Kesultanan
Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Lingga,
Kepulauan
Riau, Indonesia. Berdasarkan Tuhfat
al-Nafis, Sultan Lingga merupakan
pewaris dari Sultan Johor, dengan wilayah mencakup Kepulauan
Riau dan Johor.
Kerajaan ini diakui keberadaannya oleh Inggris
dan Belanda
setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824, yang
kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan
Johor setelah sebelumnya wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris
tahun 1818, namun kemudian diklaim oleh Belanda
sebagai wilayah kolonialisasinya.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah merupakan sultan pertama
kerajaan ini. Kemudian pada tahun 3 Februari
1911, kesultanan ini
dihapus oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam
perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang
sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini
bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar
lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh
besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji,
seorang pujangga dan sejarawan keturunan Bugis.
Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan
Malaka, dan kemudian Kesultanan
Johor. Pada 1811
Sultan Mahmud Syah III mangkatKetika itu, putra tertua, Tengku Hussain sedang
melangsungkan pernikahan di Pahang.[ Menurut adat
Istana, seseorang pangeran raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada
di samping Sultan ketika mangkat. Dalam sengketa yang timbul Britania
mendukung putra tertua, Husain, sedangkan Belanda
mendukung adik tirinya, Abdul Rahman. Traktat London pada 1824 membagi Kesultanan Johor
menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania sedangkan Riau-Lingga
berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman ditabalkan menjadi raja Lingga
dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah, dan berkedudukan di Daik, Kepulauan
Lingga.
Sultan Hussain yang didukung Britania pada
awalnya beribukota di Singapura, namun kemudian anaknya Sultan Ali menyerahkan
kekuasaan kepada Tumenggung Johor, yang kemudian mendirikan kesultanan Johor
modern.
Pada tanggal 7 Oktober
1857 pemerintah Hindia-Belanda
memakzulkan Sultan Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada
di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja dengan
gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah. Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang
oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman
II Muadzam Syah pada 1899.
Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan
Abdul Rahman II meninggalkan Pulau
Penyengat dan hijrah ke Singapura.
Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II in absentia 3 Februari
1911, dan resmi memerintah
langsung pada tahun 1913.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar