Jumat, 26 Desember 2014

TUHFAT AL-NAFIS




Tufat Al-Nafis Sebagai Rujukan Sejarah Bumi Melayu, (Hadiah Berharga Dari Raja Ali Haji)

Pada tahun 1903 bekas residen Riau A.L . van hasselt menghadiahkan sebuah manuskrip Tuhfat Al-Nafis kepada Koninklijk Instituut voor Taal,-Land-en Volkenkunde di Leiden. Manuskrip itu didapatkan sebagai hadiah ketika ia selesai bertugas sebagai residen pada tahun 1886, disalin dari simpanan yang dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al-Ahmadi sebagaimana tercatat pada naskah Cod. Or.69.
KITLV sebagai  catatan dari pemiliknya yang pertama yaitu van hasselt berbunyi dit handsschrift, getrouwe van een dergelijk / dat berust in het archieft van den jang dipertoean Moeda Riouw [1]. Inilah manuskrip paling pendek menurut Virginia Matheson terdiri dari 88.000 kata dan bagian pembukanya ditulis oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua.  Ciri-ciri lainnya dari manuskrip ini ialah ditandai dari kalimat-kalimatnya agak pendek, klisa kesustraannya pun tidak terlalu banyak, dan tidak dijejali petikan-petikan dari bahasa Arab. Menurut milik Sir Richard Winstedt diperolehnya dengan menyalin dari yang dipinjam oleh Tengku Fatimah binti Sultan Abu Bakar Johor. (  yang masa hidup Raja Ali Haji bergelar Tumenggung Bakar ). Naskah ini pernah diterbitkan dalam  “JMBRAS (Juornal of the Malayam of Royal Asiatic Society) X/2/1932, hlm. 300-320.
Menurut kepunyaan Sir William Maxwell yang kini tersimpan pada perpustakaan Royal Asia society di London didapatnya dengan disalin oleh orang Perak pada tahun 1890. Salah satu bagian di dalamnya, ersama dengan sumber lainnya seperti terjemahan padatan oleh R. O. Winstedt tersebut di atas, yaitu bagian peperangan Raja Haji dengan belanda pada tahun 1784, telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan dimuat di dalam JABRAS ( Journal of the Straits Branch of Royal Asiatic Society ) XXII, Desember 1890, hlm 173-224 [2]. Ciri-ciri manuskrip Winstedt dan Mawell ditandai dengan kalimat-kalimat yang sangat panjang, dijejali oleh klise dalam bahsa Arab. Menurut erhitungan, kedua manuskrif tadi terdiri dari lebih kurang 126.000 kata.
Satu lagi manuskrip “Tuhfat Al-Nafis” yang menurut beberapa peneliti memperlihatkan banyak sekali persamaan dengan dengan milik  sir Willaim Maxwell, tersimpan pada perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur Malaysia. Penelitian yang cerman tentang naskah ini sampai pada tinta yang dipakai untuk menulisnya yang menunjukkan pula persamaan dengan pembuatan tinta di Riau yaitu dari lender hitam sotong atau nos, kulit Manggis dan buah Seduduk. Penerbitan buku Tuhfat Al-Nafis, dalam buku latin dilakukan oleh Encik Munir bin Ali, diterbitkan oleh Malaysia Publications Ltd., Singapura, 1965. Akan tetapi pengalihan aksara dalam buku ini penuh dengan kesalahan yang parah karena salah menyalin baik nama-nama tempat, nama-nama orang dan istilah dari huruf Arab ke huruf Latin. Sebagai contoh ialah kesalahan menyalin nama-nama tempat seperti Pidie menjadi Pidiri, Kerukut  menjadi Kerugot, pulau Los menjadi Pulau Lusa, Pekan Lais menjadi Pekan Laas, Penghujam menjadi Pengujan atau Pengujan menjadi Pengujun, Laur atau  Lawur menjadi Lawar, Peringgit  menjadi Perengkat, Pangkil menjadi Pangkal, dan lain sebagainya . Padahal untuk mendapatkan sandingan yang tepat bagi nm-nama itu sebainya dicari peta-peta lama atau buku yang berisi  nama-nama  tempat tersebut seperti  kumpulan surat-surat     perjanjian berjudul  suat-surat perjanjian antara keSultanan  Riau  dengan pemerintahan VOC dan Hindia Belanda 174-1909. Arsip Nasional Republik Indonesia, Djakarta, 1970.
Namun parah dari buku itu  ialah kesenjangan penyalinan  mengubah teks asal. Perbuatan ini dapat memutuskan rantai informasi budaya yang sangat diperlukan apabila ada peneliti yang mendekati karya ini dari sudut Filologi, dan ilmu budaya lainnya. Sebagai contoh pada halaman 44, 45 pada kutipan ucapan Tengku Tengah, berbunyi:
“hai Raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupan keaipan beta anak beranak adik  beradik. Maka apabila bertutup keaipan beta semua maka redhalah beta menjadi hmba raja Bugi, jikalau disuruh menjadi penanak nasi raja sekalipun redhalah beta” [3].
Padahal dlam teks huruf Arab (Jawi) manuskrip dn edisi manapun bagian ini aslinya berbunyi:
hai raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkan kemaluan beta anak, beranak adik beradik. Maka apabila bertutup kemalua beta smua maka redhalah beta menjadi hama raja Bugis, jikalau hendak disuruh menjadi penanak nasi raja sekalipun redhalah beta” [4].
Barangkali sang penyalin mengartikan kata “ kemaluan” pada bahasa melayu di masa Raja Ali Haji sama dengan bahasa Melayu / Indonesia sekarang. Padahal baik diketahui bahwa kata “kemaluan” dalam pemakaian sekarang ini dapat digolongkan dalam neologisme, sedangkan kata “kemaluan” yang lama itu sebenarnya sudah punah  kecuali dalam karya-karya sastra lama saja. Sesangkan seorang belanda dapat memahami dengan baik kutipan ini tanpa mengubahnya. Elisa Netsher menerjemahkan dengan tepat kata “kemaluan” itu dengan “schande” seperti tertera dalam bukunya de Nederlanders in de Djohor en Siak  1602 tot 1865, Bruining & Wijt, Batavia, 1870, hlm 52. “ O Bugische vorst! Zoo gij medeweken om mij te verlossen van de schande, die op mij rust, dan wil ik uwe diensmaagd worden, zo geheel in uwe magt als de rijs, die gijk kaauwt, en in wat gij ook van mij moogt verlangan zal ik u gehoorzamen”[5].
Tuhfat Al-Nafis ialah karya yang mulai ditulis pada 22 Desember  1865 sebgaimana dinyatakan sendiri oleh pengarangnya Raja Ali Haji pada pembukaan Tuhfat Al-Nafis. “maka pada ketika itu adalah Hijrah nabi  S.A.W 1282 tahun dn pada 3 hari bulan sya’ban yang maha besar dan berangkitlah hatiku bahwa memperbuat kitab ini”[6]. Karya ini dapat dimasukkan dalam lingkungan karya modern disebabkan sebagai karya sejarah ada menyebutkan waktu, tempat dan sumber-sumber.
Pentingnya actor waktu, tempat dan sumer-sumber inilah yang menyebabkan Raja Ali Haji memberikan kritik kepada “sejarah dan Siarah Siak” yang meskipun dipakainya juga sebagai perbandingan memperlihatkan beberapa cacad untuk disebut sebagai karya yang sesuai dengan semangat zaman itu.  Kritik tersebut ditulisnya dalam salah satu versi Tuhfat Al-Nafis  sebagai berikut: “Syahdan kan tetapinya aku terjumpa dengan satu Sejarah dan Siarah siak itu daripada awal   hingga akhirnya tiada tahun dan tiada pula tawarikh  apabila bulannya dan harinya tiada sekali-sekali  aku bertemu dan karangannya pun banyak kurang sedap dibaca sebab sudah banyak berpindah-pindah agaknya dari pada tangan seorang kepada tangan seseorang serta menyuratnya kurang selidik pada enghasilkan bagi sah. Demikianlah sangkaku.”[7].
Bandingkanlah dengan pemanfaatan ketiga faktor ini dalam karya-karyanya sendiri. Umpamanya tentang kelahiran seorang tokoh dicatatnya “Syahdan apabila tetaplah yang Dipertuan Muda itu di dalam Riau   maka endapatkan yang Dipertuan Muda itu anak laki-laki maka dinamakan Raja Ahmad yaitu pada bulan Rajab, hari Khamis, waktu ‘Asar, maka masuklah pada petang Yaumul Mubarak yaitu Hijratun Nabi s.a.w. seribu seratus Sembilan tahun  tiga sanah”.  Apabila suatu kejadian tak dapat diketahui waktunya dengan tepat dinyatakanlah oleh sang pengarang dengan “ tiada dapat tarkhnya” atan “ akan tetapi dapat kira-kira barangkali tahun itu “ atau “ elum aku dapat akan tahunnya “. Sedangkan apabila benar-benar tak dapat teroka dinyatakan dengan “wallahu a’lam “ yaitu bahwa allah yang tahu atau seperti ini: “ Syahdan di dalam pada itu wallahu  a‘lam entahkan mana-mana yang benarnya tiada aku tahu serta aku mengharapkan Allah ta’ala mudah-mudahan mengampunkan daku daripada salah dan khilaf bebalku yang  tersebut olehku di dalam sejarah dan siarah ini” [8].
Tentang sumber-sumber yang dijadikan sandaran oleh Raja Ali Haji dalam menghasilkan Tihfat Al-Nafis ini, semuanya dinyatakan dalam buku tersebut.  Yang pertama dan paling uas adalah sejarah dan siarah pihak Riau, atau karangan Engku Busu. Kemudian menyusul sumber-sumber yang oleh Raja Ali Haji disebut  sejarah dan siarah dari sebelah timur  dan dari sebelah barat. Yaitu sejarah Pontianak, dan sejarah Siak. Semua itudiengkapi pula dengan sumber berasal dari Selangor dan Trengganu. Sumber perorangan yang paling cukup banyak dipakai penulis Tuhfat Al-Nafis antara lain, “ Siarah Haji  Kudi” dan “Tawarikh Tok Ngah”. Dari sumber Tok Ngah inilah Raja Ali Haji mendapat catatan tentang jumlah penduduk kerajaan Riau pada masa pemerintahan yang Dipertuan Muda  Riau IV Raja Haji fisabilillah. Sumber-sumber yang lebih semu dinyatakan dengan memakai frasa “kata orang tua” atau seperti itu, sedangkan untuk hal-hal yang meragukan  atau yang mengandung arti menafikkan ataupun untuk mengejek kebenarannya dinyatakan dengan memakai frasa “konon”. Sedangkan sedikit mengandung unsur legenda  atau cerita-cerita rakyat merembes juga masuk terutama pada bagian awal karya itu.
Kisah-kisah seperti si Badang, Peri, tau Perempuan Bunian Istri Sultan Ahmud Mangkat Dijulang, Perangkap Ikan di Linggi, Riwayat Cek Pong, asal Cek Nusamah yang ditukar dengan Tudung Saji Perak, crita-cerita Datuk Malaikat, Kisah Raja Api dll.  Merupakan contoh dari merembesnya cerita-cerita rakyat dalam Tuhfat Al-Nafis. Akan tetapi tradisi ini telah diempangkan dengan kuat dan diimbangi dengan  sejarah-sejarah yang lebih membumi dan terjamin akurasinya.
Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Haji telah dibuat menjadi tesis untuk pencapaian gelar doktor Ph.D.  tesis oleh Virginia Matheson dari Monash University pada tahun1973 berjudul “ Tuhfat Al-Nafis; a 19 th Century Malay History  Critically Examined” .  selanjutnya bersamadengan Barbara Watson  Andaya, Virginia Matheson menerjemahkan dan menyunting karya Raja Ali Haji itu sebagai The Precious Gift  (tuhfat Al-Nafis), diterbitkan oleh Ooxford University Press Kuala Lumpur tahun 1982. Sebelum itu telah dibuat beberapa risalah ilmiah tentang karya itu yang tidak / belum diterbitkan seperti “Geographical Nothes to the Tuhfat Al-Nafis” oleh Mohammad bin Anas dari University of Malaya pada tahun 1958, dan “The Arabic Influence in the Thaufat Al-Nafis’’ oleh Ismail bin Abdul Rahman dari University of Malaya pada tahun1959. Sedangkan menganai buku  Raja Ali Haji Silsailah Melayu dan Bugis, dan sekalian Raja-Rajanya tercatat nama-nama Mohd. Yusof bin Muhd. Nor dari University kebangsaan Malaysiayang menyusunnya sebagai tesis Master atau MA. Tesis pada tahun 1980 dan E. Beradow dari University of Sidney mempersiapkannya sebagai tesis doktornya.
Tuhfat Al-Nafis sebagai sebuah buku sejarah berisikanrentetan peristiwa yang mencakup lingkaran luas kawasan derah melayu dari sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, Tanah Semenanjung smpai ke pulau Kalimantan di sebelah Barat (dalam byang-bayang  menjejas hingga ke pulau Sulu dan Sulawesi) dipusatkan pada kawasn Kepulauan Riau selama abad ke 18 dn ke 19. Kegarangan Hegelian yang diperlihatkan oleh karya ini secara tersirat dapat ditandai dari lensa filsafat yang dipakai oleh penulisnya dalam meneropong peristiwa dan tokoh-tokohnya. Dari lensa itulah dipaparkan di depan pembaca contoh-contoh raja yang layak  dan tidak layak memerintah di negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dan yang adat hukumnya adalah islam pula.
 Bagian pembukanya  mengait sedikit seorang tokoh yang telah dipaparkan dalam Sejarah Melayu yaitu Sultan Mahmud Melaka yang disatu sisi menentang kekuasaan asing tapi di sisi lain masih memiliki hak-hak  istimewa yang luas sekali sehingga menyebabkan banyak tindakan tak dapat diterima jika dilihat dari kaca zaman pengarangnya. Namun permulaan karya ini sebenarnya adalah tokoh yang Diabolis lagi yaitu Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Pada bulan oktober 1699  telah terjadi sutu peristiwa besar yang menggoncang  dan meruntuhkan sendi-sendi  kebudayaan Melayu  dengan terjadinya pembunuhan terhadap Sultan Mahmud di Johor oleh Megat Seri Rama [9].   Adapun latarbelakang tindakan itu garis keturunan Melaka telah terputus.  Kejadian itu dimulai demitologisasi raja-raja Melayu karena setelah itu tidak ada lagi raja sakti seperti dinyatakan dari gelarnya “ bayang-bayang  Tuhan di Bumi’’ atau Zhilullahi Fil Ardh, yang tak dapat dipersalahkan perbuatan sewenang-wenangnya. Dengan kata lain sejak peristiwa itu seorang raja seyogyanya adalah seorang manusia yang memerintah sebuah kerajaan karena sebab-sebab khusus  dengan syarat-syarat tertentu berpedoman kepada petunjuk agama.
Tuah, sakti dan sempena yang mulai malap dan luntur itu masih hendak dipertahankan dengan munculnya tokoh Raja Kecil. Pada mulaya ia berhasil menghidupkan keyakinan lama itu, akan tetapi itu hanyalah merupakan roataan terakhir  organisme yang sudah mengalami sekarat. Para raja sudah memasuki zaman baru yang sama sekali sudah berubah corak.
Dinsti yang baru  bangkit di Riau harus diuji oleh saringan sejarah yang hanya mempunyai satu cara yaitu menggelinding maju. Alur dan alir sejarahlah yang menyebabkan terjadinya pembauran dengan masuknya tokoh-tokoh yang menggenapkan kisah itu. Orang-orang Bugis yang sepanjang abad selalu mengatungi  lautan itu mendapat tempat paling baik di Riau. Melalui kepiawaian berperang dan perkawinan dengan keluarga istana. Sebagai karya ini yang memihak, akan tetapi sebagai karya sejarah local pula banyak sekali keterangan yang dikirimkan oleh penulisnya ke masa depan dari zamannya.
Kerajaan yang dikelola oleh orang yang tidak lagi memerintah karena keturunannya  yang sakti dan penuh mengandung tuah itu merupakan sebuah minarki kerja. Ini diperlihatkan dari kegiatan mereka yang bertungkus lumus berhempas pulas memajukan perdagangan, meningkatkan komoditi dagang dengan menggalakkan perkebunan yang memiliki prospek cerah sat itu seperti perkebunan Gambir,  mengusahakan hasil laut seperti rumput laut dan teripang, serta semua yang harus dipertahankan bila perlu dengan peperangan. Dari sinilah munculnya tokoh-tokoh Daeng Kamboja dan saudara saudara sepupunya Raja Haji. Yang secara tak terelakkan terpaksa berperang melawan belanda pada tahun 1757 yang ertempat di Linggi dan Malaka serta daerah sekitarnya. Perang dengan Belanda  yang pertama ini engikutsertakan kekuatan gabungan, selain dari kawasan Riau juga sampai ke Selangor, Rembau, dan Batu Bahara di pesisir timur pulau Sumatera. Dalam  perang inlah tokoh legendaris Bugis Raja Haji mendapat luka di pahanya yang menurut sebuah sumer Belanda merupakan lambing perlawanannya dalam pertempuran yang lebih dahsyat selanjutnya.
Tokoh Raja Haji ini pula yang disanjung tinggi dalam Tuhfat Al-Nafis. Terutama karena perang yang meletus antara kerajaan Riau dengan Belanda tahun 1873-1874 di Riau dan di Malaka. Sebagai pengimbang dari pandangan setempat tentang tokoh ini perlu diperhatikan  pandangan  kolonial Belanda  tentangnya.  Dalam buku De Nederlanders in Djohor en Siak oleh E Netscher sangat penting terutama pada BAB V dan BAB IX pada halaman 87-111 dan halaman 166-202 [9].  Lagipula tentang diri Raja Haji ini telah dibuat sebuah doctoraalscriptie oleh Reinout Vos dari Rijksuniversiteit Utrecht pada bulan Februari 1985 berjudul “Koopman en Koning: de Betrekkingen tussen de VOC en het Sultanaat Johor 1778-1785” [10].
Memang setelah masa itu kerajaan Riau bukan lagi sebuah kerajaan de facto merdeka penuh, melainkan termasuk dalam negeri berpemerintahan sendiri Cuma terikat karena surat-surat perjanjian, yang mengakui Belanda hanya sebagai leenbeer saja tanpa mempersoalkan masalah kedaulatan sebagaimana dinyatakan oleh G.J. Resink dalam salah stu tulisannya.  Pada mulanya de jure kerajaan Riau yang telah terbelah dua dengan terjadinya perjanjian London 1824  dapat dipandang merdeka karena baik Belanda  maupun Inggris pernah menyerahkan kembali bulat-bulat itu kepada pengelolahnya. Sementara itu untuk melawan  arus sekularisme yang muncul menderas dengan bangkitnya Singapura, kubu spiritual di lapangan kebudayaan (termasuk agama  diperkuat dan terus ditingkatkan. Riau di tengah negeri-negri Melayu lainny sekan-akan ingin mencapai kedudukan Mesir di tengah negeri-negeri Arab lainnya.
Bagian Tuhfat Al-Nafis selanjutnya merupakan kronika yang sangat rinci  karena sudah memasuki masa kehidupan penulisnya. Mdel raja-raja islam dicontohkan dari eberapa orang tokoh yang terdiri dari sultan dan para raja muda yang pandai menegedalikan kemudi negeri itu dan kuat beribadat. Akan tetapi contoh tentang penguasa yang kurang baikjuga sebagai batu ujian dibayangkan dalam tsamarat al muhimmah dan kitab pengetahuan bahasa dinyatakan juga dalam kronika yang siratannya berisi panduan akhlak agar orang teresat di jalan yang salah.  

Notes:
[1].[2] Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 156-157
[3].[4].[5].[6]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 158-159
[7].[8]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 160.
[9].[10]. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 163-165.



Daftar Pustaka:
  1. Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press
  2. http/ sejarahbumimelayu.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar