Tufat
Al-Nafis Sebagai Rujukan Sejarah Bumi Melayu, (Hadiah Berharga Dari Raja Ali
Haji)
Pada tahun 1903
bekas residen Riau A.L . van hasselt menghadiahkan sebuah manuskrip Tuhfat Al-Nafis
kepada Koninklijk Instituut voor Taal,-Land-en Volkenkunde di Leiden. Manuskrip
itu didapatkan sebagai hadiah ketika ia selesai bertugas sebagai residen pada
tahun 1886, disalin dari simpanan yang dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al-Ahmadi
sebagaimana tercatat pada naskah Cod. Or.69.
KITLV sebagai catatan dari pemiliknya yang pertama yaitu van
hasselt berbunyi dit handsschrift, getrouwe van een dergelijk / dat berust in
het archieft van den jang dipertoean Moeda Riouw [1]. Inilah manuskrip paling
pendek menurut Virginia Matheson terdiri dari 88.000 kata dan bagian pembukanya
ditulis oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua.
Ciri-ciri lainnya dari manuskrip ini ialah ditandai dari
kalimat-kalimatnya agak pendek, klisa kesustraannya pun tidak terlalu banyak,
dan tidak dijejali petikan-petikan dari bahasa Arab. Menurut milik Sir Richard
Winstedt diperolehnya dengan menyalin dari yang dipinjam oleh Tengku Fatimah
binti Sultan Abu Bakar Johor. ( yang
masa hidup Raja Ali Haji bergelar Tumenggung Bakar ). Naskah ini pernah diterbitkan
dalam “JMBRAS (Juornal of the Malayam of
Royal Asiatic Society) X/2/1932, hlm. 300-320.
Menurut
kepunyaan Sir William Maxwell yang kini tersimpan pada perpustakaan Royal Asia
society di London didapatnya dengan disalin oleh orang Perak pada tahun 1890.
Salah satu bagian di dalamnya, ersama dengan sumber lainnya seperti terjemahan
padatan oleh R. O. Winstedt tersebut di atas, yaitu bagian peperangan Raja Haji
dengan belanda pada tahun 1784, telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dan
dimuat di dalam JABRAS ( Journal of the Straits Branch of Royal Asiatic Society
) XXII, Desember 1890, hlm 173-224 [2]. Ciri-ciri manuskrip Winstedt dan Mawell
ditandai dengan kalimat-kalimat yang sangat panjang, dijejali oleh klise dalam
bahsa Arab. Menurut erhitungan, kedua manuskrif tadi terdiri dari lebih kurang
126.000 kata.
Satu lagi
manuskrip “Tuhfat Al-Nafis” yang menurut beberapa peneliti memperlihatkan
banyak sekali persamaan dengan dengan milik
sir Willaim Maxwell, tersimpan pada perpustakaan Dewan Bahasa dan
Pustaka Kuala Lumpur Malaysia. Penelitian yang cerman tentang naskah ini sampai
pada tinta yang dipakai untuk menulisnya yang menunjukkan pula persamaan dengan
pembuatan tinta di Riau yaitu dari lender hitam sotong atau nos, kulit Manggis dan
buah Seduduk. Penerbitan buku Tuhfat Al-Nafis, dalam buku latin dilakukan oleh
Encik Munir bin Ali, diterbitkan oleh Malaysia Publications Ltd., Singapura,
1965. Akan tetapi pengalihan aksara dalam buku ini penuh dengan kesalahan yang
parah karena salah menyalin baik nama-nama tempat, nama-nama orang dan istilah
dari huruf Arab ke huruf Latin. Sebagai contoh ialah kesalahan menyalin
nama-nama tempat seperti Pidie menjadi Pidiri, Kerukut menjadi Kerugot, pulau Los menjadi Pulau
Lusa, Pekan Lais menjadi Pekan Laas, Penghujam menjadi Pengujan atau Pengujan
menjadi Pengujun, Laur atau Lawur
menjadi Lawar, Peringgit menjadi
Perengkat, Pangkil menjadi Pangkal, dan lain sebagainya . Padahal untuk
mendapatkan sandingan yang tepat bagi nm-nama itu sebainya dicari peta-peta lama
atau buku yang berisi nama-nama tempat tersebut seperti kumpulan surat-surat perjanjian berjudul suat-surat perjanjian antara keSultanan Riau
dengan pemerintahan VOC dan Hindia Belanda 174-1909. Arsip Nasional
Republik Indonesia, Djakarta, 1970.
Namun parah dari
buku itu ialah kesenjangan
penyalinan mengubah teks asal. Perbuatan
ini dapat memutuskan rantai informasi budaya yang sangat diperlukan apabila ada
peneliti yang mendekati karya ini dari sudut Filologi, dan ilmu budaya lainnya.
Sebagai contoh pada halaman 44, 45 pada kutipan ucapan Tengku Tengah, berbunyi:
“hai
Raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupan keaipan beta anak
beranak adik beradik. Maka apabila bertutup
keaipan beta semua maka redhalah beta menjadi hmba raja Bugi, jikalau disuruh
menjadi penanak nasi raja sekalipun redhalah beta” [3].
Padahal dlam
teks huruf Arab (Jawi) manuskrip dn edisi manapun bagian ini aslinya berbunyi:
“hai raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba
berani, tutupkan kemaluan beta anak, beranak adik beradik. Maka apabila bertutup kemalua beta smua maka
redhalah beta menjadi hama raja Bugis, jikalau hendak disuruh menjadi penanak
nasi raja sekalipun redhalah beta” [4].
Barangkali sang
penyalin mengartikan kata “ kemaluan” pada bahasa melayu di masa Raja Ali Haji
sama dengan bahasa Melayu / Indonesia sekarang. Padahal baik diketahui bahwa
kata “kemaluan” dalam pemakaian sekarang ini dapat digolongkan dalam
neologisme, sedangkan kata “kemaluan” yang lama itu sebenarnya sudah punah kecuali dalam karya-karya sastra lama saja.
Sesangkan seorang belanda dapat memahami dengan baik kutipan ini tanpa
mengubahnya. Elisa Netsher menerjemahkan dengan tepat kata “kemaluan” itu
dengan “schande” seperti tertera dalam bukunya de Nederlanders in de Djohor en
Siak
1602 tot 1865, Bruining & Wijt, Batavia, 1870, hlm 52. “ O
Bugische vorst! Zoo gij medeweken om mij te verlossen van de schande, die op
mij rust, dan wil ik uwe diensmaagd worden, zo geheel in uwe magt als de rijs,
die gijk kaauwt, en in wat gij ook van mij moogt verlangan zal ik u
gehoorzamen”[5].
Tuhfat Al-Nafis
ialah karya yang mulai ditulis pada 22 Desember
1865 sebgaimana dinyatakan sendiri oleh pengarangnya Raja Ali Haji pada
pembukaan Tuhfat Al-Nafis. “maka pada ketika itu adalah Hijrah nabi S.A.W 1282 tahun dn pada 3 hari bulan sya’ban
yang maha besar dan berangkitlah hatiku bahwa memperbuat kitab ini”[6]. Karya
ini dapat dimasukkan dalam lingkungan karya modern disebabkan sebagai karya
sejarah ada menyebutkan waktu, tempat dan sumber-sumber.
Pentingnya actor
waktu, tempat dan sumer-sumber inilah yang menyebabkan Raja Ali Haji memberikan
kritik kepada “sejarah dan Siarah Siak” yang meskipun dipakainya juga sebagai
perbandingan memperlihatkan beberapa cacad untuk disebut sebagai karya yang
sesuai dengan semangat zaman itu. Kritik
tersebut ditulisnya dalam salah satu versi Tuhfat Al-Nafis sebagai berikut: “Syahdan kan tetapinya aku
terjumpa dengan satu Sejarah dan Siarah siak itu daripada awal hingga akhirnya tiada tahun dan tiada pula
tawarikh apabila bulannya dan harinya
tiada sekali-sekali aku bertemu dan
karangannya pun banyak kurang sedap dibaca sebab sudah banyak berpindah-pindah
agaknya dari pada tangan seorang kepada tangan seseorang serta menyuratnya
kurang selidik pada enghasilkan bagi sah. Demikianlah sangkaku.”[7].
Bandingkanlah
dengan pemanfaatan ketiga faktor ini dalam karya-karyanya sendiri. Umpamanya
tentang kelahiran seorang tokoh dicatatnya “Syahdan apabila tetaplah yang
Dipertuan Muda itu di dalam Riau maka
endapatkan yang Dipertuan Muda itu anak laki-laki maka dinamakan Raja Ahmad
yaitu pada bulan Rajab, hari Khamis, waktu ‘Asar, maka masuklah pada petang
Yaumul Mubarak yaitu Hijratun Nabi s.a.w. seribu seratus Sembilan tahun tiga sanah”.
Apabila suatu kejadian tak dapat diketahui waktunya dengan tepat
dinyatakanlah oleh sang pengarang dengan “ tiada dapat tarkhnya” atan “ akan
tetapi dapat kira-kira barangkali tahun itu “ atau “ elum aku dapat akan
tahunnya “. Sedangkan apabila benar-benar tak dapat teroka dinyatakan dengan “wallahu
a’lam “ yaitu bahwa allah yang tahu atau seperti ini: “ Syahdan di dalam pada
itu wallahu a‘lam entahkan mana-mana
yang benarnya tiada aku tahu serta aku mengharapkan Allah ta’ala mudah-mudahan
mengampunkan daku daripada salah dan khilaf bebalku yang tersebut olehku di dalam sejarah dan siarah
ini” [8].
Tentang
sumber-sumber yang dijadikan sandaran oleh Raja Ali Haji dalam menghasilkan
Tihfat Al-Nafis ini, semuanya dinyatakan dalam buku tersebut. Yang pertama dan paling uas adalah sejarah
dan siarah pihak Riau, atau karangan Engku Busu. Kemudian menyusul
sumber-sumber yang oleh Raja Ali Haji disebut
sejarah dan siarah dari sebelah timur
dan dari sebelah barat. Yaitu sejarah Pontianak, dan sejarah Siak. Semua
itudiengkapi pula dengan sumber berasal dari Selangor dan Trengganu. Sumber
perorangan yang paling cukup banyak dipakai penulis Tuhfat Al-Nafis antara
lain, “ Siarah Haji Kudi” dan “Tawarikh
Tok Ngah”. Dari sumber Tok Ngah inilah Raja Ali Haji mendapat catatan tentang
jumlah penduduk kerajaan Riau pada masa pemerintahan yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji fisabilillah. Sumber-sumber
yang lebih semu dinyatakan dengan memakai frasa “kata orang tua” atau seperti
itu, sedangkan untuk hal-hal yang meragukan
atau yang mengandung arti menafikkan ataupun untuk mengejek kebenarannya
dinyatakan dengan memakai frasa “konon”. Sedangkan sedikit mengandung unsur
legenda atau cerita-cerita rakyat
merembes juga masuk terutama pada bagian awal karya itu.
Kisah-kisah
seperti si Badang, Peri, tau Perempuan Bunian Istri Sultan Ahmud Mangkat
Dijulang, Perangkap Ikan di Linggi, Riwayat Cek Pong, asal Cek Nusamah yang
ditukar dengan Tudung Saji Perak, crita-cerita Datuk Malaikat, Kisah Raja Api
dll. Merupakan contoh dari merembesnya
cerita-cerita rakyat dalam Tuhfat Al-Nafis. Akan tetapi tradisi ini telah
diempangkan dengan kuat dan diimbangi dengan
sejarah-sejarah yang lebih membumi dan terjamin akurasinya.
Tuhfat Al-Nafis
karya Raja Ali Haji telah dibuat menjadi tesis untuk pencapaian gelar doktor
Ph.D. tesis oleh Virginia Matheson dari
Monash University pada tahun1973 berjudul “ Tuhfat Al-Nafis; a 19 th Century
Malay History Critically Examined”
. selanjutnya bersamadengan Barbara
Watson Andaya, Virginia Matheson
menerjemahkan dan menyunting karya Raja Ali Haji itu sebagai The Precious
Gift (tuhfat Al-Nafis), diterbitkan oleh
Ooxford University Press Kuala Lumpur tahun 1982. Sebelum itu telah dibuat
beberapa risalah ilmiah tentang karya itu yang tidak / belum diterbitkan
seperti “Geographical Nothes to the Tuhfat Al-Nafis” oleh Mohammad bin Anas
dari University of Malaya pada tahun 1958, dan “The Arabic Influence in the
Thaufat Al-Nafis’’ oleh Ismail bin Abdul Rahman dari University of Malaya pada
tahun1959. Sedangkan menganai buku Raja
Ali Haji Silsailah Melayu dan Bugis, dan sekalian Raja-Rajanya tercatat
nama-nama Mohd. Yusof bin Muhd. Nor dari University kebangsaan Malaysiayang
menyusunnya sebagai tesis Master atau MA. Tesis pada tahun 1980 dan E. Beradow
dari University of Sidney mempersiapkannya sebagai tesis doktornya.
Tuhfat Al-Nafis
sebagai sebuah buku sejarah berisikanrentetan peristiwa yang mencakup lingkaran
luas kawasan derah melayu dari sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, Tanah
Semenanjung smpai ke pulau Kalimantan di sebelah Barat (dalam byang-bayang menjejas hingga ke pulau Sulu dan Sulawesi)
dipusatkan pada kawasn Kepulauan Riau selama abad ke 18 dn ke 19. Kegarangan
Hegelian yang diperlihatkan oleh karya ini secara tersirat dapat ditandai dari
lensa filsafat yang dipakai oleh penulisnya dalam meneropong peristiwa dan
tokoh-tokohnya. Dari lensa itulah dipaparkan di depan pembaca contoh-contoh
raja yang layak dan tidak layak
memerintah di negeri-negeri yang penduduknya beragama islam dan yang adat
hukumnya adalah islam pula.
Bagian pembukanya mengait sedikit seorang tokoh yang telah
dipaparkan dalam Sejarah Melayu yaitu Sultan Mahmud Melaka yang disatu sisi
menentang kekuasaan asing tapi di sisi lain masih memiliki hak-hak istimewa yang luas sekali sehingga
menyebabkan banyak tindakan tak dapat diterima jika dilihat dari kaca zaman
pengarangnya. Namun permulaan karya ini sebenarnya adalah tokoh yang Diabolis
lagi yaitu Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Pada bulan
oktober 1699 telah terjadi sutu
peristiwa besar yang menggoncang dan
meruntuhkan sendi-sendi kebudayaan
Melayu dengan terjadinya pembunuhan
terhadap Sultan Mahmud di Johor oleh Megat Seri Rama [9]. Adapun latarbelakang tindakan itu garis
keturunan Melaka telah terputus.
Kejadian itu dimulai demitologisasi raja-raja Melayu karena setelah itu
tidak ada lagi raja sakti seperti dinyatakan dari gelarnya “ bayang-bayang Tuhan di Bumi’’ atau Zhilullahi Fil Ardh,
yang tak dapat dipersalahkan perbuatan sewenang-wenangnya. Dengan kata lain sejak
peristiwa itu seorang raja seyogyanya adalah seorang manusia yang memerintah
sebuah kerajaan karena sebab-sebab khusus
dengan syarat-syarat tertentu berpedoman kepada petunjuk agama.
Tuah, sakti dan
sempena yang mulai malap dan luntur itu masih hendak dipertahankan dengan
munculnya tokoh Raja Kecil. Pada mulaya ia berhasil menghidupkan keyakinan lama
itu, akan tetapi itu hanyalah merupakan roataan terakhir organisme yang sudah mengalami sekarat. Para
raja sudah memasuki zaman baru yang sama sekali sudah berubah corak.
Dinsti yang
baru bangkit di Riau harus diuji oleh
saringan sejarah yang hanya mempunyai satu cara yaitu menggelinding maju. Alur
dan alir sejarahlah yang menyebabkan terjadinya pembauran dengan masuknya
tokoh-tokoh yang menggenapkan kisah itu. Orang-orang Bugis yang sepanjang abad
selalu mengatungi lautan itu mendapat
tempat paling baik di Riau. Melalui kepiawaian berperang dan perkawinan dengan
keluarga istana. Sebagai karya ini yang memihak, akan tetapi sebagai karya
sejarah local pula banyak sekali keterangan yang dikirimkan oleh penulisnya ke
masa depan dari zamannya.
Kerajaan yang
dikelola oleh orang yang tidak lagi memerintah karena keturunannya yang sakti dan penuh mengandung tuah itu
merupakan sebuah minarki kerja. Ini diperlihatkan dari kegiatan mereka yang
bertungkus lumus berhempas pulas memajukan perdagangan, meningkatkan komoditi
dagang dengan menggalakkan perkebunan yang memiliki prospek cerah sat itu
seperti perkebunan Gambir, mengusahakan
hasil laut seperti rumput laut dan teripang, serta semua yang harus dipertahankan
bila perlu dengan peperangan. Dari sinilah munculnya tokoh-tokoh Daeng Kamboja
dan saudara saudara sepupunya Raja Haji. Yang secara tak terelakkan terpaksa
berperang melawan belanda pada tahun 1757 yang ertempat di Linggi dan Malaka
serta daerah sekitarnya. Perang dengan Belanda
yang pertama ini engikutsertakan kekuatan gabungan, selain dari kawasan
Riau juga sampai ke Selangor, Rembau, dan Batu Bahara di pesisir timur pulau
Sumatera. Dalam perang inlah tokoh
legendaris Bugis Raja Haji mendapat luka di pahanya yang menurut sebuah sumer
Belanda merupakan lambing perlawanannya dalam pertempuran yang lebih dahsyat
selanjutnya.
Tokoh Raja Haji
ini pula yang disanjung tinggi dalam Tuhfat Al-Nafis. Terutama karena perang
yang meletus antara kerajaan Riau dengan Belanda tahun 1873-1874 di Riau dan di
Malaka. Sebagai pengimbang dari pandangan setempat tentang tokoh ini perlu
diperhatikan pandangan kolonial Belanda tentangnya.
Dalam buku De Nederlanders in Djohor en Siak oleh E Netscher sangat
penting terutama pada BAB V dan BAB IX pada halaman 87-111 dan halaman 166-202
[9]. Lagipula tentang diri Raja Haji ini
telah dibuat sebuah doctoraalscriptie oleh Reinout Vos dari Rijksuniversiteit
Utrecht pada bulan Februari 1985 berjudul “Koopman en Koning: de Betrekkingen
tussen de VOC en het Sultanaat Johor 1778-1785” [10].
Memang setelah
masa itu kerajaan Riau bukan lagi sebuah kerajaan de facto merdeka penuh,
melainkan termasuk dalam negeri berpemerintahan sendiri Cuma terikat karena
surat-surat perjanjian, yang mengakui Belanda hanya sebagai leenbeer saja tanpa
mempersoalkan masalah kedaulatan sebagaimana dinyatakan oleh G.J. Resink dalam
salah stu tulisannya. Pada mulanya de
jure kerajaan Riau yang telah terbelah dua dengan terjadinya perjanjian London
1824 dapat dipandang merdeka karena baik
Belanda maupun Inggris pernah
menyerahkan kembali bulat-bulat itu kepada pengelolahnya. Sementara itu untuk
melawan arus sekularisme yang muncul
menderas dengan bangkitnya Singapura, kubu spiritual di lapangan kebudayaan
(termasuk agama diperkuat dan terus
ditingkatkan. Riau di tengah negeri-negri Melayu lainny sekan-akan ingin
mencapai kedudukan Mesir di tengah negeri-negeri Arab lainnya.
Bagian Tuhfat
Al-Nafis selanjutnya merupakan kronika yang sangat rinci karena sudah memasuki masa kehidupan
penulisnya. Mdel raja-raja islam dicontohkan dari eberapa orang tokoh yang
terdiri dari sultan dan para raja muda yang pandai menegedalikan kemudi negeri
itu dan kuat beribadat. Akan tetapi contoh tentang penguasa yang kurang baikjuga
sebagai batu ujian dibayangkan dalam tsamarat al muhimmah dan kitab pengetahuan
bahasa dinyatakan juga dalam kronika yang siratannya berisi panduan akhlak agar
orang teresat di jalan yang salah.
Notes:
[1].[2] Junus, Hasan. 2002. Raja
Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 156-157
[3].[4].[5].[6]. Junus, Hasan.
2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal:
158-159
[7].[8]. Junus, Hasan. 2002. Raja
Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 160.
[9].[10]. Junus, Hasan. 2002. Raja
Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press hal: 163-165.
Daftar Pustaka:
- Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru. Unri Press
- http/ sejarahbumimelayu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar