BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Para pakar antropologi budaya Indoneisa umumnya sependapat bahwa
kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta buddhayah.Kata buddhayah adalah
bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti
kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau
kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya.Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal
sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai,
serta adat-istiadat dan tradisi.Sebuah kelompok etnik pertama kali
diidentifikasi melalui hubungan darah.Apakah seseorang tergabung dalam suatu
kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki
hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang
mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia
tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak
bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap
menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa.
Pengertian
tentang etnisitas karenanya tidak lagi ditekankan pada isi kebudayaan yang
dimiliki oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau
identitas yang muncul dalam interaksi sosial.Kajian mengenai kelompok etnik
menurut Barth juga bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau
taksonomi kebudayaannya, tapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif
berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya.
Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan primordialitas, yaitu sebuah dunia
jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara
publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia.Dengan pengertian
yang demikian maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris tidak bisa dihilangkan
dari identitas suatu kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat primordial
tadi, yang ia akui dan nyatakan dalam interaksi publik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari manusia, budaya dan etnik?
2.
Bagaimanakah hubungan manusia dan kebudayaan?
3.
Bagaimanakah etnis menjadi identitas budaya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Agar pembaca dapat memahami pengertian dari manusia, budaya dan etnik
2.
Agar pembaca mampu memahami hubungan manusia dan kebudayaan
3.
Agar pembaca dapat mengetahui etnis menjadi identitas budaya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manusia
Budaya dan Etnik
2.1.1
Pengertian Manusia
Manusia
pernah didefinisikan sebagai a tool-using animal, binatang yang menggunakan
alat.Seperti bentuk-bentuk kehidupan lainnya, manusiapun tunduk pada
faktor-faktor geografis dan iklim. Namun ia berbeda dengan binatang yang lebih
rendah tarafnya dalam hal kebebasan dan kreatifitasnya untuk berespon terhadap
rangsangan yang berasal dari lingkungan alamiah. Manusia tak pernah tergantung
dan tunduk sepenuhnya pada lingkungan alamiah tertentu.Manusia adalah pencipta
lingkungannya.Manusia juga tergantung pada alam, segala sesuatu yang
dimilikinya seperti makanan alat atau sarana penerangan, pakaian, peralatan,
dan sarana transportasi yang dipergunakannya memang berasal dari alam.Namun demikian
kebudayaan manusia bukanlah akibat mutlak dari ketentuan alam.Sejak zaman purba
manusia telah menghasilkan beragam karya seni yang menakjubkan seperti lukisan
didinding gua, ukiran, tari-tarian, lagu-lagu tradisional.
Manusia
ataupun orang dapat diartikan berbeda-beda, dari segi biologis, rohani, dan
kebudayaan. Secara biologis manusia diklasifikasikan sebagai homo sapiens yang
artinya manusia yang tahu. Dalam hal kerohanian manusia dijelaskan menggunakan
konsep iiwa yang bervariasi dimana dalam agama disimpulkan dalam hubungannnya
dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup lainnya. Dalam antropologi
kebudayaan manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi
mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan tekhnologi yang dipakai dan
yang terutama adalah kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk
dukungan satu sama lain serta pertolongan atau saling membutuhkan.
2.1.2 Pengertian Budaya
Para pakar
antropologi budaya Indoneisa umumnya sependapat bahwa kata kebudayaan berasal
dari bahasa sanskerta buddhayah.Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal.Namun ada pula anggapan bahwa kata budaya berasal
dari kata majemuk budidaya yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang
berupa cipta, karsa dan rasa.
2.1.3 Pengertian Etnik
Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.Anggota-anggota suatu
kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.Sebuah
kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah.Apakah
seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak
tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu
atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu
etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota
kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik
tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam
kesehariannya sangat jawa.
Dalam
mengkritisi etnisitas, keanggotaan etnik yang menekankan hubungan darah menurut
keterangan diatas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang
menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan.Keniscayaan tersebut
meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan
kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah
masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat
istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki
darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia
harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang Minang. Etnik dalam
perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di
lanjutkan.
2.2 Manusia dan Kebudayaan
2.2.1 Dialektika Manusia Kebudayaan
Kebudayaan
adalah suatu fenomenal universal.Setiap masyarakat bangsa didunia memiliki
kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat bangsa
yang satu kemasyarakat lainnya.Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan
kodrat manusia dari berbagai suku, bangsa, dan ras.Orang bisa mendefinisikan
manusia dengan caranya masing-masing.Kebudayaan adalah produk manusia, namun
manusia sendiri adalah produk kebudayaannya.Melalui eksternalisasi manusia
menciptakan kebudayaan.Sedangkan melalui internalisasi, kebudayaan membentuk
manusia.Manusia dan kebudayaan memang saling mengandaikan.Adanya manusia
mengandaikan adanya kebudayaan.Begitu pula sebaliknya, adanya kebudayaan
mengandaikan adanya manusia. Tanpa manusia tak kan ada kebudayaan.
2.2.2 Kebudayaan sebagai Kekhasan Manusia
Kebudayaan
pernah didefinisikan sebagai a design for living, suatu design kehidupan dan
sebagai seperangkat mekanisme control rencana, resep, peraturan, konstruksi,
apa yang oleh para ahli computer di sebut program untuk mengatur perilaku.
Kebudayaan adalah cara khas manusia untuk mengadaptasikan diri dengan
lingkungannya. Yang khas pada kebudayaan
ialah bahwa design kehidupan itu diperoleh melalui proses belajar.
Perkembangan manusia tergantung pada sosialisasi, yakni suatu proses interaksi
terus-menerus yang memungkinkan manuisa memperoleh identitas diri serta
keterampilan-keterampilan sosial. Melalui sosialisasi manusia memperoleh
kebudayaan masyarakat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Di dalam lingkungan
kebudayaan masyarakatnya itulah manusia belajar tentang suatu design kehidupan
yang khas. Contohnya jika seekor anak anjing di besarkan antara kucing0kucing
ia akan tetap menggonggong, menyalak dan mengibas-ngibaskan ekornya, dia tidak
akan mengeong seperti kucing. Manusia tidak mewarisi gen-gen keahlian tertentu.
Tidak ada orang yang mewarisi gen untuk berbahasa Inggris lebih baik daripada
berbahasa China.
Insting-insting
yang membuat seekor kijang berlari atau seekor anjing yang menggonggong di
transmisikan dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya melalui gen-gen.
kemampuan manusia untuk memperoleh kebudayaan juga diwariskan.Namun kebudayaan
itu sendiri diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya misalnya
seperti ceritera dan permainan anak-anak melalui puisi, ritus-ritus keagamaan,
lelucon, bacaan.
2.2.3 Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan
adalah dunia khas manusia, kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan.
Sebagai makhluk historis hidup manusia ditandai dengan upaya yang tiada
henti-hentinya untuk menyempurnakan dirinya.Upaya ini berlangsung dalam konteks
sosial tertentu, dalam jaringan interaksi yang kompleks dengan sesamanya,
dengan bermacam ragam pranata sosial yang menentukan arah dan gerak hidup
masyarakat, dan dalam relasi fundamentalnya dengan alam atas atau dunia
ilahi.Karna manusia tak bisa hidup sendirian, maka masyarakat merupakan dasar
bagi segala aktivitas yang dilakukannya.
Pengaruh-pengaruh
utama yang membentuk dan mengubah kebudayaan manusia itu sama dengan
pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu spesies hewan. Pengaruh-pengaruh
termaksud adalah, pertama, ras, atau faktor genetic, kedua, lingkungan alam
atau faktor geografis, dan ketiga okupasi atau faktor ekonmis.Namun ketiga
faktor ini tidak memadai untuk menjelaskan kekhasan kebudayaan manusia.Perlu
ditambahkan faktor keempat, yakni pikiran atau faktor psikologis, yang
merupakan kekhasasn manusia yang membebaskan manusia dari ketergantungan buta
pada lingkungan alam.
2.2.4 Unsur-unsur Kebudayaan
a. Kepercayaan
Kepercayaan
berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan
itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa
lampau bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa
prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga tentang masa depan, dan
bisa juga berdasarkan kommon, sensi, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki
suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu keombinasi antara semua hal
tersebut. Kepercyaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun
pengalaman sosial.Orang barat, misalnya, percaya bahwa waktu tak dapat berbalik
atau berulang.Mereka mempunyai persepsi waktu linier yakni waktu bergerak lurus
kedepan.Pada zaman kuno waktu dipandang sebagai suatu gerak siklis, melingkar.Waktu
berputar mengikuti suatu lingkaran.
b. Nilai
Nilai
menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar
kebenaran yang harus dimiliki yang diinginkan, dan layak dihormati.Meskipun
nilai-nilai jarang di taati oleh setiap anggota masyarakat.Namun nilai lah yang
menentukan suasana kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Nilai mengacu pada apa
atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat di pandang yang paling
berbaharga. Dengan perkataan lain, nilai itu berasal dari pandangan hidup suatu
masyarakat.
c. Norma dan sanksi
Norma
adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus
dan apa yang harus tidak dilakukan oleh manusia. Norma mengungkap bagaiman
manusia seharusnya berprilaku dan bertindak. Norma adalah standar yang
ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia lahir dan
kematian, bercinta dan berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus
dipakai, kapan dan dimana orang bisa bercanda melucu dan sebagainya.
Ada
norma-norma yang disebut mores atau tata kelakuan.Tata kelakuan mencerminkan
sifat-sifat yang hidupdari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat
pengawas secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap
anggota-anggotanya.Contoh mores kebudayaan kita menentang kanibalisme. Adapula
norma yang disebut folkways atau kebiasaan setiap pagi orang membersihkan,
menggosok gigi, lebih sering memakan manisan setelah makan dari pada sebelum
makan.Jika norma-norma adalah garis pedoman, sensi-sensi merupan kekuatan
penggeraknya. Sanksi adalah ganjaran ataupun hukuma yang memungkinkan orang
mematuhi norma. Sanksi-sanksi itu bsa bersifat formal bisa juga bersifat
informal. Pelanggaran terhadap norma mendatangkan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa
sanksi norma-norma kehilangan kekuatan.
d. Tekhnologi
Tekhnologi
adalah cara kerja manusia dengan teknologi manusia secara intensif berhubungan
dengan alam dan membangun kebudayaan dunia sekunder yang berbeda dengan dunia
primer (alam). Dewasa ini teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap
manusia, tidak hanya terdapat cara hidup manusia tetapi juga menentukan
teknologi berikutnya.
e. Simbol
Simbol
adalah sesuatu yang didapat mengekpresikan atau memberikan makna sebuah salib
atau sesuatu patung budha, sesuatu konstitusi, suatu bendera, banyak simbol
berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kulturak dan dipergunakan
untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat simbolik.Simbol seperti bendera dan
salib menampakkan kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma kultural dan
mengandung banyak arti.Simbol bisa berupa barang sehari-hari, barang berguna
yang sudah memperoleh arti khusus.
f. Bahasa
Bahasa
adalah gudang kebudayaan (Harroff,1962).Bahasa merupakan sarana utama untuk
menangkal, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan.arti-arti
ini kepada generasi baru.Kemampuan untuk melakukan komunikasi, simbolik
khususnya melalui bahasa, membedakan manusia dari hewan.
g. Kesenian
Setiap
kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik.Melalui karya-karya seni seperti
seni sastra, musik, tari, lukis dan drama, manusia mengekspresikan ide-ide,
nilai-nilai, cita-cita, serta perasaan-perasaanya. Karya sastra ini merupakan
media komunikasi melalui suatu karya seni, seorang seniman mengkomunikasikan suatu
permasalahan ataupun pengalaman batin kepada orang lain tidak hanya itu melalui
karya seni, sang artis pun dapat mengkomunikasikan kebenaran kepada orang lain.
Dengan demikian, seni pun memanusiawikan diri dan sesamanya.
2.2.5 Fungsi Kebudayaan
Sebagai suatu
hubungan pedoman antar manusia atau kelompok, contohnya: norma. Norma adalah
kebiasaan yang dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tersebut
sehingga tingkah laku masing-masing bisa diatur.Norma sifatnya tidak tertulis
dan berasal dari masyarakat.Makan apabila dilanggar, sangsinya berupa cemoohan
dari masyarakat.SebagaiWadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan
lainnya, contoh: kesenian. Juga sebagai melindungi diri kepada alam.Hasil karya
masyarakat melahirkan tekhnologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai
kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan
alamnya.Berguna untuk pembimbing kehidupan manusia.Dan juga sebagai pembeda
antar manusia dengan makhluk hidup lainnya.
2.3 Etnik Sebagai
Identitas Budaya
Etnik atau Suku Bangsa
merupakan proses dari sistem kekerabatan yang lebih luas. Kekerabatan yang
tetap percaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang
yang sama. Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh
pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan
budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis. kelompok etnik tidak
semata-mata ditentukan oleh batas wilayah yang dihuninya, tetapi yang penting
adalah batas di mana kehidupan sosial itu berlangsung sebagai suatu tatanan
perilaku dan hubungan sosial yang kompleks.
Tidak seorangpun
manusia di dunia ini yang tidak termasuk ke dalam ikatan kelompok atau
sub-etnik tertentu, hal ini berarti bahwa suku bangsa atau kelompok etnik
merupakan fenomena sosial budaya yang bersifat universal.Batas antar etnik
dipertahankan atau dijaga serta dilestarikan melalui hubungan sosial antara
orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Di dunia ini manusia
tidak akan mungkin bisa bertahan hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain,
hal ini mengungkapkan arti penting bahwa hubungan sosial antar manusia adalah
sebagai suatu sistem untuk mempertahankan kehidupannya.
Etnisitas adalah
sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk menyebut
jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola
sosial serta keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan
pengandaiannya tentang umat manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis
yang ditentukan secara genetik. Etnisitas merujuk kepada penyatuan banyak ciri
yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis, gabungan dari loyalitas,
memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma,
kepercayaan, dan nilai-nilai bersama.
2.3.1 Identitas Etnik Sebagai Jati Diri
Konsep
kelompok etnik tempo dulu yang dikemukakan di atas sebenarnya telah lama
digugat oleh Fredrik Barth. Menurut Barth (1969) kelompok etnik tidak selalu
merupakan suatu tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi serta
wilayah teritorial yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu
sama lain. Batas kelompok etnik yang paling penting menurut Barth adalah
batas-batas sosial, bukan teritorial.Kelompok etnik lebih didasarkan kepada
pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya.
Seseorang diidentifikasi sebagai warga suatu kelompok etnik apabila dia
memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan mengenai
batas-batas sosial tadi. Garis pembatas itu antara lain adalah ideologi etnik,
seperti nama kelompok, kepercayaan terhadap keturunan dan asal-usul. Selain itu
ada juga karakteristik untuk memudahkan pembedaan seperti dialek bahasa,
ekologi kehidupan ekonomi, budaya material, organisasi sosial, agama dan gayahidup.
Pengertian
tentang etnisitas karenanya tidak lagi ditekankan pada isi kebudayaan yang
dimiliki oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau
identitas yang muncul dalam interaksi sosial.Kajian mengenai kelompok etnik
menurut Barth juga bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau
taksonomi kebudayaannya, tapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif
berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya.
Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan primordialitas, yaitu sebuah dunia
jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara
publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia.Dengan pengertian
yang demikian maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris tidak bisa dihilangkan
dari identitas suatu kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat primordial
tadi, yang ia akui dan nyatakan dalam interaksi publik.
Seseorang
bisa saja menggunakan beragam rujukan untuk ekspresi budayanya, misalnya dari
sumber agama, pendidikan, atau dari budaya etnik lain, tanpa harus kehilangan
identitas dirinya. Demikianlah misalnya Nadya Hutagalung masih berhak mengaku
dan diakui sebagai orang Batak Toba, meskipun ekspresi budaya yang ia tampilkan
sehari-hari sudah pasti tidak lagi merujuk kepada budaya Batak Toba. Fenomena
seperti ini lazim ditemukan di dalam lingkungan sosial yang heterogen, dimana
terjadi pinjam meminjam atribut kebudayaan, tetapi tidak berarti mempertukarkan
identitas etnik.Kalau pemahaman seperti ini yang dianut, maka tidak harus
muncul ketegangan etnik dalam lingkup interaksi sosial.
2.3.2 Etnik dan Pengaruhnya
Para ahli
sosiologi menggunakan kelompok etnik untuk menyebutkan setiap bentuk kelompok
baik kelompok ras maupun kelompok yang bukan kelompok ras. Dengan kata lain
etnik merupakan suatu kelompok yang di
akui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnik itu sendiri yang menggunakannya
sebagai suatu kelompok yang tersendiri dari yang lainnya. Ciri-ciri
pengenalannya dapat berupa bahasa agama, bentuk fisik ataupun gabungan dari
ciri tersebut. Berbeda etnik ini dapat mempengaruhi kebebasan seseorang contoh
kulit putih dan kulit hitam di amerika serikat
pada zaman dulu kulit hitam sangat di benci dan kulit hitam di larang
untuk menikahi kulit putih pada saat itu, dan kulit hitam juga di larang untuk
berkecambuh di dunia politik sehingga pada saat itu segala sesuatu di kuasai
oleh kulit putih baik dari segi ekonomi,
agama, politik dan lain sebagainya.
Ketika
Usman Pelly (1999) menyimpulkan bahwa akar dari terjadinya kerusuhan etnik di
Indonesia adalah kesenjangan sosial ekonomi yang dengan sengaja direkayasa oleh
pemerintah, maka penyelesaiannya tentulah menghilangkan kesenjangan itu dan
meniadakan rekayasa pemerintah. Dengan demikian, proses kanalisasi konflik
harus berpangkal dari kemauan pemerintah,
sementara peran dari
masyarakat adalah memberikan
tekanan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan. Begitu
pula jika akar persoalan konflik atau ketegangan bersumber dari masalah-masalah
konsepsional atau kultural, maka mekanisme penyelesaiannya juga berpangkal dari
pembenahan masalah-masalah kultural.
Untuk
konteks Sumatera Utara saya melihat bahwa sumber ketegangan etnik yang
potensial mengganggu hubungan-hubungan antar etnik lebih banyak berpangkal dari
masalah-masalah kultural sebagaimana dikemukakan dengan beberapa contoh di
atas.Oleh karena itu, kanalisasi ketegangan itu juga bisa dicarikan melalui
saluran-saluran kultural. Namun demikian,
tidak bisa dinafikan
bahwa faktor-faktor struktural
juga selalu berperan meskipun
dalam penampakannya yang mengemuka atau kelihatan hanya problem kultural.
Beberapa hal di bawah ini dimaksudkan sebagai contoh kanalisasi ketegangan
etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik :
(a) Masalah
identitas/jati diri
Kecenderungan
yang berkembang abad ini berkenaan dengan masalah etnisitas adalah menguatnya
sentimen-sentimen etnik, sehingga pendefinisian tentang batas-batas etnik
secara konvensional tidak valid lagi.Untuk konteks Sumatera Utara hal ini juga
terlihat menjelang dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, di mana
masalah etnisitas menjadi bagian yang semakin penting dalam pembuatan kategori
sosial untuk menentukan batas-batas golongan yang boleh ikut dan sebaiknya
tidak usah ikut dalam mengelola suatu kepentingan daerah. Menurut pendapat
saya, biarkan saja hal itu berkembang sampai setiap orang atau kelompok
kemudian akan sadar bahwa menghimpitkan batas-batas etnik dengan penguasaan
sumberdaya tidak selalu produktif untuk kemajuan daerah itu. Ketika saat itu
tiba, orang akan menghargai keberadaan kelompok etnik lain, dan akan membiarkan
sentimen etnik sebatas jatidiri, sementara ekspresi budaya dan penguasaan
sumberdaya harus berkolaborasi dengan kelompok lain.
(b). Streotip dan
prasangka antar etnik
Kehidupan
sosial yang sangat heterogen di kota Medan telah melahirkan banyak sekali
prasangka dan streotip antar etnik. Pandangan-pandangan yang bersifat streotip terhadap etnik lain
biasanya timbul dan kemudian menjadi pengetahuan dan pemahaman seseorang
melalui proses sosialisasi di lingkungan sosial yang berkategori kami
(in-group). Pewarisan padangan demikian kepada anggota kelompok sendiri
diperlukan sebagai acuan tindak atau respon yang dianggap tepat ketika
seseorang berhadapan dengan orang-orang lain yang beda kategori.
Julukan-julukan streotip itu hampir mengenai semua kelompok etnik yang ada di
kota Medan. Sekedar menyebut beberapa contoh, misalnya julukan manipol untuk
orang Mandailing, aceh pungo untuk orang Aceh, padang pancilok, cirik
barandang, kecek Padang untuk orang Minang, batak berekor, batak makan orang
untuk orang batak.Cukup menarik bahwa penduduk Medan memiliki saluran
kanalisasi untuk mengurai potensi kebencian etnik yang ditimbulkan oleh
prasangka dan streotip etnik itu.
(c ) Mitos representasi
kelompok etnik dalam jabatan publik
Pandangan
bahwa kehadiran aktor dari suatu kelompok etnik di dalam jabatan-jabatan publik
sebagai representasi dari kelompok etniknya secara keseluruhan harus didorong
untuk disikapi hanya sebagai mitos.Kalau secara de facto ada yang terjadi
demikian, maka hal itu sesungguhnya harus dipahami sebagai wujud dari KKN,
karena penyatuan identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya milik publik
cenderung untuk menimbulkan tindak manipulasi.Jika sebagian besar warga masyarakat
dari berbagai kelompok etnik membenarkan dan membiarkan penyatuan identitas
etnik dengan penguasaan sumberdaya tersebut, maka hal itu berarti kita sebagai
kolektif bersetuju dengan praktik KKN.
Dalam
antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas
mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori
situasional, dan teori relasional.Teori situasional berseberangan dengan teori
primordial.Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang
dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting
bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan
batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas
kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003).Teori ini
menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding
kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Menurut
perspektif teori situasional, etnik
merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah
satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah
kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah
mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex
dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus
dipakai sampai sekarang.Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas
etnik Dayak.Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh
penduduk asli pulau Kalimantan.Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari
banyak subetnik.Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas
mereka.Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq
(Trisnadi, 1996).
Teori
relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan
penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan
yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan
batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang
disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini,
etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda, etnik Sasak
tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di
luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar
kelompok.
Hubungan
antar etnik berbagai dimensinya, manusia secara individual tidak akan dapat
bertahan hidup tanpa adanya kerjasama atau hubungan dengan individu yang lain.
Begitu pula dengan kelompok etnik. Setiap kebudayaan selalu saling berhubungan
dan selalu saling menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya, baik itu
lingkungan alam, sosial maupun kelompok etnik dengan latar belakang budaya yang
berbeda selalu mengalami proses perkembangannya masing-masing, dengan
perkembangan tersebut kelompok etnik akan saling mempengaruhi dan akan saling
ketergantungan terhadap budaya kelompok etnik yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai suatu hubungan pedoman antar
manusia atau kelompok, contohnya: norma. Norma adalah kebiasaan yang dijadikan
dasar bagi hubungan antara orang-orang tersebut sehingga tingkah laku masing-masing
bisa diatur.Norma sifatnya tidak tertulis dan berasal dari masyarakat.Makan
apabila dilanggar, sangsinya berupa cemoohan dari masyarakat.SebagaiWadah untuk
menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya, contoh: kesenian. Juga
sebagai melindungi diri kepada alam.Hasil karya masyarakat melahirkan tekhnologi
atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi
masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Berguna untuk pembimbing kehidupan
manusia.Dan juga sebagai pembeda antar manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Teori relasional mendasarkan pada
pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih
yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam
menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan
yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas
etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan
antara entitas yang berbeda-beda, etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak
bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik
tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, 2005, Sosiologi,
Jakarta: Erlangga
Rafael Raga Maran, 2007, Manusia
dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Amri Marzali, 2012, Antropologi & Kebijakan Publik,
Jakarta: Kencana Perdana Media Group
Dr. H. Dadang Supardan M.Pd,
2007, Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah
Kajian Pendekatan Struktural), Jakarta: Bumi Aksara
Pelly Usman, 1999, Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia : Suatu
Kajian Awal Konflik & Disintegrasi Nasional di Era Reformasi: Dalam Jurnal
Antropologi Indonesia no. 58 tahun 1999