Kamis, 20 November 2014

antropologi budaya



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Para pakar antropologi budaya Indoneisa umumnya sependapat bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta buddhayah.Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah.Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa.
Pengertian tentang etnisitas karenanya tidak lagi ditekankan pada isi kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial.Kajian mengenai kelompok etnik menurut Barth juga bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan primordialitas, yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia.Dengan pengertian yang demikian maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris tidak bisa dihilangkan dari identitas suatu kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat primordial tadi, yang ia akui dan nyatakan dalam interaksi publik.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari manusia, budaya dan etnik?
2.      Bagaimanakah hubungan manusia dan kebudayaan?
3.      Bagaimanakah etnis menjadi identitas budaya?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Agar pembaca dapat memahami pengertian dari manusia, budaya dan etnik
2.      Agar pembaca mampu memahami hubungan manusia dan kebudayaan
3.      Agar pembaca dapat mengetahui etnis menjadi identitas budaya















BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Manusia Budaya dan Etnik
            2.1.1 Pengertian Manusia
                        Manusia pernah didefinisikan sebagai a tool-using animal, binatang yang menggunakan alat.Seperti bentuk-bentuk kehidupan lainnya, manusiapun tunduk pada faktor-faktor geografis dan iklim. Namun ia berbeda dengan binatang yang lebih rendah tarafnya dalam hal kebebasan dan kreatifitasnya untuk berespon terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan alamiah. Manusia tak pernah tergantung dan tunduk sepenuhnya pada lingkungan alamiah tertentu.Manusia adalah pencipta lingkungannya.Manusia juga tergantung pada alam, segala sesuatu yang dimilikinya seperti makanan alat atau sarana penerangan, pakaian, peralatan, dan sarana transportasi yang dipergunakannya memang berasal dari alam.Namun demikian kebudayaan manusia bukanlah akibat mutlak dari ketentuan alam.Sejak zaman purba manusia telah menghasilkan beragam karya seni yang menakjubkan seperti lukisan didinding gua, ukiran, tari-tarian, lagu-lagu tradisional.
                        Manusia ataupun orang dapat diartikan berbeda-beda, dari segi biologis, rohani, dan kebudayaan. Secara biologis manusia diklasifikasikan sebagai homo sapiens yang artinya manusia yang tahu. Dalam hal kerohanian manusia dijelaskan menggunakan konsep iiwa yang bervariasi dimana dalam agama disimpulkan dalam hubungannnya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup lainnya. Dalam antropologi kebudayaan manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan tekhnologi yang dipakai dan yang terutama adalah kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan atau saling membutuhkan.
            2.1.2 Pengertian Budaya
                        Para pakar antropologi budaya Indoneisa umumnya sependapat bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta buddhayah.Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.Namun ada pula anggapan bahwa kata budaya berasal dari kata majemuk budidaya yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang berupa cipta, karsa dan rasa.
            2.1.3 Pengertian Etnik
                        Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah.Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa.
                        Dalam mengkritisi etnisitas, keanggotaan etnik yang menekankan hubungan darah menurut keterangan diatas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan.Keniscayaan tersebut meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang Minang. Etnik dalam perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di lanjutkan.
2.2       Manusia dan Kebudayaan
            2.2.1 Dialektika Manusia Kebudayaan
                        Kebudayaan adalah suatu fenomenal universal.Setiap masyarakat bangsa didunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat bangsa yang satu kemasyarakat lainnya.Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku, bangsa, dan ras.Orang bisa mendefinisikan manusia dengan caranya masing-masing.Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia sendiri adalah produk kebudayaannya.Melalui eksternalisasi manusia menciptakan kebudayaan.Sedangkan melalui internalisasi, kebudayaan membentuk manusia.Manusia dan kebudayaan memang saling mengandaikan.Adanya manusia mengandaikan adanya kebudayaan.Begitu pula sebaliknya, adanya kebudayaan mengandaikan adanya manusia. Tanpa manusia tak kan ada kebudayaan.
            2.2.2 Kebudayaan sebagai Kekhasan Manusia
                        Kebudayaan pernah didefinisikan sebagai a design for living, suatu design kehidupan dan sebagai seperangkat mekanisme control rencana, resep, peraturan, konstruksi, apa yang oleh para ahli computer di sebut program untuk mengatur perilaku. Kebudayaan adalah cara khas manusia untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Yang khas pada kebudayaan  ialah bahwa design kehidupan itu diperoleh melalui proses belajar. Perkembangan manusia tergantung pada sosialisasi, yakni suatu proses interaksi terus-menerus yang memungkinkan manuisa memperoleh identitas diri serta keterampilan-keterampilan sosial. Melalui sosialisasi manusia memperoleh kebudayaan masyarakat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Di dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya itulah manusia belajar tentang suatu design kehidupan yang khas. Contohnya jika seekor anak anjing di besarkan antara kucing0kucing ia akan tetap menggonggong, menyalak dan mengibas-ngibaskan ekornya, dia tidak akan mengeong seperti kucing. Manusia tidak mewarisi gen-gen keahlian tertentu. Tidak ada orang yang mewarisi gen untuk berbahasa Inggris lebih baik daripada berbahasa China.
                        Insting-insting yang membuat seekor kijang berlari atau seekor anjing yang menggonggong di transmisikan dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya melalui gen-gen. kemampuan manusia untuk memperoleh kebudayaan juga diwariskan.Namun kebudayaan itu sendiri diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya misalnya seperti ceritera dan permainan anak-anak melalui puisi, ritus-ritus keagamaan, lelucon, bacaan.
            2.2.3 Hakikat Kebudayaan
                        Kebudayaan adalah dunia khas manusia, kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan. Sebagai makhluk historis hidup manusia ditandai dengan upaya yang tiada henti-hentinya untuk menyempurnakan dirinya.Upaya ini berlangsung dalam konteks sosial tertentu, dalam jaringan interaksi yang kompleks dengan sesamanya, dengan bermacam ragam pranata sosial yang menentukan arah dan gerak hidup masyarakat, dan dalam relasi fundamentalnya dengan alam atas atau dunia ilahi.Karna manusia tak bisa hidup sendirian, maka masyarakat merupakan dasar bagi segala aktivitas yang dilakukannya.
                        Pengaruh-pengaruh utama yang membentuk dan mengubah kebudayaan manusia itu sama dengan pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu spesies hewan. Pengaruh-pengaruh termaksud adalah, pertama, ras, atau faktor genetic, kedua, lingkungan alam atau faktor geografis, dan ketiga okupasi atau faktor ekonmis.Namun ketiga faktor ini tidak memadai untuk menjelaskan kekhasan kebudayaan manusia.Perlu ditambahkan faktor keempat, yakni pikiran atau faktor psikologis, yang merupakan kekhasasn manusia yang membebaskan manusia dari ketergantungan buta pada lingkungan alam.
            2.2.4 Unsur-unsur Kebudayaan
            a. Kepercayaan
                        Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan kommon, sensi, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu keombinasi antara semua hal tersebut. Kepercyaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial.Orang barat, misalnya, percaya bahwa waktu tak dapat berbalik atau berulang.Mereka mempunyai persepsi waktu linier yakni waktu bergerak lurus kedepan.Pada zaman kuno waktu dipandang sebagai suatu gerak siklis, melingkar.Waktu berputar mengikuti suatu lingkaran.
            b. Nilai
                        Nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang harus dimiliki yang diinginkan, dan layak dihormati.Meskipun nilai-nilai jarang di taati oleh setiap anggota masyarakat.Namun nilai lah yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat di pandang yang paling berbaharga. Dengan perkataan lain, nilai itu berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat.
            c. Norma dan sanksi
                        Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang harus tidak dilakukan oleh manusia. Norma mengungkap bagaiman manusia seharusnya berprilaku dan bertindak. Norma adalah standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia lahir dan kematian, bercinta dan berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus dipakai, kapan dan dimana orang bisa bercanda melucu dan sebagainya.
                        Ada norma-norma yang disebut mores atau tata kelakuan.Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidupdari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya.Contoh mores kebudayaan kita menentang kanibalisme. Adapula norma yang disebut folkways atau kebiasaan setiap pagi orang membersihkan, menggosok gigi, lebih sering memakan manisan setelah makan dari pada sebelum makan.Jika norma-norma adalah garis pedoman, sensi-sensi merupan kekuatan penggeraknya. Sanksi adalah ganjaran ataupun hukuma yang memungkinkan orang mematuhi norma. Sanksi-sanksi itu bsa bersifat formal bisa juga bersifat informal. Pelanggaran terhadap norma mendatangkan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa sanksi norma-norma kehilangan kekuatan.
            d. Tekhnologi
                        Tekhnologi adalah cara kerja manusia dengan teknologi manusia secara intensif berhubungan dengan alam dan membangun kebudayaan dunia sekunder yang berbeda dengan dunia primer (alam). Dewasa ini teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap manusia, tidak hanya terdapat cara hidup manusia tetapi juga menentukan teknologi berikutnya.
            e. Simbol
                        Simbol adalah sesuatu yang didapat mengekpresikan atau memberikan makna sebuah salib atau sesuatu patung budha, sesuatu konstitusi, suatu bendera, banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kulturak dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat simbolik.Simbol seperti bendera dan salib menampakkan kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma kultural dan mengandung banyak arti.Simbol bisa berupa barang sehari-hari, barang berguna yang sudah memperoleh arti khusus.
            f. Bahasa
                        Bahasa adalah gudang kebudayaan (Harroff,1962).Bahasa merupakan sarana utama untuk menangkal, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan.arti-arti ini kepada generasi baru.Kemampuan untuk melakukan komunikasi, simbolik khususnya melalui bahasa, membedakan manusia dari hewan.
            g. Kesenian
                        Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik.Melalui karya-karya seni seperti seni sastra, musik, tari, lukis dan drama, manusia mengekspresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita, serta perasaan-perasaanya. Karya sastra ini merupakan media komunikasi melalui suatu karya seni, seorang seniman mengkomunikasikan suatu permasalahan ataupun pengalaman batin kepada orang lain tidak hanya itu melalui karya seni, sang artis pun dapat mengkomunikasikan kebenaran kepada orang lain. Dengan demikian, seni pun memanusiawikan diri dan sesamanya.
            2.2.5 Fungsi Kebudayaan
            Sebagai suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok, contohnya: norma. Norma adalah kebiasaan yang dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tersebut sehingga tingkah laku masing-masing bisa diatur.Norma sifatnya tidak tertulis dan berasal dari masyarakat.Makan apabila dilanggar, sangsinya berupa cemoohan dari masyarakat.SebagaiWadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya, contoh: kesenian. Juga sebagai melindungi diri kepada alam.Hasil karya masyarakat melahirkan tekhnologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Berguna untuk pembimbing kehidupan manusia.Dan juga sebagai pembeda antar manusia dengan makhluk hidup lainnya.
2.3 Etnik Sebagai Identitas Budaya
            Etnik atau Suku Bangsa merupakan proses dari sistem kekerabatan yang lebih luas. Kekerabatan yang tetap percaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang yang sama. Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis. kelompok etnik tidak semata-mata ditentukan oleh batas wilayah yang dihuninya, tetapi yang penting adalah batas di mana kehidupan sosial itu berlangsung sebagai suatu tatanan perilaku dan hubungan sosial yang kompleks.
            Tidak seorangpun manusia di dunia ini yang tidak termasuk ke dalam ikatan kelompok atau sub-etnik tertentu, hal ini berarti bahwa suku bangsa atau kelompok etnik merupakan fenomena sosial budaya yang bersifat universal.Batas antar etnik dipertahankan atau dijaga serta dilestarikan melalui hubungan sosial antara orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Di dunia ini manusia tidak akan mungkin bisa bertahan hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain, hal ini mengungkapkan arti penting bahwa hubungan sosial antar manusia adalah sebagai suatu sistem untuk mempertahankan kehidupannya.
            Etnisitas adalah sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk menyebut jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola sosial serta keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan pengandaiannya tentang umat manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis yang ditentukan secara genetik. Etnisitas merujuk kepada penyatuan banyak ciri yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis, gabungan dari loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma, kepercayaan, dan nilai-nilai bersama.
            2.3.1 Identitas Etnik Sebagai Jati Diri        
                        Konsep kelompok etnik tempo dulu yang dikemukakan di atas sebenarnya telah lama digugat oleh Fredrik Barth. Menurut Barth (1969) kelompok etnik tidak selalu merupakan suatu tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi serta wilayah teritorial yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain. Batas kelompok etnik yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial, bukan teritorial.Kelompok etnik lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya. Seseorang diidentifikasi sebagai warga suatu kelompok etnik apabila dia memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan mengenai batas-batas sosial tadi. Garis pembatas itu antara lain adalah ideologi etnik, seperti nama kelompok, kepercayaan terhadap keturunan dan asal-usul. Selain itu ada juga karakteristik untuk memudahkan pembedaan seperti dialek bahasa, ekologi kehidupan ekonomi, budaya material, organisasi sosial, agama dan gayahidup.
                        Pengertian tentang etnisitas karenanya tidak lagi ditekankan pada isi kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial.Kajian mengenai kelompok etnik menurut Barth juga bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan primordialitas, yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia.Dengan pengertian yang demikian maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris tidak bisa dihilangkan dari identitas suatu kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat primordial tadi, yang ia akui dan nyatakan dalam interaksi publik.
                        Seseorang bisa saja menggunakan beragam rujukan untuk ekspresi budayanya, misalnya dari sumber agama, pendidikan, atau dari budaya etnik lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya. Demikianlah misalnya Nadya Hutagalung masih berhak mengaku dan diakui sebagai orang Batak Toba, meskipun ekspresi budaya yang ia tampilkan sehari-hari sudah pasti tidak lagi merujuk kepada budaya Batak Toba. Fenomena seperti ini lazim ditemukan di dalam lingkungan sosial yang heterogen, dimana terjadi pinjam meminjam atribut kebudayaan, tetapi tidak berarti mempertukarkan identitas etnik.Kalau pemahaman seperti ini yang dianut, maka tidak harus muncul ketegangan etnik dalam lingkup interaksi sosial.
            2.3.2 Etnik dan Pengaruhnya
                        Para ahli sosiologi menggunakan kelompok etnik untuk menyebutkan setiap bentuk kelompok baik kelompok ras maupun kelompok yang bukan kelompok ras. Dengan kata lain etnik  merupakan suatu kelompok yang di akui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnik itu sendiri yang menggunakannya sebagai suatu kelompok yang tersendiri dari yang lainnya. Ciri-ciri pengenalannya dapat berupa bahasa agama, bentuk fisik ataupun gabungan dari ciri tersebut. Berbeda etnik ini dapat mempengaruhi kebebasan seseorang contoh kulit putih dan kulit hitam di amerika serikat  pada zaman dulu kulit hitam sangat di benci dan kulit hitam di larang untuk menikahi kulit putih pada saat itu, dan kulit hitam juga di larang untuk berkecambuh di dunia politik sehingga pada saat itu segala sesuatu di kuasai oleh kulit putih  baik dari segi ekonomi, agama, politik dan lain sebagainya.
                        Ketika Usman Pelly (1999) menyimpulkan bahwa akar dari terjadinya kerusuhan etnik di Indonesia adalah kesenjangan sosial ekonomi yang dengan sengaja direkayasa oleh pemerintah, maka penyelesaiannya tentulah menghilangkan kesenjangan itu dan meniadakan rekayasa pemerintah. Dengan demikian, proses kanalisasi konflik harus berpangkal dari  kemauan  pemerintah,  sementara  peran  dari  masyarakat  adalah  memberikan  tekanan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan. Begitu pula jika akar persoalan konflik atau ketegangan bersumber dari masalah-masalah konsepsional atau kultural, maka mekanisme penyelesaiannya juga berpangkal dari pembenahan masalah-masalah kultural.
                        Untuk konteks Sumatera Utara saya melihat bahwa sumber ketegangan etnik yang potensial mengganggu hubungan-hubungan antar etnik lebih banyak berpangkal dari masalah-masalah kultural sebagaimana dikemukakan dengan beberapa contoh di atas.Oleh karena itu, kanalisasi ketegangan itu juga bisa dicarikan melalui saluran-saluran kultural.  Namun  demikian,  tidak  bisa  dinafikan  bahwa  faktor-faktor  struktural  juga  selalu berperan meskipun dalam penampakannya yang mengemuka atau kelihatan hanya problem kultural. Beberapa hal di bawah ini dimaksudkan sebagai contoh kanalisasi ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik :


(a) Masalah identitas/jati diri
                        Kecenderungan yang berkembang abad ini berkenaan dengan masalah etnisitas adalah menguatnya sentimen-sentimen etnik, sehingga pendefinisian tentang batas-batas etnik secara konvensional tidak valid lagi.Untuk konteks Sumatera Utara hal ini juga terlihat menjelang dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, di mana masalah etnisitas menjadi bagian yang semakin penting dalam pembuatan kategori sosial untuk menentukan batas-batas golongan yang boleh ikut dan sebaiknya tidak usah ikut dalam mengelola suatu kepentingan daerah. Menurut pendapat saya, biarkan saja hal itu berkembang sampai setiap orang atau kelompok kemudian akan sadar bahwa menghimpitkan batas-batas etnik dengan penguasaan sumberdaya tidak selalu produktif untuk kemajuan daerah itu. Ketika saat itu tiba, orang akan menghargai keberadaan kelompok etnik lain, dan akan membiarkan sentimen etnik sebatas jatidiri, sementara ekspresi budaya dan penguasaan sumberdaya harus berkolaborasi dengan kelompok lain.
(b). Streotip dan prasangka antar etnik
                        Kehidupan sosial yang sangat heterogen di kota Medan telah melahirkan banyak sekali prasangka dan streotip antar etnik. Pandangan-pandangan  yang bersifat streotip terhadap etnik lain biasanya timbul dan kemudian menjadi pengetahuan dan pemahaman seseorang melalui proses sosialisasi di lingkungan sosial yang berkategori kami (in-group). Pewarisan padangan demikian kepada anggota kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan tindak atau respon yang dianggap tepat ketika seseorang berhadapan dengan orang-orang lain yang beda kategori. Julukan-julukan streotip itu hampir mengenai semua kelompok etnik yang ada di kota Medan. Sekedar menyebut beberapa contoh, misalnya julukan manipol untuk orang Mandailing, aceh pungo untuk orang Aceh, padang pancilok, cirik barandang, kecek Padang untuk orang Minang, batak berekor, batak makan orang untuk orang batak.Cukup menarik bahwa penduduk Medan memiliki saluran kanalisasi untuk mengurai potensi kebencian etnik yang ditimbulkan oleh prasangka dan streotip etnik itu.
(c ) Mitos representasi kelompok etnik dalam jabatan publik
                        Pandangan bahwa kehadiran aktor dari suatu kelompok etnik di dalam jabatan-jabatan publik sebagai representasi dari kelompok etniknya secara keseluruhan harus didorong untuk disikapi hanya sebagai mitos.Kalau secara de facto ada yang terjadi demikian, maka hal itu sesungguhnya harus dipahami sebagai wujud dari KKN, karena penyatuan identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya milik publik cenderung untuk menimbulkan tindak manipulasi.Jika sebagian besar warga masyarakat dari berbagai kelompok etnik membenarkan dan membiarkan penyatuan identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya tersebut, maka hal itu berarti kita sebagai kolektif bersetuju dengan praktik KKN.
                        Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional.Teori situasional berseberangan dengan teori primordial.Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003).Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
                        Menurut perspektif  teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang.Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak.Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan.Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik.Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas mereka.Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq (Trisnadi, 1996).
                        Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda, etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.
                        Hubungan antar etnik berbagai dimensinya, manusia secara individual tidak akan dapat bertahan hidup tanpa adanya kerjasama atau hubungan dengan individu yang lain. Begitu pula dengan kelompok etnik. Setiap kebudayaan selalu saling berhubungan dan selalu saling menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan alam, sosial maupun kelompok etnik dengan latar belakang budaya yang berbeda selalu mengalami proses perkembangannya masing-masing, dengan perkembangan tersebut kelompok etnik akan saling mempengaruhi dan akan saling ketergantungan terhadap budaya kelompok etnik yang lainnya.
















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan

Sebagai suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok, contohnya: norma. Norma adalah kebiasaan yang dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tersebut sehingga tingkah laku masing-masing bisa diatur.Norma sifatnya tidak tertulis dan berasal dari masyarakat.Makan apabila dilanggar, sangsinya berupa cemoohan dari masyarakat.SebagaiWadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya, contoh: kesenian. Juga sebagai melindungi diri kepada alam.Hasil karya masyarakat melahirkan tekhnologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Berguna untuk pembimbing kehidupan manusia.Dan juga sebagai pembeda antar manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda, etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.





DAFTAR PUSTAKA
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 2005, Sosiologi, Jakarta: Erlangga
Rafael Raga Maran, 2007, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Amri Marzali, 2012, Antropologi & Kebijakan Publik, Jakarta: Kencana Perdana Media Group
Dr. H. Dadang Supardan M.Pd, 2007, Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), Jakarta: Bumi Aksara
Pelly Usman, 1999, Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia : Suatu Kajian Awal Konflik & Disintegrasi Nasional di Era Reformasi: Dalam Jurnal Antropologi Indonesia no. 58 tahun 1999



Tidak ada komentar:

Posting Komentar