gagal dengan
serangkaian perlawanan, 1 Agustus 1958 AS memberikan bantuan militer ke
Indonesia mencapai $ 20 juta setahun. Kontrol terhadap AD ini dianggap penting,
karena AS menganggap hanya AD yang mampu mengimbangi kekuatan PKI. Lalu
didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkan dukungan penuh dari
Pentagon, RAND dan Ford Foundation. Jenderal Suwarto yang pernah dididik di AS
yang bisa memainkan peran penting dalam mengubah AD dari fungsi revolusioner
menjadi kontra revolusi ditunjuk sebagai penanggung jawab sekolah tersebut. Di
bawah Nasution dan Suwarto, SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis baru
yakni doktrin Perang Wilayah, yang memberi prioritas kepada kontra
pemberontakan sebagai peranan AD. Suharto masuk SESKOAD dengan pangkat Kolonel
(Oktober 1959) dan menjadi siswa yang sangat “berbakat”. Terbukti, dia
dilibatkan dalam penyusunan doktrin perang wilayah serta dalam kebijaksanaan AD
mengenai Civic Mission atau Civic
Action.
Di SESKOAD, perwira AD dan sipil yang pro PSI- juga diajari
bidang ekonomi dan administrasi kepemerintahan sehingga AD mulai bisa
bekerjasama dan bahkan berani menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan
AS serta negara asing lainnya di luar kesepakatan rezim BK. Pada tahun 1962,
Kemlu AS dibantu CIA mendirikan MILTAC
(Military Training Advisory Group = Kelompok Penasehat Latihan Militer)
di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic
Mission SESKOAD. Program ini sebenarnya merupakan penyusupan perwira
AD ke dalam semua bidang kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan.
Terbukti, huru-hara anti Cina diilhami AD terjadi di Jawa Barat tahun 1959
dengan Kolonel Kosasih yang membiayai komplotan bajingan-bajingan setempat
dengan tujuan merusak hubungan Indonesia dengan Cina. Kemudian disusul
huru-hara mahasiswa bulan Mei 1963 dan diulangi Januari 1966 di Bandung dan
Oktober 1965 di Jakarta.
Ketiga, adanya konflik internal di
tubuh AD. Menurut Harold Crouch, menjelang
1965 AD pecah menjadi dua; kelompok tengah yakni Yani cs yang bersikap
menentang BK tentang persatuan nasional karena PKI masuk di dalamnya. Kubu
kedua, AD kelompok kanan yakni Nasution dan Suharto (Basuki Rahmat, Sudirman dari
SESKOAD dkk) yang bersikap menentang kebijaksanaan Yani yang bernafaskan
Soekarnoisme (karena tidak setuju merebut kekuasaan BK). Adanya konflik para
Pati AD tersebut terindikasi dengan: Pertama, Januari 1965, Suharto mengadakan
rapat penyatuan sikap kelompok AD dengan mendesak Nasution supaya mengambil
sikap yang lebih menyesuaikan diri terhadap BK. Kedua, April 1965 diadakan
seminar di SESKOAD untuk mengusahakan satu doktrin strategis yang bersifat
kompromis yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali
tuntutan untuk memiliki peranan politik yang berdikari bebas.
Keempat, Program AS berkedok bantuan. Proses menjatuhkan BK juga bisa
dipahami dari bantuan AS ke Indonesia di tahun 1963-1965, melalui saluran
“komisi - komisi penjualan” atau sumbangan finansial untuk mendukung
kepentingan politik Suharto. Misalnya bantuan lunak AS tetap ada yang ditujukan
ke AD dan Brimob dan Polisi untuk adukekuatan dengan PKI yang sedang jayanya.
Juga bantuan 200 pesawat Aero Commanders kepada
AD bukan AU (Juli 1965), dimana komisi keagenan penjualan tersebut dipegang Bob
Hasan, sahabat Suharto. Keduanya sudah berkawan sejak Suharto sebagai Pangdam
Diponegoro. Secara khusus keduanya juga telah mendirikan dua buah perusahaan
pelayaran yang harus dioperasikan Divisi Diponegoro. Menjadi unik ketika
bantuan beralih dari bantuan AS terhadap Indonesia (sebagai Negara) berubah
menjadi bantuan untuk membiayai salah satu komponen negara yang tidak loyal
pada bangsanya sendiri.
Namun saat Lyndon Johnson jadi presiden AS, tepatnya
Desember 1964, bantuan AS tersebut dihentikan. Hal ini mengindikasikan AS turut
sengaja ambil bagian aktif untuk menggoyahkan ekonomi Indonesia dalam
minggu-minggu menjelang Gestapu, ketika harga beras naik 4x dan harga dollar
membumbung tinggi. Pada tahun fiskal 1965, New York Times menyatakan “semua
bantuan AS kepada Indonesia telah dihentikan, maka jumlah personil MAP (Military Assistance Program) di
Jakarta dalam kenyataannya justru telah meningkat mencapai taraf yang jauh
melebihi daripada yang telah diproyeksikan”.
Kelima, terjadinya peristiwa 1965
dan peranan Soeharto. Menjelang Agustus 1964, Suharto mulai mengadakan kontak
politik dengan Malaysia, Jepang, Inggris dan AS. Menurut Mrazek, kontak Suharto
itu merupakan penjajagan untuk berdamai dengan menarik pasukan AD Indonesia yg
terbaik (yang anti komunis) ke Jawa dengan sebelumnya mengirim satu batalyon
Diponegoro (yang telah disusupi PKI) ke Malaysia yang bisa dipahami sebagai
persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan pemerintahan. 30 September, 6
jenderal (Yani, Suprapto, Sutoyo, S. Parman, MT. Haryono, DI Panjaitan), 1
pamen (Tendean), 1 pama (KS Tubun) tewas oleh gerakan Letkol Untung cs.
Uniknya, tak seorangpun jenderal anti BK yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali
Nasution yang bersifat problematik; yakni menjelang 1961, CIA kecewa karena
Nasution yang diproyeksikan menyingkirkan BK justru berbalik mendukung BK, dan
dia mengkritik keterlibatan USA dalam Perang Vietnam. Sikap Suharto dengan
Nasution juga dingin karena kasus pemeriksaan Nasution terhadap korupsinya
Soeharto pada tahun 1959 saat menjadi Pangdam Diponegoro. “Menjadi semakin
aneh” ketika Suharto yang saat itu pegang komando pasukan terbesar
(Pangkostrad) justru “tidak masuk” dalam daftar penculikan.
Pernyataan Untung atas nama Gestapu yang melindungi BK dari
“Dewan Jenderal” yang didukung CIA yang akan merencanakan coup sebelum 5
Oktober 1965 dengan disiagakan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Padahal, pasukan tersebut diundang ke Jakarta dalam rangka memperingati
Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Menjadi aneh ketika Suharto kemudian membuat
pernyataan susulan untuk menumpas Gestapu dengan menyatakan loyalitas AD tetap
ke BK dan menuduh PKI ditambah unsur AURI yang membunuh 6 jenderal hanya karena
lokasi sumur Lubang Buaya dekat dengan Pangkalan Halim. Keberadaan BK, Oemar
Dhani (KSAU) dan DN Aidhit (Ketua PKI) yang diskenariokan sedemikian rupa
(mereka di Halim) menjadi senjata yang ampuh untuk mendelegitimasi image BK
agar menimbulkan kesan negatif adanya persekongkolan BK-AURI dan PKI. Peranan
Suharto begitu penting dalam skenario ini. Berlagak sebagai pembela status quo
tapi pada kenyataannya justru bergerak sendiri secara berencana untuk merebut
kekuasaan. Sebuah skenario yang kemudian ditiru oleh Jenderal Pinochet di Chili
(1970 - 1973) dan juga di Kamboja (1970).
Menarik karena baik pelaku Gestapu (Untung Cs) ataupun yang
menumpasnya adalah sama-sama dari Divisi Diponegoro (Yon 454), tempat di mana
Suharto dulu menjadi Pangdamnya. Semakin menarik karena fakta banyak pemimpin
Gestapu adalah lulusan pendidikan AS. Jadi ada kelanjutan/kontinuitas antara
hasil yang dicapai Gestapu (membunuh Yani cs), kemudian diteruskan oleh Suharto
atas nama penumpasan Gestapu, kemudian menyingkirkan pendukung BK yang tersisa.
Pembunuhan besar-besaran secara sistematis kemudian menyebar dan justru paling
dahsyat terjadi ketika Danjen RPKAD, Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke
Jateng dan Jatim kemudian balik lagi ke Jakarta. Orang sipil yang terlibat
dalam pembantaian massal telah dilatih di daerah setempat oleh AD atau
dikerahkan dari kelompok (SOKSI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori
oleh AD dan CIA), yang selama bertahun-tahun telah bekerjasama dengan AD mengenai
masalah -masalah politik apa yang disebut sebagai Civic Action.
Keenam, dukungan AS terhadap faksi Suharto. Bukti-bukti keterlibatan orang-orang
Suharto berkolaborasi dengan CIA, misalnya: Pertama, beberapa bulan sebelum
Gestapu, seorang utusan Suharto, Kolonel Walandouw (pelaku pemberontakan PRRI)
yang memiliki hubungan lama dengan CIA telah menghubungi pemerintah AS. Pada
bulan Mei 1965, komisi-komisi Lockheed (CIA) di Indonesia telah dialihkan
kepada kontrak baru dan perusahaan yang didirikan oleh agennya di Indonesia
atau perantara Lockheed yang telah lama dibina. Pengalihan ini karena
pertimbangan politis. Di samping Walandouw juga ada Dasaad dan Jenderal Alamsyah;
jenderal yang menyokong Suharto di era awal rezimnya karena Alamsyah menguasai
dana-dana besar khusus. Lockhedd-Dasaad-Alamsyah bergandeng dengan gerbong Suharto
yang baru lulus dari SESKOAD. Setidaknya ini juga direkomendasikan Kedutaan AS
di tahun 1966. Pada April 1965, perusahaan Amerika, Freeport Shulpur telah
mencapai suatu kesepakatan pendahuluan dengan para pejabat Indonesia, yang
nantinya akan menjadi suatu investasi sebesar $500 juta di bidang tembaga di
Papua Barat.
September 1965 dalam
waktu singkat, setelah minyak dunia melaporkan bahwa industri gas dan minyak
Indonesia semakin merosot tajam yang dapat menjurus ke krisis politik, maka presiden
ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertaminanya Jenderal Ibnu Sutowo
telah membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu
seharga hanya $ 50 ribu saja. Ironisnya, pembayaran pada 9 dan 21 September
1965 dilaporkan dalam Wall
Street Journal tanggal 9 dan 30 September, yaitu hari
terjadinya Gestapu. Hal yang sangat “ajaib”, ketika Negara dalamkondisi gawat.
Tapi ada proses deal bisnis antara AD (Pertamina) dengan AS.
Bukti-bukti keterlibatan CIA. Bukti-bukti keterlibatan CIA dalam
penggulingan BK, diantaranya: Pertama, kurang dari setahun setelah Gestapu dan
pertumpahan darah, dengan riang-gembira James Reston menulis tragedi
kemanusiaan besar tersebut dengan tema “Suatu Percikan Sinar di Asia“: “Washington bersikap hati-hati untuk tidak menyatakan suatu
pujian terhadap adanya perubahan yang…… di dalam negeri yang berpenduduk
terbanyak ke-6 di dunia, serta salah satu negara terkaya di dunia, akan tetapi
tidaklah berarti bahwa Washington sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun
dengan peristiwa tersebut“. Kedua, adanya kontak-kontak kekuatan anti
komunis Indonesia dengan seorang pejabat Washington yang berkedudukan sangat
tinggi sebelum dan selama masa pembantaian massal. Ketiga, adanya kesaksian
dari bekas pejabat CIA, Ralph McGehee yang dibenarkan oleh sensor selektif
bekas-bekas majikannya dalam CIA.
Strategi yang diciptakan CIA untuk menggoyang sebuah rezim,
dengan menciptakan situasi yang sebenarnya dan mencampurinya kemudian
menyebarluaskan distorsi skenario ke seluruh dunia melalui propaganda media
massanya yang kuat. Tipu muslihat CIA merupakan suatu rencana klasik yang
bersifat menggoyahkan situasi, yaitu berusaaha meyakinkan baik pihak kanan
ataupun kiri agar tidak bisa berharap mendapatkan perlindungan dari status quo
dan berusaha merangsang keduanya untuk melakukan provokasi yang kian massif
terhadap pihak lawan.
Gaya tipu dan polarisasi ini dilakukan dengan melempar
desas-desus. Hal ini dikuatkan oleh seorang pengamat politik, Saundhaussen.
Desas-desus itu diantaranya, dua minggu sebelum Gestapu (14 September 1965) pihak
AD diperingatkan bahwa ada suatu komplotan yang akan membunuh pemimpin-pemimpin
tentara dalam empat hari mendatang. Laporan kedua seperti itu telah dibahas di
markas besar AD 30 September 1965. Setahun sebelumnya, muncul juga dokumen yang
menuduh PKI sedang merencanakan suatu penyusupan ke AD untuk menggulingkan
“kaum Nasutionis” (diberitakan sebuah harian Malaysia dari Khoirul Saleh, pro -
AS). Juga desas-desus selama 1965 bahwa Cina daratan sedang menyelundupkan
senjata-senjata untuk PKI sebelum Gestapu (diberitakan oleh sebuah harian
Malaysia, mengutip dari sumber Bangkok, yang berdasar dari Hongkong).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar